Muktamar NU ke 34 akan menarik sekali karena dipenuhi kompetisi dua kader terbaik, dengan gaya politik santri untuk memperebutkan jabatan Ketua Umum PBNU.
Sebuah panggung kontestasi yang menggambarkan betapa sengitnya pertarungan untuk merebut hati para muktamirin. Kaya dengan taktik dan strategi. Saling mengumbar manuver yang sulit dipahami oleh setiap para muktamirin. Menggambarkan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang besar, yang mempunyai basis masa yang besar, dan tidak semudah yang dibayangkan.
Gaya politik santri yang mengutamakan moralitas, ketawadhu’an, sulit untuk ditebak, perlu perhitungan, dan mengutamakan kemaslahatan umat, yakni amar ma’ruf nahi mungkar, warna yang nampak setiap pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan.
Setidaknya, Muktamar NU ke-34 adalah pesta demokrasi warga nahdliyyin yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Betapa sengitnya, perebutan jabatan yang prestisius ini, dengan penuh intrik dan politik kelas tinggi.
Nahdlatul Ulama setiap muktamar melahirkan ketua PBNU yang mendunia, dan ada beberapa yang berpengaruh dan mewarnai dalam peta percaturan politik Indonesia. Tentu yang masih dalam ingatan adalah KH. Idham Chalid yang menjabat ketua PBNU periode 1956–1984. Orang pertama dari Nahdlatul Ulama dengan jabatan tertinggi di pemerintahan. Dia berkali-kali jadi wakil perdana menteri. Dan menjadi kabinet selama Soekarno jadi Presiden.
Tak ayal, ia disebut dalam bukunya Ahmad Muhajir: guru politik orang NU, sebagai politisi pernah menjabat sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyaratan Rakyat dari 1971-1979. Posisi Kiai asal Banjarmasin tersebut akhirnya digantikan oleh Gus Dur pada 1984.
Ketua PBNU yang selanjutnya adalah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Cucu dari KH. Hasyim Asy’ari terpilih di Muktamar Situbondo pada Desember 1984. Duetnya dengan KH. Ahmad Sidiq sebagai Rais Syuriah memberikan perubahan, di mana NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan kembali menjadikan NU sebagai organisasi civil society yang tidak mengurusi politik praktis sejak dikeluarkan Khittah NU 1926. Cerdiknya Gus Dur, walaupun titah pada pemerintah, namun tetap menjadi mitra kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Sejak saat itu, Gus Dur semakin dikenal dikancah nasional dan internasional. Berkat kepiawaian dan jaringan yang ia bangun. Perjalanan politik membawa dirinya menjabat Presiden Indonesia yang ke-4.
Dilanjutkan dengan KH. Hasyim Muzadi, seorang santri dari Malang Jawa Timur. Jejak karirnya dimulai dari kaderisasi tingkat ranting, PCNU, dan pernah menjabat sebagai ketua PWNU Jawa Timur. Proses kaderisasi berjenjang, alumni pesantren modern Darussalam Gontor, menjadi ketua PBNU terpilih dua periode. Posisi yang amat penting di NU pernah dilirik menjadi calon Wakil Presiden bersama Ibu Megawati Soekarno Putri, walaupun ia gagal mewujudkan hal itu, karena gagal mendulang suara yang berhadapan dengan pasangan SBY-JK.
Saat ini, KH. Said Aqil Sirodj, Ketua PBNU dua periode. Seorang santri lulusan Lirboyo, Krapyak, dan melanjutkan studi di Mekkah. Di masanya, PBNU sangat dekat dengan pemerintahan. Banyak kader-kader NU yang mengisi di jabatan strategis. Puncaknya, terpilihnya KH. Maruf Amin sebagai Wakil Presiden bersama Presiden Jokowi.
Walaupun tidak terlibat langsung dalam konteks politik praktis, namun ia menjadi king makker yang saat ini ditunjukkan sebagai komisaris PT Kerata Api Indonesia, sebuah perusahaan BUMN.
Saat ini para Kiai adu siasat untuk memperebutkan jabatan ketua umum PBNU itu. Yang menguatkan, ternyata masing-masing kubu adalah pertama, kiai muda dengan mempunyai jaringan internasional: KH. Yahya Cholil Tsaquf. Kedua, petahana yang maju kembali, KH. Said Aqil Sirodj. Termutakhir, terdengar KH. As’ad Ali yang ingin maju kembali, setelah muktamar 2015 di Jombang ia gagal.
Uniknya, mereka dibesarkan dan mengenyam pendidikan di Krapyak, Yogyakarta. Ia merupakan murid dari KH. Ali Maksum.
KH. Ali Maksum
Perjalanan pendidikannya, mereka semua satu guru, KH. Ali Maksum. Kiai Ali menjadi inspirasi keduanya, apalagi soal menahkodai Nahdlatul Ulama.
Dalam bukunya Ahmad Atho’ilah, “KH. Ali Maksum Ulama, Pesantren, dan NU” dijelaskan, Kiai Ali Maksum merupakan sosok yang disegani santri-santri sekarang dan menjadi rujukan masyarakat sekitarnya. Dalam bidang pergerakan politik, Kiai Ali Maksum berprinsip pada sendi nilai-nilai fikih. Pada masa orde baru, Kiai Ali Maksum mengambil sikap politik yang sangat keras, Kiai Ali menolak keras keberadaan Golkar. Beliau pernah berseberangan dengan kebijakan pemerintah Soeharto dan politik orde baru, kemudian pada tahun 1979, beliau menjadi Rais ‘Am, menggantikan Kiai Bisri Syansyuri yang wafat.
Semasa hidupnya, Kiai Ali memang dikenal menjadi sosok penyelamat suatu organisasi dalam masa sulit. Sejak tinggal di kota Jogja, beliau membangun organisasi NU dari bawah. Kekuatan pemuda, pengusaha, mahasiswa, dan sebagainya beliau kumpulkan. Pada masa demokrasi liberal, kala NU keluar dari Masyumi sebelum Pemilu 1955, Kiai Ali juga hadir menjadi salah satu tokoh yang berjasa.
Meski baru menjadi salah satu kekuatan politik, NU berhasil menempati posisi ketiga dalam Pemilu 1955 di bawah PNI dan Masyumi. Kiai Ali juga berperan dalam menjaga persatuan NU saat permulaan orde baru. Terlebih, saat penyederhanaan partai oleh pemerintah pada 1973, NU benar-benar diuji. Jalan damai yang digaungkan Kiai Ali menjadi salah satu titik keberhasilan dari jasa Kiai Ali meredam konflik di dalam tubuh NU.
Peran besar Kiai Ali dalam NU salah satunya diwujudkan dalam upaya pergerakan NU “Kembali ke Khittah 1926” atau yang dikenal sebagai penyelamatan NU dari kepentingan politik praktis. Upaya ini dilakukan pada 1984. Saat itu, NU memutuskan tidak berafiliasi dengan parpol manapun sesuai tujuan awal organisasi ini berdiri. Kiai Ali juga terus mengawal jalannya gerakan ini hingga akhir hayatnya.
Dua Kiai Bermazhab Krapyak
Pada Muktamar NU ke -34 ini, setidaknya ada dua kader terbaik yang siap: Kiai Said Aqil Sirodj, jabatan sebagai ketua petahana dua periode, dan Kiai Yahya Cholil Tsaquf, atau sapaan Gus Yahya, jabatan sebagai Katib Amm Nahdlatul Ulama.
Dua-duanya alumni Krapyak. Kiai Said Aqil Sirodj setelah dari pesantren Lirboyo yang diasuh oleh Kiai Mahrus Ali, kemudian melanjutkan ngaji di Pesantren Krapyak yang diasuh oleh Kiai Ali Maksum.
Sedangkan, Kiai Yahya Cholil Tsaquf sejak kecil dihabiskan di Pesantren Krapyak. Di samping di pesantren, beliau mengenyam pendidikan formal hingga perkuliahan di kota Yogyakarta.
Dua-duanya juga merupakan alumni perguruan tinggi di Yogyakarta. Kiai Said Aqil Sirodj alumni IAIN Fakultas Adab Yogyakarta. Walaupun tidak tamat. Pernah menjadi anggota PMII UIN Sunan Kalijaga. Sedangkan Kiai Yahya Cholil Tsaquf merupakan Alumni Universitas Gadjah Mada, jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Politik (Fisopol). Ia pernah menjadi kader HMI semasa kuliah.
Gaya politik mereka dipengaruhi oleh setting sosial semasa sekolahnya. Yogyakarta dikenal dengan kosmopolitan dan beragam mahasiswa. Perjalanan seorang santri yang lama di pesantren mengubah dirinya ketika berhadapan dengan dunia baru. Krapyak yang ketika itu dipenuhi dengan santri yang berasal dari luar daerah telah membuka cakrawala pemikiran yang lebih luas.
Kiai Said Aqil Sirodj, bicaranya tegas tanpa tedeng aling-aling, logat khas Cirebon yang begitu kental. Berkali-kali, ia begitu kosisten dalam mengambil sikap dalam menghadapi jaringan ekstremisme dan radikal. Ia tidak takut sekalipun bila dikritik dan dihujat. Langkah berani itulah menjadi modal yang kuat dalam memimpin NU yang menorehkan banyak prestasi selama menjabat. Rumah sakit hingga perguruan tinggi NU semakin menjamur di masanya.
Sedangkan Kiai Yahya Cholil Tsaquf, sosoknya yang kalem namun tegas dalam berprinsip untuk menyikapi suatu permasalahan. Diantaranya, ia tidak takut untuk berangkat ke Israel untuk melanjutkan misi perdamaian dunia. Bahasa Inggrisnya yang fasih, dan jaringan internasional yang mendunia menjadi modal berharga jika kelak dipercaya memimpin NU.
Demikianlah, Muktamar NU di Lampung ke- 34 yang dipenuhi oleh alumni Krapyak. Murid langsung dari Kiai Ali Maksum. Dua-duanya kader terbaik. Tidak ada bedanya. Tinggal para muktamar yang memilihnya.
Dan Saya yakin di tangan mereka, Insyallah akan melanjutkan apa yang pernah dilakukan oleh para muasis Nahdlatul Ulama. Selamat bermuktamar! (*)