
Di tengah lanskap sastra Indonesia yang terus berkembang, kehadiran “Ijablah Aku” karya Azizah Zubaer menjadi sebuah momentum penting dalam percakapan tentang puisi perempuan, spiritualitas, dan cinta. Buku ini bukan sekadar kumpulan puisi, melainkan sebuah penjelajahan batin yang menghubungkan dunia yang profan dengan yang sakral. Azizah, dengan latar belakang kesantriannya, menampilkan sajak-sajak yang bergerak dalam tegangan antara pengalaman duniawi dan pencarian makna ilahiah. Cinta, dalam puisinya, tidak hanya berbicara tentang relasi manusia, tetapi juga melibatkan unsur ketuhanan dan eksistensialisme.
Seperti yang telah disoroti oleh sastrawan ternama Damhuri Muhammad, dalam diskusi dan peluncuran buku tersebut, judul buku ini, Ijablah Aku, mengandung dimensi sufistik yang menarik. Dalam tradisi tasawuf, “ijab” bisa dimaknai sebagai maqam atau fase spiritual yang harus dilalui seorang pencari untuk mencapai puncak penyatuan dengan Sang Kekasih Sejati. Namun, Azizah menggunakan terminologi ini dalam konteks relasi asmara duniawi, yang menimbulkan ketegangan antara yang sakral dan yang profan. Pemaknaan ini mengingatkan pada konsep cinta dalam filsafat Ibnu Arabi, di mana hubungan antara laki-laki dan perempuan dipandang sebagai refleksi dari hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam konsep wahdatul wujud, segala sesuatu di dunia ini adalah manifestasi dari cinta Ilahi, sehingga tidak ada dikotomi yang tegas antara yang duniawi dan yang spiritual.
Kecenderungan sufistik dalam puisi Azizah terlihat jelas dalam puisi “Ijablah Aku“, yang menjadi pusat eksplorasi pengalaman puitiknya. Ada percampuran antara ketubuhan dan keilahian, seperti yang dapat kita lihat dalam bait berikut:
“Tarian nasib merebut pinggulku
juga payudaraku yang mekar
bagai bunga api
kucandu
bibirmu yang merambat naik
seperti doa
di urat leherku
sakau kita sakau bulan
menghisap udara malam
Takbir.Takbir
sedalam runduk sujud dalam goyang
gamang kesunyian:
Sepi menari bersama Tuhan.”
Bait ini menunjukkan adanya dialektika antara cinta eksoteris dan esoteri. Azizah menggabungkan unsur ketubuhan—pinggul, payudara, bibir—dengan unsur yang lebih sakral seperti doa, sujud, dan takbir. Hal ini menghadirkan ketegangan yang sama seperti yang sering kita temukan dalam puisi-puisi sufi klasik, di mana pengalaman cinta manusia sering kali digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan ekstase mistik dan penyatuan dengan Tuhan. Seperti yang dijelaskan oleh Damhuri Muhammad, Azizah tidak sepenuhnya meninggalkan realitas profan, tetapi juga tidak membiarkan puisinya terjebak dalam banalitas asmara duniawi semata.
Namun, dalam Ijablah Aku, cinta tidak hanya menjadi pengalaman sufistik yang melampaui batas-batas duniawi, tetapi juga menjadi ajang perlawanan terhadap narasi sosial yang sering kali mengekang perempuan. Sebagai seorang penyair perempuan, Azizah menulis dengan suara yang tegas dan independen, menolak untuk sekadar menjadi objek dalam dunia sastra yang didominasi oleh perspektif laki-laki. Dalam puisinya “Pulang ke Pamulang“, ia menuliskan:
“Aku perempuan
Oase yang menyeka luka
para pertapa
Pada dada langit yang lapang
Kubasuh duka jadi batu
dalam tangis payau
seribu ibu.”
Di sini, Azizah tidak hanya berbicara tentang cinta sebagai relasi personal, tetapi juga tentang peran perempuan dalam sejarah dan budaya. Ia menggambarkan perempuan sebagai entitas yang kuat, yang mampu menyembuhkan luka dan menanggung beban sejarah. Hal ini sejalan dengan pemikiran Rabi’ah Al-Adawiyah, sufi perempuan yang memandang cinta sebagai jalan menuju Tuhan dan melihat perempuan sebagai penjaga nilai-nilai spiritual yang lebih tinggi.
Selain mengangkat isu cinta dan perempuan, Ijablah Aku juga memperlihatkan kesadaran sosial yang tinggi. Dalam puisi “Karima, Martir Corona“, Azizah menangkap tragedi pandemi dengan sensitivitas yang tajam, menggambarkan sosok seorang perawat yang berjuang di garis depan melawan virus yang tak terlihat. Puisinya penuh dengan nuansa duka dan keteguhan, menggambarkan bagaimana manusia, dalam situasi paling rapuh sekalipun, masih bisa menemukan keberanian untuk bertahan. Hal ini mengingatkan pada pemikiran Al-Farabi, yang dalam konsep al-madinah al-fadhilah(negara utama), melihat bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang saling menopang, membangun kehidupan bersama dengan nilai-nilai kebajikan dan kemanusiaan.
Buku ini juga menghadirkan pertanyaan filosofis tentang makna cinta dan ketahanan emosional. Dalam puisi “Kepada Puisi“, Azizah menulis:
“Empat puluh satu tahun
Aku menulis tentang cinta
Masih saja jatuh hati padamu.”
Damhuri Muhammad menyoroti bait ini sebagai refleksi atas daya tahan cinta. Apakah cinta dapat bertahan setelah fase ijab-qabul, ataukah ia akan memudar seiring waktu? Pertanyaan ini menggemakan pemikiran Al-Ghazali, yang dalam Ihya Ulumuddin membahas bahwa cinta sejati adalah cinta yang tidak lekang oleh waktu dan tidak terikat oleh kebutuhan duniawi. Bagi Al-Ghazali, cinta yang paling tinggi adalah cinta yang membawa manusia lebih dekat kepada Tuhan, yang terus bertumbuh dan tidak mengenal kehambaran.
Secara keseluruhan, Ijablah Aku adalah sebuah pencapaian sastra yang luar biasa bagi Azizah Zubaer. Ia tidak hanya menulis dengan keindahan bahasa yang puitis, tetapi juga dengan kedalaman makna yang menggugah pemikiran dan perasaan pembaca. Azizah menghadirkan puisi yang bersifat kontemplatif sekaligus kritis, mengajak kita untuk merenungkan kembali makna cinta, keberadaan, dan hubungan kita dengan dunia.
Buku ini juga memperjelas kembali sidik jari kesantrian dalam sastra Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh Damhuri Muhammad. Dalam situasi ketika pendidikan Islam sering kali terjebak dalam obsesi terhadap hapalan dan formalitas, Azizah menunjukkan bahwa dunia santri juga bisa menghasilkan karya-karya yang reflektif, mendalam, dan penuh daya cipta. Ia menegaskan bahwa puisi bukan sekadar kumpulan kata-kata indah, tetapi juga ruang bagi perlawanan, perenungan, dan peneguhan eksistensi.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hallaj, “Cinta adalah api yang membakar segalanya kecuali yang dicintai.” Maka, dalam Ijablah Aku, kita menemukan cinta yang tak hanya membakar, tetapi juga menyinari jalan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri, kehidupan, dan ketuhanan. Dengan buku ini, Azizah Zubaer telah menegaskan posisinya sebagai salah satu suara penting dalam puisi perempuan kontemporer, menghadirkan karya yang tidak hanya beresonansi dengan pembaca, tetapi juga memperkaya khazanah sastra Indonesia dengan perenungan yang mendalam tentang cinta dan keberadaan.
Di akhir tulisan yang cukup singkat ini penulis menyampaikan, bahwasanya, sebagai sebuah antologi puisi, Ijablah Aku telah berhasil menampilkan kompleksitas pengalaman perempuan dalam merayakan cinta, pergulatan spiritual, dan realitas sosial dengan bahasa yang puitik dan penuh resonansi. Namun, untuk semakin memperkuat daya tarik dan kedalaman karyanya, Azizah Zubaer dapat lebih mengeksplorasi keberagaman diksi dan ritme dalam beberapa puisinya agar tidak terkesan repetitif dalam penggunaan metafora yang serupa di beberapa bagian, terutama dalam menghadirkan ketegangan antara aspek profan dan sakral.
Selain itu, meskipun Azizah telah berhasil menghidupkan pengalaman perempuan dengan perspektif yang kuat dan khas, beberapa puisi dalam buku ini dapat lebih diperdalam dengan narasi yang lebih eksplisit dalam menyampaikan perjalanan batin tokoh liriknya, agar pembaca yang kurang akrab dengan diksi sufistik tetap dapat merasakan keterhubungan emosional tanpa kehilangan substansi makna. Pendalaman terhadap latar atau situasi yang melingkupi puisi juga dapat menjadi elemen yang lebih dieksplorasi agar tidak hanya berfokus pada perasaan internal, tetapi juga bagaimana pengalaman personal dapat berkorelasi dengan peristiwa sosial yang lebih luas. Dengan demikian, Ijablah Aku tidak hanya menjadi ruang kontemplasi individual, tetapi juga semakin kuat sebagai karya yang mampu berbicara lintas batas pengalaman manusia, baik dalam dimensi spiritual, kultural, maupun eksistensial, menjadikannya sebagai referensi penting dalam khasanah perpuisian perempuan di Indonesia.
23 Februari 2025
Titah Wening