Balon udara saja sudah menarik, apalagi dibikin festival. Terlebih, balon-balon itu berkualitas super buatan Eropa dan Amerika. Ditambah lagi, bentuk dan warna balon-balon itu beraneka rupa, lucu, dan menggemaskan, menyesuaikan dengan tema “Fly For Children”. Jangankan anak-anak, orang tua pun semringah melihat balon.
Inilah “Taiwan International Balloon Fiesta”, satu festival balon udara yang digelar saban tahun sejak tahun 2011 di Luye Gaotai atau Dataran Tinggi Luye, Taitung, Taiwan. Suatu festival yang masih tergolong muda, baru sembilan tahun, jika dibandingkan dengan festival-festival balon dunia yang masyhur.
Beberapa contoh adalah di Albuquerque, New Mexico Amerika Serikat (sudah digelar sejak 47 tahun lalu), Reno Nevada, AS (37 tahun), Bristol Inggris (40 tahun), Château-d’Oex Swiss (40 tahun), Lorraine Perancis (30), dan Saga Jepang (40 tahun). Namun, festival balon di Taiwan jelas lebih tua dari festival balon di Cappadoocia Turki yang debutnya digelar tahun ini.
Selama sembilan tahun, festival balon di Luye ini sudah menggembirakan warga setempat, menarik minat wisatawan domestik dari Taipei, menggairahkan ekonomi lokal, dan pada tahap berikutnya menggaet wisatawan mancanegara. Pada tahun ini, festival balon digelar pada tanggal 29 Juni hingga 12 Agustus 2019. Cukup lama.
Seperti dijelaskan oleh panitia yang menjabat Kepala Seksi Lalu Lintas, Pengembangan Transportasi dan Pariwisata Distrik Taitung, Frank Lai, pemerintah daerah harus memutar otak untuk merebut perhatian warga metropolis Taipei. “Orang Taipei itu malas datang ke Taitung. Mau apa ke Taitung. Lalu sepuluh tahun tahun lalu terpikir untuk membuat acara orang-orang dari daerah lain, terutama di kota besar seperti Taipei, mau datang ke Taitung,” tuturnya di sela-sela kesibukan menghelat festival, 24 Juli 2019.
Jadi! Festival balon udara. Mengapa festival balon? Belajar dari negara-negara lain yang menggelar festival balon, Luye Gaotai memenuhi kriteria lokasi penerbangan balon udara. Arealnya cukup luas yakni delapan hektar di ketinggian 368 di atas permukaan laut, dan bukan jalur lalu-lalang pesawat, jadi bisa dibilang aman. Dengan areal seluas itu, 30-an balon bisa diterbangkan.
Saya mendongak, melihat langit yang bening pada pukul 6.30 pagi, lalu mengedarkan pandangan. Daerah ini bersih dari kabel-kabel yang bersulur-sulur menggantung di antara tiang-tiang listrik. Apakah balon udara dengan awak ini hanya bisa naik-turun di ketinggian 100-an meter?
“Tergantung arah angin. Kalau balon dilepas dan angin menghembus ke arah Barat, itu berbahaya, karena banyak pegunungan, bisa nabrak. Untuk mendarat juga jangan sampai merusak lahan pertanian,” jelas Lai. Jika ingin menaiki balon udara yang bisa dilepas, tidak ditambatkan, panitia harus reservasi dan berkoordinasi dengan maskapai penerbangan. Harganya pun jauh lebih mahal, yakni 9000 NT atau sekitar empat juta rupiah.
Maka itu, disarankan cukuplah menikmati pemandangan dari ketinggian 150 meter, selama beberapa menit, seharga 500 NT (225.000 rupiah) untuk hari biasa dan 600 NT (270.000 rupiah) saat hari ibur, per satu balon isi tiga-empat orang. Rasanya sudah menyenangkan, kok. Kita bisa melihat orang-orang di bawah makin mengecil, menatap balon-balon indah lain yang sama-sama membubung, dan menikmati pegunungan di pesisir serta kelok sungai Luliano dan sungai Beinan.
Sedikit saya jadi tergelitik untuk mengingat-ingat prinsip dasar penerbangan balon udara panas. Mengapa balon bisa terbang? Karena udara di dalam gelembung balon lebih panas dari udara di luar gelembung. Udara yang lebih panas akan lebih ringan karena masa udara per volume lebih sedikit. Oleh karena itu, udara di dalam balon harus dipanaskan. Nah, mudah, kan.
Fisikawan Jean-Francois Pilatre de Rozier dan Francois Laurent Marquis d’Arlandes sudah mencobanya pada tanggal 21 November 1783 di Paris, dan tercatat sebagai penerbangan balon pertama dengan manusia, menurut britannica.com.
Namun, bagaimana cara memanaskannya? Pakai gas. Gas yang tiga kiloan? Tentu tidak, karena gas tiga kiloan itu untuk kebutuhan kompor masak di rumah, meski pernah ada yang mencoba melakukan hal itu di Indonesia. Pilatre de Rozier dan Marquis d’Arlandes membakar kain wol dan jerami agar balon membubung dan berhasil mencapai jarak sembilan kilometer selama 23 menit.
Di masa kini ada burner, alat yang berfungsi untuk memanaskan udara di dalam balon. Burner diletakkan di atas kepala penumpang, untuk mengatur tekanan dalam kantung udara agar balon dapat terbang sesuai ketinggian yang diharapkan.
Menjajal Balon Udara
Akhirnya untuk pertama kali saya naik balon udara panas. Dulu pernah berkesempatan, tapi urung karena takut. Kini saya berani. Saya bersama Ari Dora dari Harian Surya Surabaya, Laily dari NY Times Indonesia, dan pemandu wisata Avida berada dalam satu grup. Karena badan kami tidak terlalu sentosa, jadi empat orang bolehlah, plus seorang operator yang rupanya dari Vietnam, dan baru dua bulan di Taiwan hanya untuk festival balon ini.
Wuussss. Balon pun naik, pelan. Orang-orang di bawah mengecil. Tiba-tiba ingin berteriak kencang, meneriakkan sesuatu semacam i love youuuuuu atau cuma haaaaaaaa…….. Tapi, kan, malu.
Akhirnya saya cuma bergumam, Balonku ada lima rupa-rupa warnanya… Hijau kuning kelabu merah muda dan biru. Meletus balon hijau….. Yaaaa… Balon harus turun lagi. Sebentar banget. Kurang, tetapi terima kasih telah membawa kami terbang.
Untuk bisa menggelar festival balon internasional seperti ini, hal yang dibutuhkan sebetulnya tidak banyak, yakni memiliki areal/lahan yang memenuhi syarat, keseriusan, dan uang yang banyak. Sebab, sebagaimana festival-festival balon di dunia, panitia tidak membuat sendiri balon-balon itu, tetapi mengundang banyak negara untuk menjadi peserta, jadi harus ada uangnya.
Pemerintah Distrik Taitung pada saat menggelar festival pertama hanya bisa menerbangkan tiga balon dari Eropa dan AS. Pada tahun 2012, beberapa orang dikirim ke AS untuk mendapatkan pelatihan dan lisensi.
Pada tahun kesembilan, puluhan balon (14 balon dari Taiwan) bisa diterbangkan dan kerjasama meluas dengan 20 negara. “Di semua negara, festival selalu mengundang negara-negara lain supaya balonnya bervariasi,” kata Lai.
Alhasil, festival balon di Taiwan yang digelar lebih dari satu bulan ini mampu menyedot 80.000–90.000 pengunjung setiap musim. Pagi hari naik balon, sore ada kulineran. Ada pertunjukan musik juga. Festival ini sudah menjadi agenda tetap televisi di Taiwan dan masuk peringkat ke-12.
Jika tema tahun ini adalah Fly For Children dan tahun lalu Pre Wedding, tema tahun depan apa? Masih rahasia, kata panitia. Baiklah. Panitia festival balon di Wonosobo, Pekalongan, dan Ponorogo harus membaca ini, ya, he-he-he.