Prinsip seorang pencari ilmu adalah dengan mendatangi seorang guru, bukan guru yang mendatangi murid. Ini bentuk dari tata krama mencari ilmu. Ibarat murid sedang mencari air, maka guru adalah gentongnya. Jika ingin mendapatkan air, maka harus mengambilnya ke gentong. Bertolak belakang dengannya, adalah filosofi ceret. Ceret biasanya akan mengantar air ke gelas jika ada yang memintanya. Tentunya filosofi yang terakhir ini tidak bisa digunakan oleh santri.
Seiring perkembangan zaman, tradisi kemudian berubah dengan cepat. Filosofi gentong pun tak sepenuhnya sebagai acuan santri dalam bertatakrama mencari ilmu. Model pembelajaran yang baru mulai muncul, seperti guru privat, home schooling yang mengundang tenaga pengajar ahli ke rumah murid yang telah lama dilakukan.
Bahkan, kegiatan belajar mengajar pun bisa dilakukan tanpa bertatap muka (talaqqi), contoh, kajian Ngaji Ihya’ oleh Kiai Ulil Absar Abdallah, aplikasi Ruang Guru yang tren di kalangan anak muda, serta yang mengkolaborasikan antara tatap muka (talaqqi) dan online, seperti kajian kitab yang dibacakan oleh K.H. Muhammad Najih Maimoen yang dilakukan setiap pagi setelah solat subuh di musala Darussohihin Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang. Maka, era sekarang tradisi tersebut tidak bisa dikatakan menyalahi aturan belajar. Karena melihat dari ibrahnya, tradisi belajar era modern atau digital sangat membantu, khususnya bagi murid yang tidak bisa hadir langsung ke tempat kajian.
Akan tetapi, bukan sepenuhnya sebagai seorang murid sekaligus santri melupakan tradisi yang telah bertahun-tahun berkembang di pesantren. Apalagi tradisi pembelajaran dengan mendatangi seorang guru itu terbukti sukses mencetak generasi muda sebagai penerus kiai. Di samping itu, penerapan filosofi gentong adalah upaya menjaga sanad keilmuan. Sebab, secara umum, sanad keilmuan itu diperoleh hanya dengan talaqqi. Orang yang ngaji secara online, seperti yang marak terjadi era belakangan ini tidak dikatakan mempunyai sanad keilmuan. Meskipun orang tersebut mendapat ilmu dari seorang guru. Hanya mendapat ilmu, tapi sanad keilmuannya tidak bisa dijamin.
Salah satu tradisi di pesantren yang masih melekat dan masuk pada prinsip filosofi gentong adalah sorogan. Sorogan dilakukan oleh santri yang bermukim di sebuah pondok yang dibangun khusus santri. Dari cara pelaksanaanya saja sudah menunjukkan bahwa tata krama dan penghargaan seorang murid kepada guru sangat tinggi.
Pertama, seorang murid harus mendatangi guru, meminta waktu untuk sorogan, dan menentukan satu kitab yang akan dibaca oleh murid. Setelah itu, seorang murid nderes di kamarnya, mengartikan lafadz-lafadz yang belum diketahui, memahami kalimatnya. Setelah siap, baru kemudian murid datang kepada seorang guru dan membacanya dengan tepat sesuai yang telah dipelajari. Begitulah tatacara sorogan yang berlaku di kalangan pesantren. Meskipun ada kegiatan formal dalam pondok pesantren yang diberikan jadwal oleh pengurus, artinya ada tuntutan dari pengurus sebagai wakil guru atau kiai agar santrinya sorogan. Akan tetapi secara prinsip, ada niat dari diri santri untuk datang kepada kiai dan belajar sebuah ilmu.
Jika, kita tarik pada abad pertama hijriyah. Pondok Pesantren mirip secara sistem dan metodologi dengan ashabu suffah di Madinah. Golongan yang masyhur dengan nama ashabu suffah adalah para sahabat yang tidak punya tempat tinggal kemudian menggunakan serambi masjid sebagai tempat tinggal mereka. Mereka belajar kepada Rasul dengan cara merekam seluruh aspek kehidupan Rasul, baik perkataan, perilaku ataupun ketetapan yang disabdakan oleh Rasul, hal ini yang masyhur disebut hadis. Abu Hurairah adalah maskot kelompok ashabu suffah karena beliau meriwayatkan paling banyak hadis Nabi. Kegiatan merekam kehidupan Nabi itulah yang disebut dengan mencari ilmu. Dulu memang tidak ada kegiatan sorogan seperti halnya tradisi pesantren, namun nilai-nilai yang terkandung, seperti adab, sudah ada sejak era abad pertama hijriyah.
Misal, kita contohkan seperti halnya Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang, adalah pesantren yang masih mempunyai nilai-nilai yang ada sejak abad pertama hijriyah tersebut. Ketika K.H. Maimoen Zubair bersama kita, betapa inginnya seseorang sowan kepada beliau dan ingin mengaji. Lebih banyak lagi, anak-anak muda berbondong-bondong datang dan bermukim di pondoknya setelah mengetahui betapa ‘Allamahnya beliau. Tentu, santri yang mukim bukan tidak mempunyai tempat tinggal seperti ashabu suffah dulu, akan tetapi dengan niat para santri mukim, nilai-nilai abad pertama tersebut masih dilestarikan oleh umat islam, terutama kalangan pesantren.
Di lihat dari sudut pandang lain, santri yang melakukan sorogan, ada hal yang mereka dapat yang sifatnya di luar kesadaran mereka, yaitu membaca perilaku dan sikap guru atau kiainya. Sorogan tidak hanya membaca dan memahami (me-murad-i). Adakalanya, santri tidak mengetahui kalimat yang mereka baca, atau ada satu persoalan yang lahir dari kalimat itu dan tidak bisa dipecahkan oleh mereka sendiri, misal dalam bidang mu’amalah atau sosial kemasyarakatan. Maka tugas guru dan kiai adalah memberikan penjelasan kepada mereka. Penjelasan itu menjadi pelajaran bagi mereka sebagai representasi dari sikap seorang guru atau kiai.
Sekali lagi, metode pembelajaran tidak mungkin stagnan pada metode konservatif seperti sorogan. Perlu inovasi seiring datangnya masalah baru pada diri seorang santri dengan tanpa menggerus nilai-nilai adab seorang santri kepada gurunya. Wallahu A’lam.