Belum selesai duka akibat kepergian guru saya di Ma’had Aly Situbondo, Dr. Kiai Abd. Jalal, hari ini saya harus menerima kabar duka kembali, guru saya yang lain, Dr. Kiai Romzi, mudir Ma’had Aly Nurul Jadid Paiton juga wafat. Sungguh saya sangat merasa kehilangan dengan kepergian kedua beliau.
Kiai Romzi adalah sosok kiai pesantren yang multiperan. beliau intelektual, penulis produktif, mubalig dan seorang kiai yang rumahnya selalu ramai didatangi umat.
Pertama, beliau intelektual, karena menyelesaikan pendidikan akademik dan berkiprah dalam dunia akademik secara runut dan panjang sekali. mesantren dari satu pesantren ke pesantren lain. dimulai dari Pesantren al-Nuqayah Guluk-guluk Sumenep, al-Munawwir Krapyak Jogjakarta asuhan Kiai Ali Maksum hingga ke pesantren al-Anwar Sarang di bawah asuhan Kiai Maemon Zubair.
Di bangku pendidikan formal, beliau berhasil mendapatkan gelar Doktor dalam bidang Islamic Studies di Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul disertasi “Kepemimpinan Publik Perempuan di Kabupaten Probolinggo Persepktif Maqasid al-Syariah”. Dan sampai beliau wafat, beliau menjabat sebagai mudir Ma’had Aly di Pesantren Nurul Jadid, sebuah lembaga pendidikan tinggi khas pesantren. D samping beliau juga dosen di Universitas Nurul Jadid Paiton. Ini bukti bahwa beliau adalah seorang kiai cum intelektual.
Kedua, beliau penulis produktif. Saya tak habis pikir, di tengah kesibukan beliau sebagai mubalig, menemani para santri dan segenap aktivitas lainnya, ia bisa melahirkan banyak karya baik dalam bahasa Arab atau bahasa Indonesia. sependek yang saya tahu, ada 70 judul karya yang berhasil beliau tulis. Beliau menulis tanpa jeda; ketika satu kitab rampung ia segera berpindah ke judul kitab yang lain dan begitu seterusnya.
Sekitar satu bulan yang lalu, beliau bercerita kepada saya, bahwa beliau sedang menyelesaikan kitab fikih berbahasa Arab dengan tajuk “mazhab Indonesia”. jika tak salah dengar, beliau berujar begini, “Saya sedang menyelesaikan kitab fikih Tadz Husain, terdiri hampir empat jilid, sudah hampir selesai. nanti mau dijadikan bahan ajar di sini.”
Objek yang beliau tulis tak melulu soal fikih, ada tasawuf, adab, ilmu gramatika bahasa arab hingga ilmu arudh. Suami dari Ibu Nyai Lathifah Wafi ini memang memberikan perhatian khusus pada ilmu arudh, sudah banyak syair-syair bahasa arab yang beliau susun. Ini tak lumrah sebenarnya, seorang kiai yang tak pernah mengeyam pendidikan di timur tengah, tetapi menguasai ilmu tata bahasa Arab secara mendalam.
Berikut karya-karya beliau dalam bahasa Arab; Habibatul Maghnanim Ala Nazmi al-Ta’lim wa al-Muta’allim, Kasyf al-Asror fi tashili Qiroah al-Kutub wa al-Syu’ur, Miftah al-Bashor fi Syarh Maziyyah ala al-Dhirar ala ilm al-Atsar, Miftah al-Rofidh fi ilm al-Faraid, Muqtanizu al-Naf’i Qiro’ah al-Sab’i, Riayah al-Salik fi Nazm alfiyah Ibnu Malik, al-Munawwaru al-Wafi ala mukhtasar al-Syafi, dan banyak judul kitab lain.
Ketiga, beliau sebagai mubalig. sebelum pandemi merebak seperti saat ini, hampir tiap hari beliau terjadwal memberikan ceramah dari satu tempat ke tempat yang lain. dari satu desa ke desa yang lain. Beliau tipikal orang yang bisa berceramah di segala cuaca. Dalam suasana seminar yang sarat akademik-ilmiah, pengajian umum dan forum-forum lainnya.
Menarik karena kiai Romzi bisa memadukan antara kecapakan menulis dan produktivitas berkarya. Biasanya, orang yang pintar ceramah ia bermasalah ketika harus menulis karya ilmiah. Sebaliknya orang yang produktif berkarya biasanya belepotan ketika harus tampil di forum publik untuk berbicara. Tetapi Kiai Romzi tidak demikian, ia cakap berkarya sekaligus berbicara.
Terakhir, beliau adalah kiai yang rumahnya selalu didatangi umat. Ketika pesantren masih aman dari pandemi dan memungkinkan sowan kepada masyayikh, kediaman Kiai Romzi ini selalu ramai menjadi objek ziarah para tamu. Pasalnya, Kiai Romzi adalah kiai yang banyak memiliki amalan sebagai bekal kemasyarakatan. Saya masih ingat, sekitar awal bulan Januari, ketika saya sowan beliau kebetulan ada tamu juga. Setelah saya menyimak ia menyampaikan tujuannya kepada Kiai Romzi, ternyata ia hendak bekerja ke Malaysia. Dan kepada Kiai Romzi, ia minta doa sekaligus jimat.
Perjumpaan saya dengan Kiai Romzi memang tak lama, sekitar lima bulan semenjak awal Januari 2020 hingga beliau wafat, tetapi sikap kehangatan beliau sebagai orang tua, bapak dan guru sangat saya rasakan. Teringat hampir tiap hari, saya dan beberapa kawan asatidz di Ma’had Aly Nurul Jadid dipanggil ke ruang makan beliau untuk makan persis seperti menu makanan yang beliau dahar.
Lamat-lamat, saya menyesal kenapa saya lambat mengenal beliau. Sialnya, saya juga tak punya kenangan berupa foto berdua dengan beliau. Namun demikian, yang saya ingat; saya pernah punya sanad kitab Iqna’ dan sanad keilmuan kepada kepada Kiai Maemon Zubair melalui jalur beliau. Karena Kiai Romzi memang punya banyak sanad kitab, keilmuan, dan banyak amalan bekal bermasyarakat.
Kiai Moh. Romzi al-Amiri Mannan, salah seorang santri Mbah Maemon Zubair yang alim dan produktif berkarya yang kemudian diambil menantu oleh pengarang Salawat Nahdliyah, Sayyidi al-Syaikh Kiai Hasan Abdul Wafi wafat di Probolinggo pada tanggal 7 Oktober 2020. Selamat Jalan Kiai Romzi, selamat berpulang menuju keabadian. Kepergian panjenengan adalah kepergian ilmu, teladan, dan yang terpenting adalah kepergian sanad keilmuan, kitab dan banyak amalan.