Sedang Membaca
Menyambut War Takjil Season II: Kudapan Manis Bukti Pluralisme Indonesia
Husna Zuhaida
Penulis Kolom

Lahir di Kudus, sekarang mengajar di SD Islam Al-Kautsar, Krian, Sidoarjo. Akun media sosial ig/facebook : @husnazuhaida/Husna Zuhaida

Menyambut War Takjil Season II: Kudapan Manis Bukti Pluralisme Indonesia

takjil

Alhamdulillah, bulan Ramadan telah tiba. Salah satu momen yang selalu ditunggu setiap hari saat Ramadan adalah waktu berbuka. Dapur rumah sudah ramai sejak ba’da asar menyiapkan menu berbuka, serambi masjid dan musala telah menggelar pengajian, dan sepanjang jalan riuh oleh pedagang dan pemburu takjil.

Takjil, seperti halnya shalat tarawih menjadi hal yang melekat dengan bulan Ramadan. Takjil secara harfiah diartikan sebagai mempercepat atau menyegerakan. Berasal dari bahasa arab ajila yang bearti menyegerakan. Dalam KBBI kata takjil juga bearti mempercepat dalam berbuka puasa. Namun, berbeda dengan makna harfiahnya, takjil secara umum diartikan oleh masyarakat sebagai kudapan atau jajanan yang disantap saat berbuka atau selepas berbuka. Kudapan yang manis, gurih, dan menyegarkan ini bisa berupa kolak pisang, gorengan, es cincau, dan kawan-kawannya.

Fenomena War Takjil

Sebagai negara dengan mayoritas umat Islam tetapi memiliki keragaman keyakinan, Ramadan menjadi momen meriah yang tidak hanya dirasakan muslim, tetapi juga non muslim. Fenomena war takjil yang ramai di sosmed pada Ramadan 2024 lalu membuka tabir toleransi dan fakta bagaimana non muslim turut merasakan atmosfer bulan suci kala itu. War takjil atau berburu takjil terlahir dari julukan netizen jagad maya yang mempresentasikan keadaaan masyarakat yang berkerumun dan menyerbu takjil yang dijajakan. Tentu saja fenomena war takjil yang banyak diikuti non muslim ini menjadi  viral. Sebagian muslim menanggapi dengan candaan, sebagian menanggapi dengan rasa syukur sebagaimana seharusnya umat beragama hidup berdampingan tanpa adanya kerusuhan.

Baca juga:  Islam Agraris: dari Cara Bertuhan hingga Lelaku Kehidupan

Banyak non muslim yang membuat konten menghafal rukun islam, rukun iman, surat pendek, bahkan mengenakan pakaian muslim agar lolos dari pertanyaan penjual yang memastikan apakah pembelinya orang yang sedang berpuasa atau tidak.  Uniknya, meski war takjil diwarnai oleh banyak kejadian dan dijadikan konten oleh selebgram yang mengangkat isu agama yang kerap sensitif, hal ini tidak membuat fenomena war takjil menjadi sebuah masalah. Netizen justru semakin menanggapinya dengan berbagai candaan yang mengundang tawa netizen lain. Fenomena ini justru menjadi ladang cuan bagi para UMKM yang menjajakan takjil-nya.

Leburnya Sekat Agama dan Bukti Pluralisme Indonesia

War takjil menjadi bukti bagaimana kerukunan antar umat beragama dapat terbangun di atas hal paling sederhana, yaitu kudapan (jajanan). Seperti kudapan manis dan gurih yang memiliki peminat dari berbagai kalangan, keyakinan beragama adalah kebebasan tiap masyarakat sepertinya halnya diatur dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945. Seperti halnya kita bebas lebih memilih kue manis atau gorengan gurih dan pedas, masyarakat Indonesia juga memiliki hak atas agamanya. Bahkan Pendeta Marcel pun menanggapi war takjil dengan menyelipkan kalimat dalam khotbahnya yang juga viral di media sosial. “Soal agama kita toleran, tapi soal takjil kita duluan”.

Baca juga:  Takwinan: Tradisi Unik Memperingati Maulid Nabi Masyarakat Tegal

Takjil meleburkan sekat agama yang kerap menjadi isu sensitif di Indonesia. Mengembalikan bukti pluralisme Indonesia yang sempat digaungkan oleh Bapak Pluralisme Indonesia, Gus Dur. Pluralisme yang ditekankan Gus Dur adalah pluralisme dalam bertindak yang mensyaratkan seseorang untuk tidak membatasi pergaulan dengan orang lain meski berbeda keyakinan dan pluralisme dalam berpikir yaitu kesediaan untuk menerima atau mengambil gagasan atau pemikiran dari kalangan lain (Kurnia dkk, 2024). Pluralisme tidak boleh dipahami sebagai ‘kebaikan negatif’ atau negative good yang hanya ditilik kegunaanya untuk menyingkirkan fanatisme. Karena pluralisme adalah menghargai perbedaan bukan menyamaratakan yang berbeda.

Sejalan dengan fenomena war takjil, seperti halnya diungkapkan oleh Dr. H.M. Zainuddin, MA, Wakil Rektor I UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, kita perlu mengkaji bahwa pluralisme agama adalah sebuah realitas yang menjadikan agama dan pluralitas sebagai dasar dimana secara normatif-doktriner agama selalu mengajarkan kebaikan, cinta kasih, dan kerukunan. Bukan sebaliknya menjadi alasan sumber konflik yang tak kunjung reda.

Sebagai catatan penting dalam buku Merayakan Kebebasan Beragama; Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi (2009), bahwa pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme yang mengatakan bahwa semua agama sama, dan bukan juga sinkretisme yang menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur berbagai agama. Maka dari itu dalam penerapannya, seorang pluralis harus memiliki sebuah komitmen atas kepercayaan atau agama yang dianutnya. Rahman dan Noor (2020) menyebutkan bahwa pluralisme yang melahirkan toleransi di Indonesia ini dapat menjadi acuan dalam beragama seperti yang telah mendarah daging dalam tradisi masyarakat Indonesia yaitu, tepo seliro atau tenggang rasa sebagaimana diajarkan oleh leluhur kita sejak dahulu kala. Sehingga sepantasnya tradisi toleransi bukanlah barang baru lagi bagi masyarakat kita.

Baca juga:  Pameran Lukisan Mughal di Tengah Bom Afganistan

Bukti bahwa war takjil telah melahirkan semangat toleransi kembali adalah munculnya istilah war telur yang ramai menjelang Hari Raya Paskah 31 Maret 2024, dimana muslim seolah balas dendam karena non muslim ikut berebut takjil maka muslim juga akan berebut telur bahkan menghabiskannya sehingga ketersediaan telur umat Kristiani saat Paskah menipis. Lalu seorang Pastor Stephani Rachel membalas fenomena war telur dengan mengatakan “Saudara, hari ini untuk toleransi agama dan untuk menyenangkan hati mereka yang sudah kita ikuti war takjil-nya. Hari ini kita merayakan Paskah dengan Kinder Joy”. Tentu saja konten tersebut kembali viral dan mengundang banyak tawa canda di antara netizen.

Kini, Ramadan telah tiba, siapkah kalian menyambut war takjil season II kali ini?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top