Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Soekarno kerapkali menyebut negara kita sebagai negara besar dengan populasi muslim terbesar di dunia. Akan tetapi bila kita tilik dari sisi sains dan teknologi, kita adalah negara yang paling memprihatinkan dan paling abai terhadap persoalan sains.
Imbas dari ketidakpedulian negara terhadap sains amat kentara. Kita menjadi sangat tergantung terhadap industri di luar negeri untuk pengelolaan bahan mentah, sampai dengan perabot rumah tangga yang ada di dalam rumah kita.
Krisis sains dan teknologi ini bisa dilacak dari dunia pendidikan kita. Hampir tidak banyak pesantren, bahkan kampus yang berfokus pada sains. Kebanyakan kampus ternama seperti ITB maupun ITS mulai beralih pada produksi teknokrat handal bukan ilmuwan. Ketika kita semakin krisis ilmuwan, bagaimana mungkin kita bisa menciptakan alat atau teknologi untuk negeri kita?. Kalaupun ada ilmuwan dalam bidang sains dan teknologi, justru lebih banyak mendapatkan tempat tidak di negeri kita. Habibie adalah anomali yang nyata saat sains dan teknologi justru mendapat tempat di negara lain.
Sementara, anggaran negara kita terhadap sains menjadi terpaut jauh dengan anggaran bidang ketahanan dan keamanan. Kita lebih suka beli alat tempur yang jelas cashback nya daripada berinvestasi kepada sains dan teknologi yang hasilnya baru bisa dinikmati lima sampai sepuluh tahun ke depan.
Alpanya prioritas sains dan teknologi dalam program pembangunan kita membuat kita semakin tergantung kepada teknologi asing. Ketidakberdayaan kita terhadap persoalan sains ini membuat kita harus tunduk terhadap pola kerja pasar terhadap teknologi dan sains. Kebijakan politik dan ekonomi dalam bidang sains dan teknologi membawa implikasi kepada banyak bidang lain. Efek domino ini membuat negara muslim termasuk Indonesia menjadi tidak berdaya terhadap jerat dominasi sains dan teknologi.
Habibie menjelang akhir hayatnya memiliki proyek prestisius yang memiliki potensi besar dalam bidang teknologi pesawat di masa depan yakni proyek pesawat R-80. Proyek ini pada akhirnya kandas karena kurangnya dukungan politik dari pemerintah dan investasi untuk membiayai proyek ini. Padahal sebelum jadi saja pemesan dari berbagai negara dikabarkan cukup banyak. Padahal sains dan teknologi akhirnya memberi dampak yang signifikan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat kita.
Apa yang dialami Habibie menjadi ironi di negara bangsa yang cukup besar seperti Indonesia. Indonesia harus diakui memang belum punya kecenderungan untuk melirik sains teknologi ke dalam orientasi pembangunan.
Sains dan Islam
Islam sendiri sebenarnya memberikan banyak sentilan perkara sains. Dari sejarah Islam semenjak nabi-nabi, sebenarnya sains dan teknologi sudah cukup menjadi pelajaran berharga. Daud termasuk nabi yang mempelopori baju besi. Begitu pula Nuh yang membangun kapal terbesar di dunia. Ada juga teladan Sulaiman dalam sains dan teknologi yang membangun istana yang amat megah.
Prof Abdus Salam dalam bukunya Sains dan Dunia Islam (1982) memberikan penjelasan mengapa sains begitu penting bagi dunia islam dan dunia pada umumnya. “Sains penting karena ia memberikan landasan pengertian tentang alam di sekeliling kita dan tentang pola ciptaan Allah ; ia penting karena penemuan-penemuannya dapat memberikan keuntungan-keuntungan material, dan akhirnya karena sifatnya yang universal; ia merupakan wahana kerjasama antar seluruh ummat manusia dan khususnya bagi bangsa arab dan umat islam.”
Abdus Salam juga memberikan prasyarat bagi lahirnya sains dalam dunia Islam diantaranya : Pertama, Janji yang menyala. Kedua, dukungan yang murah hati dari pemerintah. Ketiga pemberian keamanan, otonomi dan internasionalisasi penggusahaan ilmiah. Kemajuan sains di dunia Islam mustahil tercapai tanpa adanya tiga faktor tersebut.
Di Indonesia sendiri, belum ada kemauan kuat untuk orientasi sains dan teknologi. Terlebih perkara dana dan dukungan pemerintah yang mengakibatkan para peneliti sains kehilangan daya untuk melanjutkan penelitian dan penemuannya. Kasus Habibie dengan proyek pesawat R-80 tentu menjadi conto riil betapa berharganya dukungan pemerintah.
Modernitas dan Visi Agama
Populasi Islam di Indonesia belum dibarengi hadirnya komunitas ilmuwan muslim yang saling berkumpul, bersinergi dan membangun kekuatan untuk membangun jearing kekuatan yang kuat untuk memproduksi teknologi berbasis sains yang bermanfaat untuk kemajuan dan kemanusiaan.
Keringnya khutbah di mimbar-mimbar kampus Islam untuk menyerukan urgensi sains dan teknologi menjadi bagian dari pengabaian sains dan teknologi sebagai praktek keagamaan yang memiliki kebermanfaatan bagi kemanusiaan.
Muhammadiyah dan NU sendiri sebagai organisasi modern sebenarnya sudah menginisiasi pesantren trensains di Sragen yang berupaya untuk mengisi kekosongan akan kaderisasi ilmuwan yang mampu menjawab tantangan zaman dalam bidang iptek. Akan tetapi butuh lebih banyak lagi institusi yang dilahirkan oleh lembaga Islam untuk menjawab kebutuhan sains dan teknologi terapan di negeri kita.
Negeri bahari atau maritim yang menjadi karakteristik bangsa kita mestinya unggul dan mumpuni dalam bidang teknologi maritim. SMK kelautan kita selama ini belum mampu menciptakan teknologi tepat guna yang unggul dalam bidang perkapalan modern. Kalaupun ada mentog hanya diprospek sebagai montir kapal semata. Padahal menciptakan kapal dengan teknologi yang menjawab problem kelautan masa kini menjadi amat penting dibutuhkan di Indonesia dan dunia.
Perkara Sains di dalam negeri kita harus dijawab tidak hanya oleh kalangan muslim maupun non muslim. Sebab kebutuhan sains dan teknologi akan menjadi kebutuhan kita semua. Akan tetapi beban psikologis dan beban sejarah tetap ada di pundak kaum muslim sebagai mayoritas tetap layak diperhatikan. Terlebih kita memanggul tugas sejarah sebagai umat terbaik yang ditantang oleh Tuhan terus-menerus dalam Qur’an untuk menjawab tantangan masa depan dengan penciptaan sains dan teknologi.