Sedang Membaca
Makan dan Kemerdekaan
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Makan dan Kemerdekaan

makan nasi kepungan

1945 itu ingatan para tokoh. Ingatan-ingatan bisa selaras dan berbeda. Kita ingin mengingat 1945 itu makanan. Sejarah tak sekadar kertas (teks proklamasi) dan kain (bendera). Sejarah belum sempurna dengan lagu gubahan WR Soepratman. Kita memastikan sejarah Indonesia bertahun1945 mengandung masalah makanan. Sejarah bergerak di mulut dan perut.

Kita membuka masa lalu dengan pengisahan Mohammad Hatta dalam buku berjudul Memoir (1979). Ia mengenang peristiwa di rumah Maeda. Kenangan bersama tokoh pergerakan politik dan kaum muda menjelang pembacaan teks Proklamasi: 17 Agustus 1945. Hatta rajin membaca dan menulis: mengartikan kuat dalam ingatan. Lelaki santun, rapi, dan berkacamatan itu menulis: “Waktu itu bulan puasa. Sebelum pulang, aku masih dapat makan sahur di rumah Admiral Maeda. Karena tidak ada nasi, yang kumakan ialah roti, telur, dan ikan sardin, tetapi cukup mengenyangkan.”

Situasi politik tak keruan. Hatta memiliki peran dan menanggung risiko dalam arus kekuasaan amburadul. Ia memutuskan tetap berpuasa. Santapan sahur bukan nasi tapi cukup memberi kekuatan dalam membentuk sejarah. Malam dan dini hari melelahkan demi pemuliaan Indonesia. Hatta mengerahkan kekuatan raga, pikiran, dan perasaan. Pada 17 Agustus 1945, ia berpuasa saat bergerak menuju rumah beralamat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Ingatan itu kita lengkapi dengan pengakuan Fatmawati, tertulis dalam buku berjudul Catatan Bersama Bung Karno (1983). Kita memilih ingatan bertema makanan. Fatmawati mengisahkan babak setelah pembacaan teks Proklamasi dan pengibaran bendera merah-putih. Kita sekadar membaca dan berlagak membuat tafsir: “Selesai upacara, Bapak (Bung Karno), Bung Hatta, dan para tamu saling berbincang-bincang dan menuju ruang resepsi, ruang makan yang bisa menampung kurang lebih 200 orang. Sementara itu telah kusediakan makanan kecil.” Kita menduga orang-orang itu menikmati makanan. Hatta masih tetap puasa?

Baca juga:  Iklan Ramadan: Waraslah!

Makanan penting bagi orang-orang membentuk dan menggerakkan sejarah. Mereka mengerti bulan puasa. Fatmawati bertanggung jawab dalam memuliakan para tamu. Ia menginginkan rumah itu memberi kebahagiaan bagi orang-orang berani dan tabah. Kita perlahan berpikir makan dan kemerdekaan. Indonesia telah lama dibuat miskin dan lapar. Pada masa pendudukan Jepang, lapar itu petaka besar tanpa jawaban. Hari bersejarah saat Bung Karno membaca teks Proklamasi dan didampingi Bung Hatta, makan menjadi peristiwa penting. Kita masih sekadar menduga: para tokoh segera makan dan para tokoh memilih tetap puasa.

Kita masih mengutip dari ingatan Fatmawati: “Ruangan itu berisikan dua stel kursi tamu, dua meja makan, satu meja makan harian, sedangkan yang lain meja makan yang panjang untuk jamuan besar.” Penjelasan ruang dan benda itu memberi kita petunjuk sejarah. Petunjuk terimajinasikan setelah rumah bersejarah diruntuhkan berganti bangunan.

Pada masa berbeda, peringatan Hari Kemerdekaan mengesankan “pesta” makanan. Sajian makanan dipastikan tersedia di Istana Negara. Beragam makanan untuk para tamu dalam misi mengingat sejarah dan mengartikan Indonesia. Pada masa Orde Baru, Ibu Tien Soeharto menjadi sosok bertanggung jawab dalam mengaitkan makanan dan kemerdekaan. Peringatan hari bersejarah tak selesai dengan upacara, doa, dan pidato. Orang-orang memerlukan makan dan percakapan. Di Istana Negara, makanan-makanan diusahakan mengisahkan Indonesia, melampaui masalah rupa dan lezat. Kita mengingat pemikiran Ibu Tie Soeharto dengan mengadakan tumpeng kemerdekaan, menggantikan kue-kue dianggap “asing”.

Baca juga:  Haul Haul Nurcholish Madjid (3): Kepada Cak Nur, Kita Belajar Melindungi Kemerdekaan Beragama

Wujud peringatan berupa makanan itu berbeda di kampung-kampung. Pada peringatan merujuk 1945, warga kampung di Jawa biasa mengadakan “tirakatan”. Dulu, peristiwa itu dimaksudkan berbagi ingatan dan makna kemerdekaan. Pada saat para warga berkumpul, makan dan minum bersama menjadi kelaziman. Di kampung, sajian makanan kadang “berlebihan” atau sengaja diusahakan enak mumpung Indonesia sudah merdeka. Mereka tak mau lagi bersantap makanan “biasa” atau merasakan lapar seperti babak-babak kolonial.

Makan dianggap “penting” dengan mengadakan siasat iuran atau pendanaan dari pihak-pihak berkepentingan. Kemerdekaan itu makan. Kemerdekaan bukan lapar atau prihatin. Kita makin mengetahui selera makan terus memberi godaan dalam raihan kenikmatan ketimbang menambahi bobot (makna) kemerdekaan. Peringatan sejarah berarti makan: bukti kemakmuran atau ilusi kebahagiaan.

Pada 2024, kita mengetahui makan dan kemerdekaan itu berkaitan kebijakan Prabowo-Gibran bakal diwujudkan setelah Oktober. Indonesia bertambah usia malah belum selesai mengurusi makanan (bergizi) demi mengartikan misi kemerdekaan. Makan (gratis dan bergizi) itu malah menimbulkan debat-debat bermuatan politik, sosial, pendidikan, dan kesehatan. Kita tak ingin turut kebablasan dalam debat makanan, kemerdekaan, dan kekuasaan mutakhir.

Kita memilih mengenang kebijakan pernah berlaku di Indonesia. Pada 1968 terbit buku berjudul Empat Sehat Lima Sempurna susunan HF Kilander. Buku mula-mula berbahasa Inggris beredar di Amerika Serikat, hadir di Indonesia dalam bentuk saduran oleh Hermana. Pijakan berpikir: “Pada masa ini hanja ada beberapa sadja ilmu jang lebih penting daripada gizi karena masa depan suatu bangsa tergantung pada perkembangan anak-anak dan pemuda jang sehat dan tjukup mendapat makanan.” Kita mengingat kutipan itu sambil menata ulang siasat dan kebijakan Soeharto dalam memastikan jutaan orang di Indonesia bisa makan (bergizi). Kita tak perlu kaget dengan rujukan masalah makanan itu Amerika Serikat.

Baca juga:  Pemetik Puisi (27): Ajip Rosidi dan Pengemis Senen

Pada masa kekuasaan Soekarno, makan tetap menjadi masalah besar. Beragam kebijakan diwujudkan agar jutaan orang tak kelaparan dan sehat. Pemberian pengetahuan dan sebaran pesan dilakukan agar orang-orang mengetahui makanan sehat dan bergizi, tak sekadar menumpas lapar. Pada 1954, terbit buku berjudul Makanan jang Sehat dan Menjehatkan susunan Aulia. Semula, buku terbit pada masa 1930-an, cetak ulang masa 1950-an saat Indonesia sedang menata demokrasi dan mengimpikan kemakmuran.

Aulia menjelaskan: “Tidak usah heranlah kita nanti bila dimasa depan, setelah ilmu gizi mentjapai deradjat jang lebih tinggi, kita akan mengalami perubahan dilapangan nasehat-nasehat jang diberikan ilmu itu tentang makanan. Bertambah dalam ilmu pengetahuan dapat menjelami soal makanan itu akan bertambah dan bertukar pula tjorak dan sifat sjarat-sjarat jang akan dinasehatkan haris dipenuhi supaja tersusun makanan jang dapat dipudjikan.”

Kita mengenang Soekarno dan teks Proklamasi (1945). Kita pun mengetahui Soekarno tak selalu berhasil mencipta kemakmuran dan menumpas kelaparan di seantero Indonesia. Kemunculan bacaan mengenai makanan bergizi dan sehat itu sejenis peringatan saat kekuasaan memang terlalu sibuk dan ramai berakibat kemunculan lapar sebagai perlawanan. Pada masa Orde Baru, lapar dan perlawanan pun berlaku untuk meralat pidato-pidato Soeharto sering “menggembirakan” dengan kesuksesan pembangunan nasional. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top