(L. 8 Agustus 1939-27 Maret 2010)
Asywadie Syukur merupakan ulama besar Kalsel kelahiran Desa Benau Hulu, Kecamatan Lahei, Kabupaten Barito Utara, Kalteng pada 8 Agustus 1939. Beliau putra pasangan Syukur dan Iyah dari suku Dayak Bakumpai Marabahan. Setamat SR di desa kelahirannya, beliau melanjutkan ke SMIP Hidayatullah Martapura, kemudian melanjutkan studinya ke Fakultas Syariah Universitas al-Azhar Kairo tahun 1960-1965, kemudian berangkat lagi ke sana tahun 1975-1976. Pendidikan Sarjana diselesaikan di Fakultas Syariah IAIN Antasari tahun 1980.
Selanjutnya beliau menjadi dosen dan dipercaya menduduki jabatan Dekan Fakultas Dakwah selama dua periode. Beliau merupakan salah seorang guru besar senior di IAIN Antasari dan menjadi Rektor IAIN Antasari periode 1997-2001. Beliau juga pernah menjadi anggota DPRD Kalsel periode l982-1987, Ketua MUI dan Ketua Umum MUI selama tiga periode sejak 1985 hingga akhir hayatnya. Masih banyak lagi jabatan formal dan nonformal yang dipercayakan kepadanya. Semua jabatan itu tidak dikejarnya dengan ambisi, tetapi semata kepercayaan pemerintah dan masyarakat. Bagi Asywadie, mencari jabatan tidak perlu dengan rekayasa dan kasak-kusuk. Semua itu amanah, biarkan mengalir seperti air.
Mengingat luas dan mendalamnya ilmu agama, Pak Asywadie lama mengasuh acara Konsultasi Hidup dan Kehidupan di RRI Banjarmasin. Acara ini termasuk favorit dan disenangi masyarakat Kalimantan dan dari mana saja siaran dapat diterima. Menurut KH Husin Naparin, Lc, MA, yang menggantikan mengasuh acara ini setelah Pak Asywadie berhalangan, di antara pesan Pak Asywadie dalam menjawab pertanyaan, adalah memberikan pencerahan bagi umat Islam agar senantiasa berbuat baik. Jawaban beliau mampu mengenyangkan rasa haus dan memuaskan dahaga akan pengetahuan agama. Jika masalah yang ditanyakan sudah ada kesepakatan ulama, maka jawaban diarahkan kepada kesimpulan tersebut. Tetapi jika masih berstatus khilafiyah, diberitahukan dalil masing-masing pendapat yang berbeda, agar umat dapat memilih mana yang disukainya.
Kelebihan lainnya, di samping aktif memberi kuliah, ceramah, berkhutbah, mengisi pengajian, sarasehan dan seminar, Pak Asywadie seorang penulis produktif. Lebih 50 buku besar dan kecil telah beliau susun, terbit dan beredar di masyarakat, belum lagi ratusan tulisan di media massa dan makalah. Banyak buku beliau diterbitkan PT Bina Ilmu Surabaya, dan beberapa di antaranya seperti Perbandingan Mazhab dan Salinan Kitab Sabilal Muhtadin karangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tergolong best seller. Beliau menguasai beberapa bidang ilmu, seperti tauhid, fikih, tasawuf, tafsir, hadits, tarikh, ushul, bahasa Arab, perkawinan, perwakafan, peradilan agama, ekonomi Islam, dan peraturan perundangan tentang kerukunan umat beragama. Dalam hal menulis, Pak Asywadie disiplin, sehari harus menulis, jika berhalangan karena sibuk esok harinya harus menulis lagi dua kali lipat. Disiplin membagi waktu, tak ada waktu sia-sia.
Dengan perannya itu masyarakat Kalsel bahkan Kalteng merasa sangat kehilangan. Sikap Pak Asywadie yang moderat dan low profile, dapat mengayomi dan diterima oleh semua golongan. Beliau juga mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan lintas agama. Wajar, tak hanya umat Islam, nonmuslim pun merasa kehilangan dengan kepergiannya.
Ribuan orang melayat dan shalat jenazah di rumah duka Jl Sultan Adam Banjarmasin, kemudian dishalatkan lagi di Masjid Raya Sabilal Muhtadin. Selanjutnya dibawa ke Martapura untuk dimakamkan di sana. Ucapan duka cita bertebaran di banyak media. Masyarakat Kalimantan Selatan berduka. Ulama besar dan kenamaan ini meninggal dunia dalam usia 71 tahun. Beliau meninggal di RSUD Ulin Banjarmasin 27 Maret 2010 setelah dirawat beberapa hari karena sakit. itu dimakamkan di Alkah Mahabbah Gunung Ronggeng Martapura.
Beliau meninggalkan seorang istri Hj. Tsuaibatul Aslamiyah, dan 6 orang anak, yaitu Huwaida Maria, Hilda Surya, Muhammad Ghazi, Nahed Nuwairah, Souva Asvia dan Huda Sya’rawi.
Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.