Di muka zaman budaya bisa berupa apapun, apapun bisa menjelma jadi budaya. Budaya urban mungkin akrab karena istilah urbanisasi telah terjadi sejak sekian tahun lamanya. Proses perpindahan pun peralihan dari desa yang sepi menuju gemerlap dan hiruk pikuk kota.
Budaya urban adalah budaya kaum urban, kaum yang berlintaskan jalan penuh dengan asap kendaraan bermotor, gedung menjulang, dan rerimbun manusia sibuk pulang pergi tempat kerja.
Budaya urban alias keurbanan adalah budaya yang banyak dirasakan masyarakat ibu kota. Budaya yang terbentuk dari ambisi kecil sekelompok manusia desa (baca: urbanisasi) untuk memperoleh kehidupan lebih baik di kota. Walhasil, budaya urban pun terbentuk sebab gesekan dan tuntutan kerja yang nyata.
Realitas kaum urban terang lahir dari kegetiran yang telah terjadi sekian juta manusia di kota besar, metropolis, pucuk ibu kota, atau kota berpendidikan maju. Budaya yang bila dipotret dalam sebuah karya seringkali kritis, sekaligus reflektif pada kehidupan.
Budaya urban dalam puisi berjudul badai di ruang hampa, eh gimana! Mana mungkin?. bumi tercipta oleh kegagalan kematian/gengen sel yang menyendiri/individualistic/tanpa cinta (halaman 7)
Nyatanya puisi jadi krisis identitas, sebagaimana permainan metafora Berto Tukan. Ia menyendiri dalam kepuasan budaya urban. Berto yang memang bukan penghuni asli ibu kota merasa sendiri di tengah arus keramaian.
Dalam buku puisi berjudul cukup nyentrik ‘Aku Mengenangmu dengan Pening yang Butuh Panadol,’ Berto Tukan terang sinis. Pada puisinya berjudul segelas kopi pada warteg, dengan bangku kayu basah, hujan barusan tadi. Berto Tukan menulis: selamat sore menjelang malam, jeqadrah!/ lumpuhmu kaki tertanam lumpur/ lampulampu kerlapkerlip habis daya/mimpimu mengembarai ruang hampa/ terus berderap terus berderap/ meyongsong hari esok yang penuh tangis (halaman 34).
Hari esok tangis, tulis Berto yang menyorot gemerlap kota Jakarta. Permainan kata yang begitu rapi sebagai upaya Berto untuk menghiasi kritik sinis pada budaya urban Jakarta. Keurbanan lahir berkat orang-orang yang ambisi dari dari desa menemu untung dan penghasilan di ibu kota. Namun nahas, mereka justru bertemu tragis lantaran kehidupan yang bengis.
Setali tiga uang dengan Berto Tukan, Beni Satryo dalam gubahan puisi berjudul Antarkota Antarpuisi juga tengah berlari dari kenyataan urban di ibu kota. Pada halaman sampul tertulis jelas kata ‘Jakarta’ di pelakata sebuah stasiun bis.
Beni Satryo berusah mengulik urban spiritual, spektrum urban yang sedikit berbeda dengan gaya tulisan Berto yang mengarah pada urban sosial. Keduanya mengangkat budaya urban, menghindar dari lokal yang mungkin telah banyak dinarasikan para sastrawan.
Simak saja pada kutipan puisi berjudul ‘Selepas Azan’ Pada jeda istirahat/ selepas azan, sandarkan/ punggung lelah//di tiang-tiang agama//. Mengingatkan pembaca (baca: pelaku urban) pada hal yang sederhana.
Saat jenuh karena lelah bekerja, orang-orang ibu kota pergi ke Masjid tidak hanya untuk salat tapi juga menyadarkan punggung sekedar melepas penat. Pemandangan yang tidak jarang ditemui pada deretan masjid di ibu kota. Dalam kondisi demikian, di tengah deru ibu kota yang gila kerja, aktivitas ritual agama memang punya fungsi menenangkan sekaligus pelarian sesaat.
Tafsir itu senyampang dapat dilihat dari sudut pandang lain. Puisi “Selepas Azan” juga bisa dikatakan sebagai bentuk putus asa manusia di ibu kota. Alih-alih mencari pekerjaan yang mendapat predikat halal dan baik. Banyak yang justru memilih jalan gelap demi memperoleh segepok uang dari hasil menjual agama (baca: kedok agama).
Praktik bersandar pada tiang agama ini sering juga terjadi saat seseorang hendak mencalonkan diri untuk jadi pemimpin. Cari saja golongan agama mayoritas, suara melimpah pun dengan mudah diperoleh. Pelarian yang sangat cukup dikaitkan dengan tiang agama.