
Kisah panjang tentang Hajar Aswad merupakan cerita yang tidak pernah akan usai, sebuah batu yang ditengarai turun dari surga bersamaan dengan diturunkannya dua makhluk manusia pertama yang bernama Adam dan istrinya, Siti Hawa. Sebagai benda suci yang diyakini kaum muslimin, Hajar Aswad bukanlah sembarang batu. Batu tersebut dijadikan sebagai titik acuan untuk memulai dan mengakhiri putaran thawaf dalam melaksanakan ibadah haji dan umroh.
Selain dari itu, untuk memegang, meletakkan jidat, atau mencium hajar aswad adalah termasuk dalam sunah-sunah thawaf. Kesunnahan menyentuh atau mencium Hajar Aswad tersebut didasarkan pada hadits dari Abdullah bin Umar Ra. Beliau menceritakan kebiasaan Rasulullah SAW saat melakukan thawaf,
لَمْ أَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُ مِنَ الْبَيْتِ إِلَّا الرُّكْنَيْنِ الْيَمَانِيَّيْنِ
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW beristilam (menyentuh) Rukun Yamani dan Hajar Aswad setiap kali beliau thawaf,” (HR Muttafaq ‘alaih).
Namun siapa sangka, bahwa batu istimewa Hajar Aswad yang terletak di salah satu sudut Ka’bah tersebut ternyata pernah hilang dari tempatnya selama 22 tahun. Perpindahan tersebut adalah atas perilaku Abu Thahir Sulaiman ibn Abu Sa’id al-Husain al-Jannabi yang merupakan panglima perang Iran pada masanya. Saudara tuanya merupakan pendiri kelompok Syi’ah Qaramithah bernama Abu Sa’id Hasan ibn Bahram al-Jannabi. Sedangkan Abu Thahir menjadi pemimpin pada tahun 923 M.
Saat memimpin itulah kekuasaannya menguat dan mulai melakukan ekspansi dengan menyerang kota Basrah. Hingga kemudian pada saat musim haji 317 H atau bertepatan dengan tahun 930 M, Abu Thahir mulai menjalankan rencana busuk dan liciknya untuk menyerang kota Makkah.
Ketika itu, dia dan para pengikutnya datang dari Bahrain menuju Makkah tepat sebelum waktu pelaksanaan haji. Namun kedatangan mereka ditolak dan tak bisa masuk ke wilayah Makkah oleh para penduduknya. Kelompok Qaramithah ini lantas berpura-pura untuk menunaikan ibadah haji agar diizinkan masuk ke kota Makkah, bahkan mereka sampai bersumpah dengan membawa perdamaian. Akan tetapi, dia mengingkari sumpahnya.
Berdasarkan catatan sejarah, Abu Thahir membawa sekitar 600 penunggang kuda dan 900 pasukan pejalan kaki untuk masuk ke kota Makkah seperti yang disebutkan dalam situs Archyde. Tatkala mereka sudah bisa masuk kota, lalu pasukan tersebut melakukan pembunuhan, perampokan, dan merusak rumah-rumah penduduk kota Makkah.
Tidak berhenti sampai disitu saja, pada hari pertama pelaksanaan ibadah haji, yakni pada hari Tarwiyah tanggal 8 Dzulhijjah, orang-orang Qaramithah yang merupakan salah satu sekte Syi’ah Ismailiyah ini datang dengan kuda-kuda mereka memasuki Masjidil Haram. Kebetulan, jama’ah haji dari Iraq di bawah amirulhajj Manshur ad-Dailami yang pada tahun itu berhaji ke Makkah menjadi sasaran empuk mereka. Mereka selanjutnya melakukan huru-hara dan membantai jama’ah haji secara brutal.
Laporan menunjukkan bahwa ada sekitar 30.000 jama’ah haji yang berada disekitar Ka’bah tewas mereka bantai. Abu Thahir kemudian berdiri di pintu Ka’bah dengan pengawalan ketat, sambil menyaksikan pedang-pedang pengikutnya merajalela menghabisi nyawa jama’ah haji. Dan dengan sombongnya dia berkata, “saya adalah Allah, saya bersama Allah, sayalah yang menciptakan makhluk-makhluk, dan sayalah yang akan membinasakan mereka”.
Para jama’ah haji saat itu kocar-kacir berlarian untuk menyelamatkan diri, sebagian dari mereka berpegangan pada Kiswah Ka’bah, namun mereka tetap menjadi korban. Pedang-pedang kaum Qaramithah dengan sadisna membantai. Banyak korbannya di adalah sebagian dari ahli hadits. Setelah menuntaskan kejahatannya yang tidak terkira kepada para jama’ah haji itu, Abu Thahir memerintahkan pasukannya untuk mengubur jasad para korban ke dalam sumur Zamzam, sedangkan sebagian lainnya dikubur di tanah Haram dan di lokasi sekitar Masjidil Haram. Kubah sumur Zamzam mereka hancurkan, dia juga memerintahkan agar pintu Ka’bah dicopot dan dilepas kiswahnya. Dia lalu menyobek di hadapan para pengikutnya. Sungguh biadab perilaku Abu Thahir.
Sesaat kemudian Abu Thahir meminta kepada salah seorang pasukannya naik ke atas Ka’bah untuk mencabut talangnya. Secara tiba-tiba orang tersebut jatuh dan mati seketika. Abu Thahir pun mengurungkan niatnya untuk mengambil talang tersebut. Dia kemudian merubah rencanya, lalu memerintahkan untuk mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya. Setelah batu mulia itu berhasil dicongkel, dengan nada arogan sekaligus menantang Abu Thahir berkata, “Dimana burung-burung Ababil itu? Dimana bebatuan kiriman dari neraka Sijjil?”. Tindakan Abu Thahir ini telah menggegerkan dunia Islam. Dia telah melakukan perusakan, penghancuran dan peperangan terhadap kaum muslimin.
Peristiwa penjarahan Hajar Aswad itu membuat Amir Makkah dan keluarganya sangat marah, dengan didukung sejumlah pasukan langsung mengejar Abu Thahir beserta pasukannya saat itu juga. Amir Makkah kemudian berusaha untuk membujuk Abu Thahir agar mau mengembalikan Hajar Aswad ke tempat semula. Seluruh harta yang dimiliki sang Amir telah ditawarkan untuk menebus Hajar Aswad tersebut. Namun Abu Thahir tidak bergeming, bahkan sang Amir dan keluarga serta pasukannya malah menjadi korban pembantaian berikutnya. Abu Thahir pun melenggang pergi menuju daerahnya dengan membawa Hajar Aswad dan harta-harta rampasan dari jama’ah haji. Setelah peristiwa berdarah itu, ibadah haji pun sempat ditunda selama 8 tahun lamanya, akibat ketakutan dari para jama’ah terhadap teror dari kelompok Qaramithah ini.
Menurut Ibnu Katsir, kelompok Syiah Qaramithah sampai tega membabi buta seperti itu karena mereka sebenarnya adalah kaum kafir Zindiq. Mereka berafiliasi dengan rezim syiah Fatimiyyah yang telah menancapkan hegemoninya pada masa itu di wilayah Afrika. Pemimpin mereka bergelar Al-Mahdi, yaitu Abu Muhammad Ubaidillah bin Maimun al-Qadah.
Sebelumnya dia adalah seorang Yahudi yang berprofesi sebagai tukang emas, lalu kemudian dia mengaku telah masuk Islam dan mengklaim berasal dari kalangan syarif, atau keturunan Nabi Muhammad Saw. Banyak orang dari suku barbar yang mempercayainya, hingga pada akhirnya ia dapat memegang kekuasaan sebagai kepala negara di wilayah tersebut. Orang-orang Qaramithah menjalin hubungan baik dengannya, karena itulah mereka menjadi semakin kuat dan terkenal.
Abu Thahir kemudian memerintahkan pasukannya untuk menyimpan Hajar Aswad yang dia curi untuk diletakkan di Masjid al-Dirar yang berada di ibukota baru negara mereka, Al-Ahsa Bahrain. Hajar Aswad pun disimpan di sana selama kurang lebih 22 tahun. Abu Thahir ingin menjadikan masjid tersebut sebagai tempat yang suci. Dia ingin mengarahkan orang-orang yang berhaji ke Makkah agar menuju Masjid Ad-Dirar. Seperti yang dituliskan oleh sejarawan Ottoman, Qutb al Din dalam tulisannya tahun 1857 ang dikutip dari World Bulletin.
Namun keinginan Abu Thahir itu tidak pernah tercapai sampai dia meninggal dengan kematian yang mengenaskan, karena digerogoti penyakit aneh dan terkutuk. Ibnu Katsir juga mengomentari perihal Abu Thahir tersebut dengan mengatakan, “Dia telah melakukan ilhad (kekufuran) di Masjidil Haram, yang tidak pernah dilakukan oleh orang sebelumnya dan orang sesudahnya”. (Al-Bidayah wan An Nihayah, 11/191. Hal. 190-192)
Menurut catatan Imam al-Juwayni dalam Historya Islamica, Hajar Aswad baru kembali ke tempatnya semula di pojok Ka’bah setelah 22 tahun lamanya, yaitu pada 339 H atau tahun 952 M ketika kondisi sudah mereda. Kelompok Qaramithah yang menyimpan Hajar Aswad meminta bani Abbasiyah sebagai penguasa saat itu untuk membayar tebusan dengan jumlah uang yang besar jika ingin Hajar Aswad dikembalikan ke tempat semula. Pada saat menceritakan kejadian di tahun itu, Ibnu Katsir menyebutnya sebagai tahun yang berkah, lantaran pada bulan Dzulhijjah di tahun tersebut Hajar Aswad dikembalikan ke Ka’bah. Peristiwa kembalinya Hajar Aswad itu sangat menggembirakan seluruh kaum muslimin di dunia, karena berbagai usaha dan upaya untuk mengembalikannya sudah dilakukan, tetapi selalu saja kelompok Qaramithah ini berkilah dan berkata, “Kami mengambil batu ini berdasarkan perintah, dan akan mengembalikannya berdasarkan perintah orang yang bersangkutan”.
Lalu pada tahun 339 H, sebelum dikembalikannya Hajar Aswad ke Ka’bah, orang-orang Qaramithah mengusung Hajar Aswad ke Kufa dan menggantungnya pada tujuh tiang masjid agar orang-orang dapat melihatnya. Lalu saudara dari Abu Thahir menulis ketetapan, “Kami dahulu mengambilnya dengan sebuah perintah dan sekarang kami akan mengembalikannya dengan perintah juga, agar pelaksanaan manasik haji menjadi lancar”. Kemudian Hajar Aswad dikirim kembali ke Makkah di atas satu tunggangan tanpa ada halangan dan sampai di Makkah pada bulan Dzulqa’dah tahun 339 H.
Dikisahkan oleh sebagian orang, bahwa pada saat penjarahan Hajar Aswad, orang-orang Qaramithah terpaksa mengangkut Hajar Aswad di atas beberapa unta. Punuk-punuk unta tersebut sampai terluka dan mengeluarkan nanah. Akan tetapi, saat dikembalikan ke Makkah hanya membutuhkan satu tunggangan saja, tanpa terjadi hal-hal aneh dalam perjalanan. Namun sayang, Hajar Aswad dikembalikan dalam kondisi rusak dengan keretakan yang membaginya menjadi tujuh bagian. Karena itulah untuk menjaga bentuknya penjaga Ka’bah kemudian membingkai Hajar Aswad dengan perak, sehingga tampilannya seperti yang dapat kita lihat saat ini.
Semoga peristiwa laknat tersebut tak bakal terulang selamanya dan batu mulia Hajar Aswad tersebut tetap terjaga dan terlindungi sampai kapanpun, bahkan sampai hari akhir menjelang. Aamiin yaa Robbal alamin.