Sedang Membaca
Tidak Berdoa adalah Puncak Kerelaan?  
Saifir Rohman
Penulis Kolom

Lahir di Situbondo. Alumnus Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep. Kini aktif sebagai Mahasantri Ma’had Aly Salafiyah Situbondo.

Tidak Berdoa adalah Puncak Kerelaan?  

20201101041628gus Baha Dan Santri Doa

Tersebutlah dalam banyak sumber bahwa rida adalah salah satu buah kecintaan  terhadap Allah. Rida seorang hamba atas ketentuan Allah akan mengundang Rida Allah  yang dalam bahasa Alquran dikatakan lebih agung tinimbang surga ‘adn. Dengan kata  lain, Rida Allah adalah puncak kebaikan Allah terhadap hamba-Nya, sebagai ganjaran  atas rida seorang hamba terhadap keputusan Tuhannya.  

Rida merupakan kualitas jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah) saat oleh Tuhan  diseru untuk pulang. Wahai jiwa yang tenang, pulanglah keharibaan Tuhanmu dengan  keadaan rida dan diridai. Masuklah engkau ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.  Masuklah engkau ke dalam surga-Ku. (Qs. al-Fajr [89]: 27-30). Sebaliknya, orang yang  tidak rela terhadap keputusan Allah, dalam sebuah hadis qudsi, diancam agar keluar  dari bawah kolong langit-Nya dan mencari tuhan selain Dia. 

Lamun demikian, ada beberapa kemusykilan seputar tema ini yang sejak dulu bahkan  sampai hari ini sering disalahpahami. Tetapi sebelum itu, mari kita mulai dengan  memaparkan definisinya. Al-Qusyairi dalam Risalah-nya menukil banyak definisi antara  lain yang didengarnya langsung dari Abu Ali al-Daqqaq. “Rida bukan berarti Anda tidak  merasakan adanya suatu bala. Melainkan rida adalah ketika Anda tidak berkeberatan  atas hukum dan keputusan Allah.” 

Hukum dan keputusan Allah yang tercantum dalam definisi ini memang masih sangat  umum dan karenanya mesti diberi batasan. Bahwa yang wajib bagi seorang hamba  adalah rida terhadap sesuatu yang memang diperintah. “Karena” kata al-Qusyairi,  “tidak semua yang menjadi ketetapan Allah boleh atau wajib diridai oleh seorang  hamba.” Contoh konkretnya adalah maksiat dan kekufuran. Tidak ada kata ridla dalam  urusan maksiat dan kekufuran, bahkan kita justru diwajibkan untuk berkeberatan. 

Baca juga:  Penciptaan Alam dalam Manuskrip Sunan Kudus

Kemusykilan pertama, bisakah kita rela terhadap sesuatu yang menimpa kita  sementara sesuatu itu berlawanan dengan preferensi kita? Pertanyaan semacam ini,  kata al-Ghazali, datang dari arah mereka yang ingkar terhadap konsep mahabbah berikut kekuatan dan keajaibannya. Adapun bagi orang yang mantap bahwa cinta  kepada Allah adalah hal yang benar-benar wujud, tak samar lagi bahwa cinta itu akan  mewariskan kerelaan terhadap macam-macam perbuatan Sang Kekasih (Allah).  

Hal itu terwujud dalam dua bentuk. Pertama, kecintaan itu sama sekali membatalkan  pencerapan kita terhadap rasa sakit. Hatta, hal-hal yang semestinya menyakitkan akan  berlalu begitu saja, tanpa terasa sakitnya. “Yang bersangkutan terluka namun tidak  merasakan perihnya.”, tegas al-Ghazali. Perbandingannya seperti seorang pejuang di  medan perang yang tak lagi merasakan pedihnya luka sebab hatinya sibuk dengan  aneka macam emosi yang juga berkecamuk ketika perang.  

Demikianlah, masygulnya hati oleh suatu hal dapat mengalahkan rasa sakit yang  sejatinya sedang menimpa. “Karena kalbu” tutur al-Ghazali, “bilamana telah tenggelam  dalam suatu urusan secara total, ia tak dapat lagi menyadari hal lain.” Lebih-lebih yang  membuat masygul adalah perasaan cinta. 

Tak heran jika Sahl al-Tusturi, diriwayatkan pernah mengobati penyakit yang diderita  orang lain, namun ia sendiri enggan mengobati manakala penyakit itu menyerang  dirinya. Ketika diklarifikasi tentang kelakuannya yang bagi mayoritas orang terasa ganjil  itu, ia justru menjawab dengan elegan. “Aduhai, pukulan Sang Kekasih itu tidaklah  menyakitkan!” 

Baca juga:  Aceh dan Identitas Kemelayuan

Kedua, adakalanya seseorang merasakan sakit itu, tetapi ia tetap rela, bahkan akal  budinya menuntut ia senang menjalaninya. Kendatipun secara tempramen ia tidak  suka. Kita tahu disuntik itu sakit. Tetapi akal sehat kita menganjurkannya demi  kesembuhan yang kita inginkan. Sehingga kita pun rela menanggung sakitnya ditusuk  jarum. Anda yang berdagang keluar kota misalnya, tentu mengerti betapa  melelahkannya suatu perjalanan. Tetapi bayang-bayang laba yang menjanjikan tentu  membuat Anda mengesampingkan beratnya perjalanan itu. Anda pun rela  menjalaninya sebagai rutinitas.  

Begitu pula orang-orang yang hatinya mendamba ganjaran dan kebaikan di sisi Tuhan.  Barangkali pedihnya ujian dan cobaan masih terasa. Tetapi manisnya pahala dan  kebaikan lain bagi ia yang sabar menghadapi membuatnya rela menjalani semua  cobaan. Al-Ghazali menyatakan, “Sekiranya seseorang ditimpa musibah (kehilangan),  tetapi ia berkeyakinan kuat bahwa pahala yang dipersiapkan jauh lebih bernilai  ketimbang apa yang lenyap darinya, ia akan tetap rela dan senang. Pun ia senantiasa  bersyukur atas semua itu.” Ringkasnya, rela terhadap sesuatu yang berlawan dengan  tabiat bukanlah hal yang mustahil.  

Kemusykilan selanjutnya, apakah berdoa agar keluar dari kesulitan, sembuh dari sakit  dan semisalnya kontradiktif dengan kerelaan kita terhadap keputusan Tuhan? Katanya,  rela dengan ketetapan Tuhan, tapi kalau sakit, kok, malah berdoa minta disembuhkan?  

Baca juga:  Khilafah dan Fikih Muamalah (Refleksi Pasca Putusan PTUN atas Gugatan HTI)

Merujuk kepada definisi yang dikutip sebelumnya, rida adalah tidak merasa keberatan  dengan ketetapan Tuhan. Di antara tanda bahwa seorang merasa keberatan adalah  mengeluh atau mengadu kepada sesama makhluk, dan bukan berdoa kepada Sang  Khalik. Faktanya, Rasulullah Saw. berikut para nabi dan rasul yang tidak diragukan lagi  tingkat kerelaannya tetap berdoa sekaligus mengajarkannya kepada kita.  

Sekadar contoh, Nabi Ayyub As., sebagaimana terekam dalam QS. al-Anbiya [21]: 84,  pernah berujar dalam doanya bahwa ia sedang tersentuh kesusahan. Apakah Nabi  Ayyub tidak rela dengan keputusan Tuhan yang kala itu tengah menimpanya?  Jawabannya tentulah tidak. Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa ujaran Nabi  Ayyub “Aku sedang tersentuh kesusahan” bukanlah keluhan, melainkan doa yang  dipanjatkan kepada Tuhan. “Sementara doa,” terang al-Qurthubi, “tidaklah  membatalkan kerelaan.” Dengan demikian, berdoa di sini dapat diposisikan seiras  dengan kausa-kausa yang lain. Berdoa adalah upaya mengunduh takdir dengan takdir.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top