Sedang Membaca
Kita yang Mudah Sekali Meremehkan Pekerjaan Non-Kantoran

Saya mendefinisikan diri saya sebagai seorang yang gemar membaca, menulis, berenang, dan jalan-jalan. Menulis menjadi sarana saya untuk mengabadikan berbagai hal. Menulis juga melatih saya untuk mengerti arti konsistensi dan pantang menyerah. Tulisan saya seperti puisi, opini, dan feature pernah dimuat di berbagai media massa. Di antaranya di Detik, Kompas, Suara Merdeka, Wawasan, Tribun Jateng, Bangka Pos, Bali Pos, Radar Lampung, Malang Voice, dan Koran Sindo. Telah menerbitkan dua buku di Ellunar Publisher, Kumpulan Puisi Berjudul Racau dan Kumpulan Opini di Media Massa Berjudul Gelisah Membuah

Kita yang Mudah Sekali Meremehkan Pekerjaan Non-Kantoran

“Mau ternak lele saja, ah. Gampang!”

Celetukan itu kerap terlontar dari para pekerja kantoran yang dirundung tugas bertubi-tubi dari atasan. Dan tak kunjung mendapatkan kepastian apakah garapan mereka diterima atau enggak, karena masih terus mendapatkan revisi. 

Mungkin keluhan di atas enteng diucapkan. Terdengar tidak ada yang salah. Namun, ada pemahaman yang keliru yang bertahun-tahun kita amini. Kita terlalu menyepelekan kerja-kerja di luar ranah kantoran. Pekerjaan yang tidak mengharuskan individunya berada di dalam di kantor dianggap pekerjaan remeh yang gampang sekali dikerjakan. Peran mereka yang memilih jalur berkarya di luar gedung perkantoran kerap kali diabaikan begitu saja. 

Masyarakat telanjur menanamkan konstruksi sosial bahwa kerja yang melibatkan otot jauh lebih tidak berharga dibandingkan kerja yang menggunakan energi akal pikiran. Misalnya begini, orang-orang akan jauh lebih menyeganimu apabila kamu menjawab bekerja di gedung A dengan posisi yang namanya saja terlihat sudah kekinian. Jauh lebih mentereng. Orang-orang akan membayangkanmu yang kerja kantoran adalah sosok yang mengutamakan penampilan, wangi, bersih, rapi, sopan, terpelajar, dan punya pemikiran kritis. Karena sehari-hari memusatkan konsentrasi di depan layar laptop. Menyelesaikan tugas-tugas yang diampukan ke kamu. 

Bandingkan jika kamu adalah seorang petani. Orang-orang pasti akan bertanya menyelidik. Menginterograsi alasanmu kenapa tertarik dengan ranah pekerjaan yang dicap tidak keren di era modern saat ini. Petani sehari-hari bergelut dengan terik matahari. Sehingga tak terelakan bisa berdampak membuat kulit belang dan kusam. Tentu akan mendapat gunjingan dan cibiran karena dirimu akan nampak lusuh dan berpeluh keringat. 

Nyatanya, kita memang sering melakukan diskriminasi semacam itu. Merasa superior karena merasa bekerja di bidang yang mentereng dan banyak disorot media sosial ataupun media massa. Namun, itu tak lantas membuat diri kita berhak merendahkan orang lain. Tidak serta-merta jadi pembenaran buat kita untuk bisa menginjak-injak kerja keras orang lain. 

Baca juga:  Air, Kucing dan Manusia

Suatu waktu saat saya masih bocah SD, tanpa berpikir panjang, saya mengomentari harga cikrak (dalam bahasa Jawa disebut engkrak) yang dijajakan pedagang keliling. 

“Masa segitu harganya 20ribu rupiah, Ma.” Protes saya kala itu. 

Mama saya lantas menyuruh saya untuk menarik ucapan tersebut. Ia kemudian mengajak saya untuk lebih berempati dan mulai menghargai hal-hal di sekitar. Nasihat mama saya yang paling menohok adalah saya belum tentu bisa membuat pengki anyaman bambu. Dengan jumlah sebanyak dagangan yang dipikul bapak penjual. Tak hanya itu, mama saya juga meminta saya menghargai jerih payah penjualnya yang rela berkeliling dengan jalan kaki untuk menyambangi satu-persatu pembelinya. Kami sebagai pembeli tidak perlu kesusahan harus memburu keliling pasar untuk mendapatkan pengki tersebut. 

“Memangnya dengan uang 20ribu, kamu yakin bisa menghasilkan satu pengki itu? Mulai hargailah waktu, tenaga, dan kreativitas orang lain,” mama saya mengingatkan. 

Kemudian mama saya menambahkan, misalnya harga pengki yang dijual keliling ini lebih mahal, pasti ada hal lain yang kami tebus. Menurut mama saya, ada kemudahan yang kami barter. Kami cukup menunggu di rumah, pengki sudah datang. Tidak keluar ongkos dan keringat untuk keluar rumah. 

Saya pun diminta mama saya untuk menelaah lebih jauh. Mungkin saja, 20ribu bukanlah nominal yang besar bagi kami. Namun, bagi penjual pengki akan berbeda. Nilai tersebut adalah secercah harapannya untuk hari itu. Ia akhirnya memiliki bayangan tentang bagaimana dapur keluarganya akan mengepul. Hal-hal seperti inilah yang sering kali kita lupakan. Terlalu perhitungan dan melupakan rasa kemanusiaan. 

Baca juga:  Perceraian, Takhbib, dan Media Sosial

Maka dari itu, saya pun sampai kini juga heran. Mengapa kita masih begitu gemar memincingkan mata dengan pekerjaan-pekerjaan di bidang agraris dan maritim. Kita terlalu asyik mengagungkan teknologi. Menggadang-gadang teknologi sebagai jawaban yang dapat menyediakan segala kebutuhan manusia. Padahal, ada petani dan nelayan yang juga berperan vital bagi kehidupan kita. 

Para petani mengolah tanah lalu mengamankan kebutuhan kita terhadap pangan. Memastikan kita tidak kelaparan akibat kelangkaan stok bahan makanan. Nelayan juga mencukupi kebutuhan kita akan nutrisi yang dihasilkan dari tangkapan ikan mereka. Lalu kita masih terus-terusan menganggap nelayan dan petani bukanlah pekerjaan yang keren? 

Mirisnya lagi, kesejahteraan dua jenis pekerjaan ini juga memprihatinkan. Mereka menggantungkan diri dengan faktor alam dan sosial. Yang sewaktu-waktu bisa tiba-tiba kacau balau kondisinya. Harga hasil panen atau tangkapan bisa melambung tinggi atau mendadak anjlok. Tidak menentu dan tidak pula seperti yang diimpi-impikan. 

Kondisi yang serba tidak mengenakan ini salah satunya disebabkan oleh panjangnya rantai distribusi. Para petani dan nelayan justru kerap tidak menerima keuntungan yang utuh tatkala harga hasil panen dan tangkapan mereka melejit. Tengkulak bermain di sini untuk memainkan harga. 

Begitulah, kita masih termakan jargon-jargon yang mengkampanyekan untuk tidak bercita-cita jadi petani atau nelayan. Iming-iming kemapanan memang selalu berhasil membius kita semenjak masih jadi anak kecil. Kita akan dengan lantang menjawab, bercita-cita menjadi polisi, dokter, guru, arsitek, pilot, atau sederet pekerjaan lain yang mentereng dan bonafid. 

Baca juga:  Diaspora Santri (20): Melihat Wajah Islam di Jepang: Peran Strategis PCINU

Padahal, menjadi petani dan nelayan tidak hanya mengandalkan tenaga belaka. Butuh kecermatan dalam menentukan langkah saat hendak bercocok tanam atau melaut. Jadi, tetap membutuhkan keterampilan mengasah otak. Saya pernah menjajal ini. Saya mengisi waktu kosong di antara jeda saat menunggu penyerahan ijazah kelulusan. Dengan cara menyibukkan diri di halaman depan dan samping rumah. 

Saya menyulap lahan yang teranggurkan itu menjadi kebun kecil untuk bercocok tanam sayuran. Dimulai dengan mencabuti rumput-rumput liar yang memenuhi tanah halaman rumah. Lelahnya minta ampun. Kemudian saya menebar bijinya hingga tersemai menjadi bibir. Dan ternyata tidak semudah itu. 

Dibutuhkan strategi yang mumpuni dan mengetahui trik-triknya bila kita ingin berkebun. Tentu saya melakukan banyak kesalahan saat itu. Biji bayam harusnya ditempatkan secara terpisah satu sama lain. Bukan bergerombol seperti yang saya lakukan. Hasilnya, pertumbuhan bayam saya menjadi cungkring tidak subur. Batangnya kurus. 

Sejak saat itu, bertambahlah hormat saya terhadap para petani. Mereka begitu telaten merawat tanaman di ladang. Menengoknya tiap hari. Memastikan tidak ada hama yang melekat. Benar-benar mencurahkan segalanya untuk sang tanaman. Namun terkadang nasib tidak berpihak kepada petani. Harga komoditas sayuran begitu rendah di pasaran. Seikat bayam di tempat tinggal saya di Kendal, pernah dihargai cuma dua ribu rupiah. Padahal yang kita tahu, bayam adalah sumber zat besi yang penting untuk tubuh. 

Apakah kita masih akan melanjutkan praktik-praktik merendahkan macam ini? Mari sama-sama enyahkan pikiran diskriminasi yang masih kerap menaungi kita. Mulailah memandang setara setiap individu. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top