Selama ini kaum santri atau komunitas pesantren, khususnya yang bercorak tradisional, selalu dipahami secara kultural. Termasuk dalam hal ini adalah pendapat Gus Dur yang mengatakan pesantren sebagai suatu “subkultur”. Dalam pengertian ini, kaum santri dilihat hanya sebagai kelompok sosial khas yang dengan tradisinya mampu bertahan di tengah arus modernitas.
Pemahaman yang fungsionalistik tersebut justru semakin menguat di era kebangkitan agama sekarang ini. Khususnya lagi di saat dunia modern terancam oleh terorisme, kaum santri diromantisasi sedemikian rupa sebagai benteng NKRI. Acara-acara bertajuk Islam dan kebangsaan marak diselenggarakan di mana kaum santri tampil sebagai juru bicara utamanya.
Secara internal, kaum borjuis santri sendiri memang senang dengan pemahaman seperti itu. Diakui sebagai kelompok yang tercerahkan, mereka merasa duduk sejajar dengan para sejawat sekuler-modernisnya. Mereka bangga ternyata tradisi yang diwariskan oleh para leluhurnya kompatibel dengan kemajuan zaman.
Akan tetapi, jarang dipahami bahwa pendapat kaum santri atau komunitas pesantren sebagai “subkultur” hanyalah separuh cerita. Kenyataan bahwa sejak dulu hingga sekarang sebagian besar mereka tetap menduduki kelas “prekariat” dalam tatanan masyarakat kapitalis hampir tidak pernah terungkap. Inilah yang terjadi sebagai akibat absennya analisis kelas dalam kajian NU yang ditulis oleh saya kemarin.
“Prekariat” merujuk pada kelas dalam tatanan masyarakat kapitalis yang sangat rentan. Pada umumnya mereka adalah para pekerja paruh waktu atau wiraswastawan musiman yang pendapatan hidupnya per bulan terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Di saat krisis mereka tergantung pada kebaikan hati orang kaya, termasuk zakat-infak-sedekah, dan bantuan sosial pemerintah.
Saya melihat sebagian besar kaum santri tradisional yang rajin tahlilan dan ziarah kubur itu adalah kelas prekariat. Hidup mereka ngos-ngosan. Tidak jarang mereka mencari utangan untuk membayar kontrakan atau mengisi pulsa token PLN yang mahal.
Kenyataan mengenai santri prekariat ini tertutupi oleh gemerlap teori-teori multikulturalisme. Para akademisi hanya tertarik menuliskan ritual atau ekspresi keagamaan mereka yang unik, tetapi seolah enggan menceritakan kesusahan mereka dalam bertahan hidup sehari-hari. Inilah yang terjadi ketika ilmu-ilmu sosial dan humaniora terbelit kapital, sehingga lebih mencurahkan perhatiannya pada dimensi kultural daripada dimensi sosial-ekonomi dari masyarakat yang ditelitinya.
Saya membayangkan andaikan pengertian santri sebagai kelas “prekariat” ini disampaikan di acara-acara Madrasah Kader NU (MKNU), pasti luar biasa. Setidaknya para santri bisa lebih kritis terhadap pujian yang selama ini disematkan kepada mereka sebagai kaum moderat. Apalah artinya moderat kalau masih susah mencari uang untuk bayar sekolah anak.