Saya yakin selalu ada manfaat menuliskan kisah-kisah ringan tentang kehidupan ini. Misalnya tentang persahabatan dan kekonyolan teman-teman kita. Paling tidak ia menjadi dokumen hidup kita sendiri yang bisa dibaca orang lain, setidak-tidaknya keluarga, setelah kita tak lagi hidup.
Jika Anda kelak menjadi orang penting, kisah itu tentu akan sangat berharga sebagai data sejarah. Cobalah simak kisah jenaka yang diingat dan ditulis KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren. Kisah ini terjadi ketika ia masih menjadi anggota parlemen sementara. Ketika itu tak setiap anggota parlemen punya mobil, termasuk Kiai Saifuddin. Maka berkembanglah tradisi nebeng saban pulang dari gedung parlemen.
Sebelum memiliki mobil, Kiai Idcham Cholid senasib dengan Kiai Saifuddin, anggota geng nebenger. Salah satu mobil yang sering ditumpangi adalah milik kawan mereka, Kiai AS Bachmidlah. Mobil tua yang kadang-kadang mogok. Di zaman itu rata-rata mobil yang dimiliki orang Indonesia adalah mobil tua.
Tak tahu berterima kasih karena mendapat tumpangan gratis, Kiai Idcham dan Kiai Saifuddin tetap saja mencela dengan maksud menggoda temannya itu.
“Insya Allah tak akan mogok,” kata Kiai AS Bachmidlah.
“Siapa yang tahu! Mobil sudah nenek-nenek begini,” celetuk Kiai Idcham Cholid.
“Jangan dikira! Dulu ini mobil baru,” timpal Kiai Bachmidlah.
“Tentu saja baru! Memangnya pabrik membuat mobil tua,” timpal Kiai Saifuddin.
Suatu waktu, setelah peristiwa mobil tua yang nyaris mogok itu berlalu, Kiai Idcham membeli mobil baru. Seperti hendak pamer, mobil itu dibawanya pergi ke parkir gedung parlemen. Ketika keluar gedung usai bersidang, Kiai Idcham memberi tahu Kiai Saifuddin kalau ia baru membeli mobil. “Lihat itu mobil saya,” katanya sembari mengarahkan telunjuknya ke arah parkiran. Di sana, di bawah pohon beringin, terparkir sebuah mobil merk Human berwarna hijau tua.
Kiai Saifuddin seperti tengah berakting menunjukkan rasa keheranan sekaligus kekaguman.
“Dapat dari mana?”
“Ada kiriman uang dari Kalimantan. Saya beli seharga Rp 18.000.”
Saya kira jawaban terakhir bukan informasi yang ditanyakan Kiai Saifuddin. Tapi, tetap saja ditanggapi Kiai Saifuddin.
“Kok mahal begitu?” tanya Kiai Saifuddin.
“Mahal? Lihat dulu barangnya. Mesinnya tokcer,” jawab Kiai Idcham membangga-banggkan mobil dengan lagak seorang yang merasa di Indonesia hanya satu orang saja yang punya mobil jenis itu.
Di tengah pembicaraan keduanya, Kiai Muhammad Ilyas dan Kiai A. Achsien keluar gedung. Kiai Saifuddin langsung mengajak keduanya nebeng. Ketika Kiai Idcham sudah berada di depan setir, terbit rasa penasaran Kiai Saifuddin. Setahu dirinya Kiai Idcham belum bisa menyetir. “Kapan ia belajar?” pikir Kiai Saifuddin.
Pikiran itu diabaikannya dan berusaha yakin jika temannya itu memang betul-betul sudah lancar mengendari mobil. Tak lama muncul gelagat buruk. Mobil berjalan tidak stabil. Pedal rem sering diinjak tiba-tiba. Begitupun dengan gas. Kiai Saifuddin mulai sering membaca shalawat.
Di jalan dekat Stasiun Gambir mobil nyaris menyerempet sepeda motor. Mobil tetap melaju. “Tiba-tiba Kiai Ilyas berseru. “Kalau ada orang jual rokok di depan itu, berhenti,” katanya. Di tempat yang dituju, Kiai Idcham memberhentikan mobil. Tapi, agak keterusan beberapa depa.
Kiai Saifuddin mengira Kiai Ilyas akan membeli rokok. Rupanya tidak. Ia menyusuri trotoar. “Ayo naik!” rayu Kiai Saifuddin. “Terima kasih! Jalan kaki lebih aman!” Kata Kiai Ilyas sambil terus menyusuri trotoar menuju prapatan di depan sana. Usaha gagal. “Penakut,” teriak Kiai Idcham pada Kiai Ilyas. Yang diajak bicara, cuek bebek.
Orang-orang ini bukan sembarangan. Kiai Saifuddin kelak menjadi Menteri Agama RI Tahun 1962- 1967. Ia ayah dari Menteri Agama RI 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin. Kiai Idcham, putera Kalimantan Selatan, menjadi Wakil Perdana Menteri RI di Kabinet Ali Sastromidjojo II dan Kabinet Juanda; menjadi Ketua MPR DPR, dan menjabat Ketua Umum PBNU 1956-1984. Seperti Kiai Saifuddin, Kiai Ilyas menjadi Menteri Agama tahun 1955-1959 dan menjadi duta besar Arab Saudi.
Bukankah kisah konyol semacam ini indah dikenang? Kisah tentang persahabatan dan kejenakaan dengan latar politik Indonesia awal kemerdekaan. Politik yang rumit tampak menjadi sesuatu yang lucu, sedang persabahatan begitu indah dan abadi.
Kalimulya, 15 Februari 2021