Pada 1986, terbit buku berjudul Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia dengan editor Maria Ulfah Subadio dan TO Ihromi. Buku berjudul sederhana tapi mengejutkan bagi pembaca. Buku memuat tulisan-tulisan dari masa sebelum 1940-an, mula-mula dalam bahasa Belanda. Buku itu mungkin salah judul. Pembaca diajak ke masa silam dalam pengembaraan tulisan bertema besar wanita.
Bunga rampai itu “terlalu” penting bagi kita tapi “salah” dalam pengemasan. Buku bercitara sejarah. Dulu, buku itu dimaksudkan untuk menanggapi Tahun Wanita Internasional (1975). Buku dalam terjemahan bahasa Indonesia terbaca saat rezim Orde Baru membuat kebijakan-kebijakan tampak memihak kaum wanita. Kita mengartikan “tampak” itu mungkin manipulatif.
Di situ, kita membaca petilan surat Kartini (25 Agustus 1903). Tulisan itu turut membentuk sejarah (gagasan) dan pasang-surut kebijakan berlatar masa kolonial. Pada saat memutuskan menikah, Kartini masih memiliki kehendak-kehendak. Ia mengikuti suami tinggal di Rembang. Kartini pun ingin mewujudkan beragam misi, terutama pendidikan dan kerajinan.
Kartini menulis: “Rembang itu kota yang sepi. Hati saya senang, residen di sana juga menyukai cita-cita kami. Jadi, saya datang ke sana bukan sebagai orang asing. Dan, di sana akan bertemu dengan sahabat saya yang besar ialah laut! Letaknya cuma 100 langkah dari rumah kami. Tatkala diceritakan orang kepadanya, saya sangat suka akan kerajinan membuat barang yang bagus-bagus dan industri bangsa kami, katanya, di sana ada juga pandae emas dan pengukir lagir.” Kartini memang berperan untuk memajukan kerajinan berbarengan pembentukan identitas sebagai istri. Ia dalam keseriusan memajukan pendidikan dan kerajinan.
Kita lanjutkan membaca pujian seorang putri di Lumajang mengenai Kartini dan warisan berupa Sekolah Kartini. Kesaksian dan pujian ditulis pada 1914: “Suatu faktor penting untuk peradaban bangsa kiranya ialah kemajuan kaum wanita bumiputera, yang akan menjadi teman seperjuangan dalam usaha mulia: memajukan putera-puteri Jawa. tingkatkanlah kesadaran kesusilaan kaum wanita, didiklah mereka, bentuklah mereka menjadi ibu yang keras hati dan bijaksana…. Hendaknya dimulai dengan membina ibu-ibu yang bijaksana dan beradab, yang nanti menjadi pemimpin-pemimpin rakyat di masa datang. Sekolah-sekolah saja tidak akan membawa kemajuan dalam masyarakat, anggota-anggota rumah tangga pun harus membantu dalam hal ini. Dari anggota-anggota rumah tangga dapat memancar kekuatan mendidik: keluarga selalu ada siang dan malam, sedangkan sekolah hanya beberapa jam saja dalam seharinya.” Pokok pendapat terpenting: pendidikan di rumah dan sekolah.
Pada abad XXI, rumah dan sekolah itu justru terus bermasalah. Renungan-renungan dari akhir abad XIX dan XX menempatkan Kartini sebagai sosok mengerti zaman. Ia sadar seribu perkara pelik tapi berani dalam membahasakan dan membuat tindakan-tindakan meski rawan perdebatan. Situasi zaman bergawai membuat kita mengerti pendidikan tak lagi mutlak bereferensi rumah dan sekolah. “Kepatutan” saja saat pendidikan terus dibicarakan dan dipusingkan melalui pelbagai kebijakan pemerintah atau ikhtiar-ikhtiar beragam komunitas.
Haryati Soebadio dan Saparinah Sadli (1990) memberi penjelasan dampak-dampak biografi dan tulisan-tulisan Kartini. Penjelasan berpijak konstitusi. Kita mengutip: “Khususnya mengenai kedudukan wanita, yang di zaman Kartini sedemikian dirasakannya menyedihkan, Undang-Undang Dasar 1945 memang sama sekali tidak membedakan pria dan wanita. Dalam kewarganegaraan, kesempatan kerja dan kedudukan di dalam hukum dan pemerintah, wanita Indonesia lebih baik kedudukannya, bila dibandingkan dengan zaman Kartini.”
Kita menganggap penjelasan merujuk konstitusi itu menjadi arus terbesar sejak Kartini berhadapan dengan feodalisme dan kolonialisme. Sejarah konstitusi (1945) memang memberi kemungkinkan bagi kaum wanita berperan besar dan bertanggung jawab atas Indonesia. Pembacaan atas undang-undang tak mudah cocok dengan situasi-situasi rumit di Indonesia. Undang-undang tak menjadi jaminan mutlak bagi kaum perempuan bisa maju dan membesarkan peran. Kita pun mengerti gerakan-gerakan Kartini dalam pendidikan dan kerajinan masa silam itu memerlukan tanggapan birokrasi dan tanggapan publik. Pola berulang saat rezim Orde Baru membuat kalimat-kalimat indah bertema perempuan tapi memberi jeratan-jeratan sulit di birokrasi.
Pada 1962, Pramoedya Ananta Toer memberikan penjelasan-penjelasan penuh sanjungan untuk Kartini bagi tatanan hidup menggelorakan revolusi di Indonesia. Kaum perempuan “dijamin” dalam konstitusi dan mengerti arus perubahan zaman. Semua itu bisa berkiblat Kartini. Pram menulis: “Ia pun menyadari tugasnya pada sejarah, pada generasi-generasi mendatang. Lebih mengherankan, juga bagi masa kini pun, ialah kenyataan bahwa antara pemikirannya dan perbuatan tidak terdapat keretakan, apalagi pertentangan atau perpecahan. Sepanjang pemikiran dan perjuangannya, ia tetap mempertahankan integritas atau keutuhan antara jiwa dan laku.”
Pada abad XXI, pemahaman atas biografi, sejarah, dan konstitusi mengalami keriuhan tanggapan. Indonesia memastikan mencipta selebrasi besar atas peran kaum perempuan. Arus pemikiran mereka dalam agenda-agenda besar Indonesia. Pada saat berbarengan, selebrasi “kolot” lustru masih lestari di sekolah dan perkumpulan wanita saat peringatan Hari Kartini. Kita masih dibingungkan dengan pengenaan busana adat, lomba memasak, dan ucapan-ucapan basi. Begitu.
Pada saat berbarengan, selebrasi “kolot” (lustru) masih lestari di sekolah dan perkumpulan wanita saat peringatan Hari Kartini. Kita masih dibingungkan dengan pengenaan busana adat, lomba memasak, dan ucapan-ucapan basi. Begitu.
dalam copy paste dia atas ada bagian saya beri tanda kurung kiranya ada typo yang terkesan kurang nyaman bagi saya.