Masyarakat muslim di Nusantara menganggap bahwa 10 Muharram merupakan hari yang mulia dan sakral, karena bagi umat muslim pada waktu itu banyak peristiwa penting yang terjadi. Konon salah satu cerita, sebagaimana yang termaktub dalam I’anah at-Thalibin, pada hari ‘Asyura Allah pertama kalinya menciptakan dunia dan pada hari yang sama hujan rahmat diturunkan ke muka bumi.
Pelbagai tradisi untuk memperingati hari ‘Asyura telah turun-temurun diajarkan oleh orang-orang tua pada zaman dahulu. Bulan Muḥarram yang dianggap mulia sejak dahulu hingga sekarang di rayakan dengan cara Islami, tidak lain merupakan ajaran yang dibawakan oleh Walisongo. Kepercayaan orang Budha diubah Islami dengan harapan sedikit demi sedikit kepercayaan masyarakat akan pudar.
Slametan misalnya, tradisi yang dianggap sakral bagi masyarakat Jawa pada masa pra-Islam banyak menggunakan tradisi mistis mitologis Hindu-Budha dengan berbagai macam sesaji, setelah Islam datang cukup dengan doa-doa yang dipanjatkan oleh seorang Modin yang memimpin doa dan bacaan-bacaan ayat al-Quran.
Contoh lain, di beberapa tempat di Indonesia ada tradisi membuat makanan yaitu bubur. Orang Kalimantan Selatan memberi nama makanan itu dengan ‘bubur Asyura’ sedangkan masyarakat Jawa menamainya dengan ‘bubur Suro’ sesuai dengan wulan Suro pada penanggalan Jawa. Istilah keduanya sama-sama berangkat dari kisah zaman terdahulu.
Terdapat dua riwayat yang menceritakan sesuai dengan bentuk bubur yang dihidangkan sebagai sedekah. Cerita pertama terkait dengan syahidnya Husein cucu Baginda Nabi di padang Karbala. Untuk mengenang kesyahidan itu, maka dibuatlah sedekah dalam bentuk bubur merah dan putih sebagai simbol keberanian Husein membela kebenaran. Pada hari ‘Asyura itulah Sayyidina Husein syahid, termasuk sebagian besar keluarga Nabi, menjadi korban kebuasan dan kelicikan Yazid bin Mu’awiyah yang mewarisi kursi khalifah dari ayahnya setelah merebut dari Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Riwayat kedua dari kisah Nabi Nuh As dan pengikutnya yang turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang. Sesampainya di daratan Nabi Nuh As bertanya kepada umatnya, “Masihkah ada bekal pelayaran yang tersisa untuk dimakan?” Kemudian mereka menjawab, “masih ya Nabi.”
Nabi Nuh pun memerintahkan agar mengumpulkan sisa-sisa bahan makanan yang masih ada, gandum, kacang tanah adas (sejenis kacang-kacangan), dan kacang putih. Semuanya terkumpul dalam tujuh takaran besar. Kemudian dimasak menjadi adonan bubur dan dimakan bersama-sama. Bubur tersebut dapat mencukupi seluruh perut manusia pada waktu itu karena keberkahan Nabi Nuh As yang diberikan Allah Swt. Itulah peristiwa makan bersama pertama kali pada wajah bumi yang baru, setelah bencana banjir dan topan yang membalik dan memutar bumi hingga 72 derajat dan peristiwa itu tidak lain terjadi pada 10 Muharram.
Maka dari itu banyak guru sepuh yang menganjurkan untuk mengamalkan tradisi tersebut yaitu makan bersama dengan bahan-bahan campuran yang memiliki kedekatan jenis dengan Nabi Nuh. Sekaligus juga sedekah atau mengundang fakir miskin untuk menikmati makanan bubur Asyura bersama.
Meskipun secara normatif, akar historis dari asal-usul tradisi bubur ‘Asyura memang diperdebatkan validitasnya. Bahkan hal tersebut sama sekali tidak populer di kalangan ahli hadist. Namun, dalam konteks kearifan lokal tradisi ini banyak mengandung nilai-nilai moral dan budaya. Sejumlah masyarakat menjadikan momen tersebut sebagai sarana saling berbagi, bersilaturrahmi, dan saling mengasihi.
Dalam tradisi masyarakat kita, hari ‘Asyura juga dikenal dengan istilah ‘Idul Yatama atau hari raya bagi anak-anak yatim. Banyak orang kaya berdatangan ke panti asuhan untuk menghibur dan memberikan hadiah kepada mereka. Begitu juga instansi-instansi Islam mengundang para anak yatim untuk diberikan santunan dan kasih sayang.
Tradisi menyantuni anak yatim pada hari ‘Asyura sebenarnya memang sudah berlangsung sejak lama dilakukan para ulama dan masyarakat umum. Dari tradisi tersebut lalu muncul istilah lebaran anak yatim. Namun, yang dimaksud ‘Idul Yatama bukanlah hari raya seperti Idul Fitri atau Idul Adha, melainkan momen untuk membahagiakan hati anak yatim.
Dasar gerakan kasih sayang ini kemungkinan besar bersumber dari sebuah hadist yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW sangat menyayangi anak-anak yatim. Dan beliau lebih menyayangi lagi pada hari ‘Asyura. Dimana pada hari tersebut, Rasulullah menjamu dan bersedekah bukan hanya kepada anak yatim, tapi juga keluarganya dan orang-orang terdekat, karena itu sunnah Beliau SAW dan pembuka keberkahan hingga setahun penuh. (Kitab Faidhul Qadir juz 6 hal 235-236).
Mengutip kitab Tanbihul Ghafilin karangan Abu Laits as-Samarqandi yang masyhur dikalangan masyarakat bahwa Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى ثَوَابَ عَشْرَةِ آلافِ مَلَكٍ ، وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أُعْطِيَ ثَوَابَ عَشْرَةِ آلَافِ حَاجٍّ وَمُعْتَمِرٍ وَعَشْرَةِ آلافِ شَهِيدٍ ، وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَة
“Barangsiapa berpuasa para hari ‘Asyura, niscaya Allah akan memberikan seribu pahala malaikat dan pahala 10.000 pahala syuhada’. Dan baragsiapa mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, niscaya Allah mengangkat derajatnya pada setiap rambut yang diusapnya”. (HR. Baihaqi)
Memang kevaliditasan sanad hadits tersebut banyak diperdebatkan, tetapi subtansi hadist boleh diamalkan, karena berkaitan dengan kebajikan-kebajikan (fadla’ilul a’mal). Dan mengenai maksud mengusap kepala anak yatim adalah makna kiasan dari memberikan kasih sayang kepada mereka. Sebagaimana penjelasan dari Abu Thayyib yang menyatakan:
مسح رأس اليتيم كناية عن الشفقة والتلطف إليه، ولما لم تكن الكناية منافية لإرادة الحقيقة لإمكان الجمع بينهما
“Mengusap kepala anak yatim adalah sebuah kinayah tentang kasih sayang dan sikap lemah lembut (kepada anak yatim). Makna kinayah ini tidak bertentangan dengan makna hakiki, karena keduanya bisa dipadukan”. (Mirqatul Mafatih, 8/3115)
Menyayangi dan mengasihi anak-anak yatim bisa berupa memberi santunan kepada mereka, bahkan jika kita dianugerahi harta berlebih, alangkah baiknya kita mengambil andil untuk ikut mengurus anak yatim dengan cara yang terbaik, memenuhi sandang, pangan, papan, dan pendidikannya. Dapatlah kita pahami bahwa mengasihi anak yatim bukan hanya berhenti dilakukan pada ‘Asyura saja, namun juga pada hari-hari lainnya. Wallahu a’lam.[]
Referensi:
Abu Laits as-Samarqandi, 2013, Tanbihul Ghafilin, terj. Imam Taqiyudin, Jakarta: Pustaka Azzam.
Abd al-Ra’uf al-Munawi, 1935, Faidh al-Qadir Syarh Jami’ al-Shaghir, Mesir: Maktabah Tijariyah Kubra.
Asep Ruhimat, dkk, 2011, Ensiklopedi Kearifan Lokal Pulau Jawa, Solo: Tiga Ananda.
Franz Magnis Suseno, 1993, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hurgronje, Snouck, Mekka in the Latter Part of the 19th Century: Daily Life, Customs anD Learning. (Leiden: Late E.J. Brill Ltd, 1931), Jilid 1.