Hamidulloh Ibda
Penulis Kolom

Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung, Alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati. Tinggal di Semang, Jawa Tengah

Suwuk Tak Syirik, Harus Dijaga di Era Milenial

Kata Suwuk tidak menasional, mungkin karena tidak ada di KBBI. Suwuk adalah bahasa Jawa yang pemakaiannya terbatas di kalangan pesantren, masyarakat Islam tradisi. Apa itu Suwuk? Suwuk bukan nama pantai di Kebumen Jawa Tengah. Suwuk untuk kata yang merujuk pada traisi pengobatan atau doa-doa tertentu untuk maksud tertentu pula.

Ketika sakit jasmani maupun rohani, sejak kecil keluarga sering membawa saya ke kiai untuk di-suwuk. Sampai sekarang, saya lebih percaya suwuk daripada berobat ke dokter.

Tak hanya keluarga kami, tetangga kebanyakan sama. Anak mereka rewel, nangis, batuk, tak mau makan, panas, mencret, maka larinya bukan ke bidan atau dokter tapi kiai atau dukun untuk di-suwuk.

Apakah sembuh? Alhamdulillah sembuh. Siapa yang menyembuhkan? Jelas Allah, bukan sang kiai atau dukun.

Sayangnya, di era milenial ini, banyak generasi muda tak mengerti suwuk. Ketika saya bertanya pada mahasiswa saat kuliah, mereka tak tahu suwuk. Hanya tiga orang yang tahu, itupun hanya “katanya”.

Kontruksi pengetahuan dan konsumsi informasi dari internet mempengaruhi pola pikir dan budaya pemuda zaman now. Perilaku budaya mereka kini dibangun dari pengetahuan modern yang mengikis tradisi sakral itu. Suwuk bukan syirik apalagi haram. Suwuk merupakan tradisi pengobatan dengan pendekatan islami dan ilmiah.

Saya mencontohkan, ketika saya sakit gigi di waktu masih MI dan dibawa ke kiai, di sana tak ada ritus kesyirikan. Saya diberi satu bacaan dari ayat Alquran dan wajib dibaca rutin setelah salat Subuh. Syaratnya pun, saya harus percaya bahwa Yang Maha Penyembuh hanya Allah. Sedangkan kiai hanya perantara. Sekali lagi, hanya perantara.

Peradaban suwuk, identik dengan kiai, dukun, orang pintar, tabib, atau sejenisnya. Di Indonesia, Arab, Cina, tradisi ini juga berlaku meski beda idiom. Dokter, dipahami publik ilmiah, modern, tak mistis dan klenik. Namun jika dukun, dipastikan berkonotasi klenik, mistis, dan keluar dari syariat. Apa benar?

Herman Sinung Janutama (2015) menegaskan peradaban orang Islam Jawa sangat bahkan harus mistis. Sebab, pemaknaan dalam kehidupan mereka terbagi atas tiga. Pertama, makna alamin, makna awal yang semua orang bisa memahaminya.

Kedua, makna sanepa berupa kiasan. Ketiga, makna mistis. Orang Jawa sangat mistis, tidak mungkin orang Jawa tidak mistis.

Apakah lantaran mistis dan magis ini, suwuk dikatakan syirik dan haram? Apanya yang syirik dan haram? Aneh memang. Aktivitas mistis itu maksudnya wujud penyerahan diri pada Allah. Sebab, ritual membaca ayat Alquran, meminum air suwuk itu hanya aktivitas jasmaninya. Sedangkan aktivitas rohani, gaib atau mistisnya adalah menyerahkan kesembuhan itu pada Allah.

Baca juga:  Sejarah Budak dalam Peradaban Islam

Islam sendiri mewajibkan umat Islam untuk percaya pada yang gaib, mistis, atau magis. Salah satunya suwuk yang memiliki banyak kedalaman makna. Teknologi suwuk di Nusantara ini lebih cenderung memanfaatkan teknologi Alquran, obat-obatan tradisional, bahkan kekuatan alam. Melihat teknologi suwuk ini jelas islami, ilmiah, logis dan rasional.

Suwuk di Era Milenial

Meski belum punah, tradisi suwuk di era milenial bergeser hilang. Bahkan, idiom suwuk sedikit yang tahu, mungkin juga karena tidak ada lema Suwuk di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Padahal, suwuk dalam tradisi Islam sudah menjadi bentuk iman kepada Allah melalui simbol-simbol, bacaan, atau ritual tertentu.

Peradaban Islam di Nusantara memang mengalami disruption (ketercerabutan). Jika dulu ada orang sakit fisik maupun jiwanya, mereka datang ke kiai atau dukun minta suwuk. Namun kini bergeser pesat, ketika sakit, larinya ke dokter, puskesmas, rumah sakit, atau beli obat ke apotek.

Berobat ke kiai dan dukun dianggap jadul bahkan primitif. Sedangkan dokter dianggap ilmiah dan bergengsi. Padahal, percaya pada dokter sebagai penyembuh, sama saja syirik. Ini harus ditelaah mendalam. Mau dokter atau kiai, dukun, tabib, orang pinter, ia hanya jalan mencapai kesehatan. Yang Maha Penyembuh hanya Allah. Kiai, dukun, dokter hanya perantara.

Generasi milenial (generasi Y) yang didominasi orang kelahiran tahun 1980-2000an, harus didekatkan tradisi suwuk. Mereka yang berumur sekitar 17- 38 pada tahun ini sangat irasional jika mengafirkan suwuk. Jika mereka percaya dokter sebagai “penyembuh” itu sudah termasuk syirik.

Artinya, jika mengutuk suwuk itu syirik karena perantaranya kiai/dukun dan berobat ke dokter dianggap ilmiah, maka hal itu lucu. Konyol sekali. Kiai, dukun dan dokter apa bedanya? Sebab, sehebat-hebatnya mereka hanyalah perantara.
Secara teknis, kiai berkiblat pada Alquran, hadis, kitab-kitab kuning dan kalimat tayibah. Selain suwuk, kiai mendorong berbagai usaha manusia agar selamat dengan memohon perlindungan dari Allah dengan berbagai metode.

Sedangkan dukun, meskipun kebanyakan orang Jawa, mereka dalam ritualnya juga menggunakan ayat-ayat Alquran dan cara islami. Artinya, dukun di Jawa selalu berkiblat pada Islam, bukan sakarepde dewe yang berkiblat pada kekuatan setan atau jin.

Suwuk tidak melulu urusan sakit fisik saja. Ada beberapa teknis praktik suwuk. Pertama, jika sakit fisik ringan seperti panas, kepala pusing, flu, diare, suwuk biasanya menggunakan bacaan-bacaan Alquran/hadis.

Kedua, jika sakit fisik berat seperti paru-paru, jantung dan kencing batu, biasanya pasien disuwuk dengan membaca Alquran. Kemudian ditambah obat tradisional, dedaunan, hingga air yang sudah dibacakan doa.

Baca juga:  Majid Alyousef: Persekongkolan Kaligrafi dan Seni Rupa Modern

Ketiga, jika sakit rohani seperti kesurupan, diganggu setan, maka bentuk memohon perlindungan Allah selain membaca Alquran, mereka memakai rajah, jimat, atau tasbih, atau berupa kertas bertuliskan ayat-ayat suci.

Keempat, jika ingin tolak balak, serangan makhluk halus, musuh, atau ingin melindungi rumah, harta, uang, selain membaca Alquran, mereka biasanya memasang kalung, tasbih, dan asma’ artho (asma uang) yang diberi tulisan Arab.

Semua bentuk suwuk, jimat, rajah, asma’, atau lainnya di atas hanya bagian dari wasilah (jalan) atau perantara saja kepada Allah. Sebab, Yang Maha Melindungi dan Maha Penyembuh hanya Allah. Suwuk hanya salah satu jalan mendapat kesehatan, keamanan, dan kebahagiaan dari Allah. Apakah ini syirik?

Menjaga Suwuk

Suwuk sebagai tradisi Islam yang dilakukan sejak dulu harus dijaga. Dijaga tak sekadar diketahui pengertiannya. Namun harus digerakkan untuk menghidupkan tradisi Islam sebagai bentuk penghambaan pada Allah. Apalagi, Alquran itu obat, tak sekadar bacaan.

Alquran memiliki banyak nama. Salah satunya asy-Syifa yang berarti obat penyembuh. Allah berfirman; “Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Alquran) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang beriman” (Q.S Yunus [10]: 57).

Pesan ayat di atas jelas, Allah memberi deskripsi Alquran itu obat. Soal teknisnya, bergantung hasil ijtihad, kreativitas, atau tradisi masyarakat. Nabi Muhammad SAW juga menggerakkan tradisi suwuk sejak dulu. Tradisi orang Arab, sejak dulu memanfaatkan tumbuhan untuk pengobatan. Contohnya, pengobatan yang memanfaatkan buah Zaitun, Kurma, Anggur, dan lainnya yang sudah dijelaskan dalam Alquran.

Penelitian Muflih (2013:8), menjelaskan metode pengobatan yang telah diajarkan Nabi Muhammad terus-menerus diabadikan melalui para ulama atau ahli pengobatan dan tidak terlarang dalam Islam. Justru, hal itu menjadi bentuk implementasi perintah Allah untuk menjaga sakralitas Alquran.

Pengobatan dan penyembuhan ala Nabi Muhammad secara umum ada empat macam. Pertama, spiritual ilahiyah, doa, zikir atau dikenal dengan istilah ruqyah syar’iyah. Kedua, materi natural berupa obat alamiah bukan obat kimia sintetis, berupa resep-resep nabawy, seperti madu, zam-zam, zaitun, habbatussauda’, talbinah, kurma, jahe, bawang putih, timun, dan lainnya.

Ketiga, pengobatan bersifat terapi, seperti hijamah, al kayy, pemijatan, dan usapan. Keempat, campuran. Contohnya, pengobatan dengan bimbingan wahyu, seperti Thibbun Nabawi yang masih lestari di Arab sampai sekarang.

Baca juga:  Seni Islam: Diba` dan Kasidah Khas Madura

Sedangkan orang Jawa yang beragama Islam, memiliki cara sendiri yang secara substansial tak menyempal dari Alquran dan ajaran Rasulullah. Orang Islam di Nusantara justru mengembangkan suwuk sesuai pendekatan islami dan ilmiah dalam Alquran.

Alquran mendeskripsikan ada penyakit rohani dan jasmani. Maka suwuk sudah sesuai Alquran karena mampu mengobati dua jenis penyakit itu. Di sini, suwuk bisa menempatkan manusia sebagai makhluk yang utuh karena harus sehat jasmani dan rohani.

Suwuk wajib dilestarikan dan digerakkan dengan beberapa formula. Pertama, pemahaman objektif terhadap suwuk. Kedua, pelurusan paradigma, bahwa suwuk sangat islami, sesuai Alquran, dan sunnah nabi.

Ketiga, suwuk harus dipahami sebagai metode mendekatkan diri pada Allah, wahana penelitian ilmiah dan cinta alam. Sebab, semua ciptaan Allah bermanfaat bagi makhluk. Keempat, perlu kampanye suwuk sangat islami, ilmiah, dan tak kalah dengan pengobatan modern.

Kita harus ingat, banyak ilmuwan muslim yang mendasarkan Alquran sebagai pengobatan dan kemajuan kedokteran masa lalu. Seperti Ar-Razi, kimiawan yang mengobati pasien lewat makanan, lalu Ibnu An-Nafis penemu sirkulasi paru-paru pada abad 13. Kemudian, Al-Balkhi perintis pengobatan penyakit jiwa, At-Tabrani pakar terapi, konseling dan psikoterapi, Az-Zuhr pakar kedokteran saraf, serta Thabib Qurra pemikir bidang kesehatan.

Di Indonesia juga banyak pondok pesantren mengambangkan “persuwukan” untuk mendekatkan diri pada Allah. Contohnya, Pondok Pesantren Darul Falah Ki Ageng Mbodo Grobogan, Jawa Tengah. Mereka membuat “Suwuk Nusantara” berupa program pendidikan, pengobatan, tarekat, dan karya seni para santri/pasien.

Nabi Muhammad sejak dulu berpesan dalam hadis-hadisnya tentang pemanfaatan Alquran. Kepada sahabat yang sakit, Nabi Muhammad sering berpesan; Bagi kalian ada obat penyembuh, yaitu madu dan Alquran (H.R Ibnu Majah dan al-Hakim).
Dari ‘Auf bin Malik berkata, kami mengobati penyakit dengan menggunakan suwuk pada zaman jahiliyah. Lalu kami bertanya kepada Rasul, wahai Rasul, bagaimana pendapat Anda tentang hal itu? Rasul menjawab; hadapkanlah suwuk-suwuk kalian kepadaku, sesungguhnya hal itu tidak membahayakan selama kalian tidak syirik (Sunan Abi Dawud Juz I, 1998: 230).

Pesan-pesan sakral Nabi Muhammad di atas, melegitimasi suwuk sangat ilmiah dan rasional. Selama berpedoman pada Alquran dan tak syirik, maka bisa diterapkan dan digerakkan. Suwuk menjadi bagian dari pemanfaatkan teknologi Alquran untuk pengobatan, deteksi penyakit, bahkan pelindung dari bahaya.

Syaratnya, tidak syirik, menjadikan Alquran sebagai ruh, dan berpusat pada Allah sebagai Maha Segalanya. Jika ada orang membidahkan, mengafirkan, dan mengharamkan suwuk, tampaknya mereka harus disuwuk secepatnya!

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
7
Ingin Tahu
4
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
3
Terkejut
6
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top