Bagaimana wahabisme dan salafisme membentuk pemahaman Islam puritan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama harus dimulai dengan menguraikan bagaimana wahabisme dan salafisme itu terbentuk. Jika kita melacak sejarah, akan didapati bahwa gerakan wahabisme ini didirikan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (w. 1206/1792).
Gagasan utama ‘Abd al-Wahhab adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dan menyimpang dari jalan Islam yang lurus, sehingga hanya dengan kembali pada satu-satunya agama yang benar, mereka akan diterima dan mendapat ridha Allah. Dengan semangat puritan, ‘Abd al-Wahhab bermaksud untuk membebaskan Islam dari semua pengrusakan yang diyakininya telah menggerogoti agama Islam, seperti mistisisme, doktrin tawassul, rasionalisme, ajaran Syi’ah, dan banyak lainnya yang dinilai sebagai bid’ah. (Fadl, 2005: 45)
Dalam melancarkan misi utama tersebut, ‘Abd al-Wahhab tidak pernah berhenti menekankan bahwa tidak ada jalan tengah bagi sorang muslim. Pilihannya hanya dua, yaitu menjadi orang yang benar-benar beriman atau sebaliknya. Jika seorang muslim tidak beriman, menurut standarnya, ‘Abd al-Wahhab seidikitpun tidak segan untuk menyatakan bahwa si muslim tersebut telah kafir dan kemudian menjadi halal darahnya. (Fadl, 2005: 48) Semangat ini, menurut pengakuan ‘Abd al-Wahhab, dicontoh dari sikap Abu Bakar terhadap orang-orang murtad.
Selain itu, ‘Abd al-Wahhab juga dengan sangat fanatik membenci orang-orang nonmuslim, dengan menegaskan bahwa Islam seharusnya tidak mengikuti kebiasaan dan atau berteman dengan mereka. Nonmuslim tersebut tidak hanya terbatas pada orang-orang Kriten dan Yahudi, melainkan juga orang Islam yang, karena keyakinan dan tindakannya, telah menjadi murtad, dalam pandangannya. (Fadl, 2005: 49) Sikap ‘Abd al-Wahhab tersebut tidak lain merupakan konsekuensi dari konsep al-wala’ wa al-bara’ (kesetiaan dan keingkaran).
Ironis, sesunggunya di dalam semangat ‘Abd al-Wahhab untuk menjaga kemurnian Islam tertanam suatu paham etnosentrisme pro-Arab yang seutuhnya bertentangan dengan semangat universal Islam. Seperti dalam gerakan-gerakan puritan berikutnya, ada satu tujuan politik dan nasionalistik yang kuat dalam pemikiran ‘Abd al-Wahhab—sebuah tujuan yang didorong dan disembunyikan di balik bahasa agama. Musuh ‘Abd al-Wahhab yang senantiasa dibencinya bukanlah orang Kristen atau Yahudi, melainkan Turki ‘Utsmani, yang pada waktu itu menjadi penguasa Islam, termasuk Saudi. (Fadl, 2005: 49)
Semangat etnosentrisme ‘Abd al-Wahhab itulah yang kemudian mendapatkan gayung sambut dari keluarga Sa’ud. Karena keduanya memiliki spirit yang “sama”, keduanya pun berkerjasama sejak tahun 1745 dan mendirikan Negara Saudi. Hanya saja, aliansi mereka ini harus hacur ketika militer mesir dan Turki menyerang kota al-Dir’iyyah, ibu kota Saudi pertama, dan membantai penduduknya. Pembunuhan massal ini sangat membekas dalam memori kelompok wahabi dan pada gilirannya membakar semangat mereka dengan menjadikan simbol penderitaan dan pengorbanan mereka. (Fadl, 2005: 61) Dengan perkataan lain, meski secara fisik mereka telah hancur lebur, tetapi semangat ideologis mereka masih tetap hidup dan berkembang, bahkan justru semakin kuat.
Semangat ideologis tersebut kemudian mendapat legitimasi kembali setelah pada awal abad ke-20, Abd al-Aziz ibn Sa’ud, mendirikan Negara Saudi modern. Di bawah kepemimpinan Abd al-Aziz, teologi wahabisme yang puritan tersebut secara resmi diadopsi sebagai madzhab resmi negara. Meski dalam perjalanan sejarahnya, antara gerakan wahabisme dan Negara Saudi tidak selalu mulus, tetapi hingga saat ini gerakan wahabisme masih tetap mendapatkan legitimasi dari Negara Saudi.
Sejak 1970-an Negara Saudi bahkan memutuskan untuk menjalankan kampanye sistematis mengekspor keyakinan wahabi ke seluruh dunia. Sedikitnya ada 4 faktor yang memicu kampanye itu, yaitu pertama, wahabisme dianggap sebagai peletak dasar ideologi nasionalisme Arab. Kedua, wahabisme mendorong umat Islam untuk kembali pada Islam yang murni, sebagaimana dipahami Abd al-Wahhab. Ketiga, Arab Saudi merupakan Negara yang memiliki kendali penuh atas dua kota suci umat Islam seluruh dunia, yaitu Makkah dan Madinah. Keempat, ditemukan dan diberdayakannya sumber daya minyak di Saudi, yang menjadi sumber dana yang segar dan melimpah. (Fadl, 2005: 70-72)
Namun, uniknya dalam proses globalisasi wahabisme tersebut, Negara Saudi cenderung lebih suka menggunakan terminologi salafisme, daripada wahabisme. Bagi mereka sebutan wahabisme itu merupakan sesuatu yang menghina, karena pada dasarnya itu akan mencitrakan bahwa mereka adalah sebentuk madzhab tersendiri dalam Islam. Padahal mereka memahami diri mereka sebagai kelompok yang paling murni menjalankan Islam.
Jika dilihat dalam sejarah, sebenarnya istilah salafisme bukanlah sesuatu yang baru dipakai oleh gerakan wahabisme. Salafisme merupakan suatu keyakinan yang didirikan pada akhir abad ke-19 oleh para reformis muslim, seperti Muhammad Abduh, Jama al-Din al-Afghani, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad al-Syawkani, Jalal al-Shan’ani. Sejumlah orang bahkan menisbahkan asal-usul keyakinan Salafisme ini kepada Ibn Taymiyyah (w. 728/1328) dan muridnya yang bernama Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1350). (Fadl, 2005: 75)
Hingga awal abad ke-20, salafisme ini masih lekat dengan kaum reformis liberal dan tidak memiliki keterkaitan dengan wahhabisme. Namun, sejak 1970-an kelompok wahabi kemudian melekatkan diri mereka dengan sebutan gerakan salafisme.
Memang sejatinya kedua gerakan tersebut tidak jauh berbeda. Keduanya nyaris identik dalam banyak hal, kecuali bahwa wahabi jauh kurang toleran terhadap keragaman dan perbedaan pendapat. (Fadl, 2005: 72) Seperti halnya wahabisme, salafisme juga menyerukan pentinganya kembali pada al-Quran dan Hadis. Mereka sama-sama menganjurkan agar umat Islam menafsirkan langsung sumber-sumber suci Islam tersebut. Mereka juga sama-sama tidak menghargai sejarah, karena serta merta langsung menekankan akan pentingnya kembali pada era “keemasan” Islam, mengabaikan bagaimana komplesitas sejarah peradaban Islam.
Yang amat membedakan antara salafisme dan wahabisme adalah salafisme muncul sebagai respon terhadap ancaman budaya, politik, dan ekonomi Barat, tetapi tetap menghormati Barat sebagai pesaing dalam kompetisi. Sementara wahabisme muncul sebagai gerakan revivalis puritan, menunjukkan doktrin purifikasi, dan mereka cenderung menolak barat. (Meijer, 2009: 7) Selain itu, salafisme tidak serta merta anti intelektual, sementara wahabisme anti intelektual.
Namun, walaupun sedikit berbeda, persamaan antara mereka cukup kuat, sehingga itu cukup sanggup mempersatukan mereka. Apalagi, sejak periode awal wahabisme dan setelah salafisme masuk fase apologetisnya (Salafisme memasuki masa apologetik setelah salafisme begitu larut dalam persoalan politis), keduanya sama-sama dirundung oleh sejenis pemikiran yang memandang diri mereka sebagai kelompok yang superior dan lebih unggul; pemikiran semacam ini terus bertahan hingga kini. Karya-karya yang lahir dari salafis awal, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, yang memperlihatkan kecanggihan intelektual, menjadi amat jarang ditemui lagi. Teks-teks yang ditulis oleh kaum salafi kemudian menjadi tidak jauh berbeda dengan tulisan kaum wahabi. Perpaduan salafisme dan wahabisme inilah, yang mulai terjalin pada 1970-an, yang membentuk Islam puritan saat ini. Generasi awal yang sangat representatif dalam perpaduan ini adalah Abu al-A’la al-Mawdudi dan Sayyid Quthb. (Fadl, 2005: 79-80)
Sumber Rujukan:
El Fadl, Khaled Abou. The Great Theft: Wrestling Islam From the Extremsts. (PerfectBoud: eBook vertion). 2005.
Roel Meijer (ed.), Global Salafism: Islam’s New Religious Movement. (London: Hurst & Company). 2009.