Dalam keyakinan filsuf Muslim seperti Ibnu Rusyd, seorang bijak dan alim yang hidup di abad ke-12, terdapat kecocokan antara kebenaran yang bersumber dari wahyu (al-syari’ah) dan dari akal (al-hikmah). Kedua jenis kebenaran itu tidak boleh bertentangan.
Ajaran tentang hal ini, dikemukakan oleh Ibnu Rusyd dalam karyanya yang masyhur: Fasl al-Maqal fima Baina a-Syari’ati wa al-Hikmati min al-Ittisal (Kata Putus tentang Hubungan antara Syari’at dan Hikmah).
Apa yang disebut dengan hikmah dalam judul bukunya Ibnu Rusyd itu maksudnya tiada lain adalah filsafat. Sebab, “sophia” dalam bahasa Yunani maknanya adalah kebijaksanaan. Dalam bahasa Arab, kebijaksanaan adalah hikmah.
Selama membaca kitab Ihya’ karya Imam al-Ghazali (kita tahu, Ibnu Rusyd dan Imam al-Ghazali adalah dua orang yang saling berdebat keras dan berbeda pandangan), saya menjumpai sejumlah hal yang menarik. Antara lain berikut ini.
Ada sebuah hadis yang dikutip berkali-kali oleh al-Ghazali, yang bunyinya adalah: “Aktsar ahli al-jannati al-bulhu“, sebagian besar orang-orang yang akan masuk surga nanti adalah “al-bulhu“.
Kata al-bulhu adalah bentuk jamak dari ablah yang maknanya, menurut kamus Munjid: orang yang lemah akalnya (dla’ufa ‘aqluhu wa ‘ajaza ra’yuhu).
Makna hadis yang dikutip al-Ghazali di atas itu kira-kira adalah begini: Mayoritas orang-orang yang ada di sorga nanti adalah orang-orang yang bodoh, yang lemah akalnya.
Bagaimana memaknai hadis di atas? Apakah hadis ini bermakna bahwa menjadi orang yang pintar bukanlah sesuatu yang dianjurkan, karena toh orang-orang bodohlah nanti yang akan masuk surga? Apakah hadis ini semacam pengendoran terhadap kehendak untuk belajar?
Dalam beberapa kali ngaji Ihya’, saya menyampaikan bahwa makna hadis ini bukanlah demikian, bukan dorongan untuk menjadi orang bodoh agar kelak masuk surga.
Makna hadis ini adalah semacam kritik terhadap “elitisme” intelektual: bahwa kebenaran dan kebijaksanaan yang akhirnya akan membawa orang kepada kebahagiaan abadi di akhirat kelak, bukanlah monopoli kaum “intelek” yang berpendidikan tinggi.
Hadis ini adalah semacam pembelaan bagi the commoners, orang-orang biasa.
Yang menarik, ada statemen yang maknanya serupa yang datang dari filsuf besar Yunani, Sokrates, orang bijak yang menjadi pusat kekaguman para filsuf muslim di era klasik dulu.
Dalam pembelaannya di hadapan para juri yang kemudian menjatuhinya hukuman mati, dan kemudian pembelaannya itu direkam oleh muridnya bernama Plato dalam risalahnya berjudul Apologi, Sokrates antara lain melontarkan ucapan berikut ini:
“Karena aku wajib mengatakan kebenaran di hadapan pengadilan, maka, aku bersumpah, demi anjing, wahai orang Atena, aku sungguh-sungguh mengalami sesuatu seperti ini:
Ketika aku menyelidiki perkara-perkara ilahi, aku dapati bahwa orang yang dipandang paling terhormat ternyata adalah orang yang paling bodoh, sementara orang yang dipandang lebih rendah dari mereka ternyata lebih baik dalam hal penguasaan pengetahuan.” (Apologia, 22a).
Kalimat Sokrates ini saya kutip dari terjemahan yang dilakukan oleh Ioanes Rakhmat dalam bukunya yang diterbitkan Gramedia, “Sokrates dalam Tetralogi Plato” (2009).
Meskipun tidak mirip benar, tetapi ada kesejajaran antara hadis Nabi yang dikutip al-Ghazali di atas dengan kalimat Sokrates ini: keduanya memuat semacam “apologia” atau pembelaan bagi orang-orang yang diremehkan oleh kaum elit sebagai orang-orang yang paling bodoh.
Konon, menjelang akhir hayatnya, Imam Ghazali (menurut kisah yang lain, Imam Razi (w. 1209), penulis tafsir besar Mafatih al-Ghaib itu), melontarkan sebuah kalimat yang mengandung semacam doa dan sekaligus keluhan: Allahumma imanan ka-iman al-dlu’afa’; O, Tuhan, berilah aku keyakinan seperti keyakinan orang-orang yang lemah akalnya.
Sekali lagi, ini semua bukan semacam dorongan untuk menjadi orang bodoh dan lemah akal, melainkan kritik kepada orang-orang cerdik-pandai yang kerapkali terlalu canggih berteori, sehingga kehilangan sentuhan atas hal yang mendasar dalam hidup: yaitu iman dan harapan.
Kaum elit terpelajar kerapkali terjatuh pada sikap skeptis dan sinisme pada “iman” dan harapan; sementara orang-orang yang tak terdirik secara canggih dalam spekulasi teoritik dan filsafat justru paling cepat untuk beriman dan percaya.
Skolastisisme atau latihan akademis di sekolah kerapkali membunuh naluri alamiah dalam diri manusia untuk percaya dan berharap.
Dalam hal ini, kita menyaksikan semacam “vindication” atau bukti kebenaran dari ajaran Ibn Rusyd tentang ittishal atau pertemuan antara wahyu dan filsafat.
Nabi Muhammad dan Sokrates bertemu dalam semangat yang sama: pujian pada orang-orang kecil yang tak terdidik, tetapi justru memiliki naluri alamiah yang masih “asli” untuk cepat menangkap kebenaran dan “hikmah” ; sekaligus kritik kepada kaum elit terdidik yang saking canggihnya cara berpikir, kadang kehilangan naluri alamiah untuk “beriman”
Sokrates kayakx nabi.