Tak bisa dibayangkan jika kehidupan ini penuh dengan hal serius. Rasulullah digambarkan oleh hadis Abdullah bin Syikhir sebagai sosok yang dadanya senantiasa bersuara blekuthuk, seperti suara blekuthuk air ketika mendidih, sebab sifat khauf (takut pada Allah) beliau yang di atas rata-rata.
“Karena besar kecil khauf tergantung kadar makrifat billahnya. Dan Rasulullah adalah orang yang paling makrifat terhadap rabbNya,” kata Syekh Ahmad ad-Damanhuri dalam mukadimah syarah al-Jauhar al-Maknun setelah mengutip hadis itu.
Demikian kondisi batin Rasul, tapi beliau tetap berlembut dengan keluarganya dan para sahabatnya. Ingat kisah Sayyidah Aisyah ketika ditawari nonton pertunjukan tari orang-orang Habasyah (Ethiopia sekarang) di masjid beliau?
Amat mesra sekali. Dagu putri Abu Bakar itu diletakkan di pundak Rasul lalu wajahnya bertemu dengan pipi, sambil nonton pertunjukkan. “Sudah ya?”
“Bentar,”
Beberapa saat kemudian, “Sudah ya?”
“Bentar,”
Abdullah yang dijuluki Himar dan Nuaiman adalah dua contoh tokoh jenaka populer dari golongan sahabat yang perilakunya jenaka bahkan bersama Rasulullah. Tak lain menunjukkan bahwa sikap Rasul dengan para sahabatnya tak selalu serius sehingga mereka berani melakukan candaan yang kadang tak lucu. Dalam Sunan Abi Dawud disebutkan bahwa Malik al-Asyja’i saat perang tabuk permisi hendak masuk tenda Rasulullah. Setelah Rasulullah mempersilahlan masuk, apa respon balik Malik?
“Semua badan saya, Rasulullah?“ Di titik ini, saya membayangkan kekonyolan pelawak legendaris almarhum Bagio. Bayangkan. Saat kondisi perang, bisa-bisanya mereka masih berkelakar.
Umar bin Khathab dikenal memang tegas, tapi bukan berarti segala hal harus jadi serius. Ibnul Jauzi dalam Akhbarul Hamqa menceritakan kalau khalifah kedua itu juga melontar joke ke Rasulullah ketika Rasulullah dan para istrinya diam dalam karena satu masalah. “Tak bilang ke Rasul, ah, barangkali beliau tertawa.”
Kisah itu dinukil dari oleh Shahih Muslim.
Dalam al-Adab al-Mufrad para sahabat bukan hanya berkelakar sehingga suasana sangat cair, bahkan mereka saling lempar kulit semangka.
Sunnah dalam mencairkan suasanya ini juga diteruskan sampai era Tabiin. Adalah Imam Amir asy-Sya’bi w. 103 H, ketika ditanya masalah mengusap jenggot yang tebal saat wudhu, beliau menjawab untuk disela-selai dengan jari yang basah. Tak perlu dibasuh dengan air seperti keramas. Tak cukup di situ, penanya masih melanjutkan:
“Saya khawatir kalau cuman disela-sela pakai jari nanti airnya tidak sampai ke sana.”
“Ya Sudah, jika khawatir, mulailah menyela jenggotmu sejak tengah malam!”
“Bolehkah bagi orang yang sedang ihram menggaruk badannya?”
“Boleh,” namanya gatal dalam kondisi apapun boleh menggaruknya.
“Ada ukuran garuknya?” Minta lebih detil.
“Sampai tulangmu kelihatan,”
—
Ketika Imam Sya’bi sedang di masjid, seorang kuli panggung menghampirinya untuk bertanya. Pertanyaannya juga unik. “Imam Sya’bi, Iblis itu punya istri?”
Pertanyaan macam apa ini.
“Aku tak datang di pernikahan mereka,” jawab tokoh penting Baghdad itu. Jawaban beliau adalah joke familiar bahkan di era sekarang. Ternyata itu sanadnya dari Abad pertama.
Merasa tak dijawab dengan serius. Lelaki itu jengkel. “Tokoh besar Irak ditanya masalah malah tidak menjawab!”
“Iya. Dia punya istri,” jawab Imam Sya’bi. “Allah berfirman: “Pantaskah kamu menjadikan Iblis dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku.” [Al-Kahfi, 50]. Kalau punya keturunan, pastinya ia punya istri,” sambungnya.
“Nah. Siapa namanya?” Kejarnya lagi
“Nah itu, aku gak hadir pas pernikahan mereka,”