Dalam konsep Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa pelanggaran terhadap satu hak asasi seorang sama nilainya dengan pelanggaran terhadap hak semua orang. Sebab itu tidak boleh menyatakan “kan korbanya hanya satu”. Itu tidak boleh! Satu korban pelanggaran HAM sama dengan ratusan, ribuan dan jutaan korban. Hak hidup adalah “hak” yang paling dasar yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Bagaimana dengan Islam?
Dalam Islam, hak hidup (haqqul hayat) atau hifzdun nafs (perlindungan jiwa) merupakan kebutuhan paling mendasar (dlaruriyat), ada di peringkat teratas, menyusul hifzdud din, dan seterusnya.
Mengapa hak hidup (hifzdun nafs) sangat berarti? Karena setiap “ruh” yang ditiupkan dalam jiwa setiap manusia adalah “ruh Allah” yang maha suci. Dua ayat dalam dua surat sekaligus dengan redaksi yang sama persis menyatakan, “Ketika telah aku sempurnakan janin itu di dalamnya, dan lalu aku tiupkan “ruhku” maka lalu terdunduklah kalian bersujud kepadaNya.” (al-Hijr: 29 dan Shad: 72)
Jadi ruh setiap manusia tanpa kecuali, kulit putih, kulit hitam, kulit coklat, dan kulit yang lain, beriman maupun “tidak”, laki laki, perempuan, pokok semua manusia tampa kecuali, berasal dari Allah sang Maha Khaliq. Itulah mengapa “jiwa” setiap manusia tanpa kecuali sangat berharga bagi Allah. Sebab di dalam jiwa itu ada “ruh Tuhan”. Jadi manusia itu tidak melulu jasad dengan seluruh karakternya, melainkan juga ada ruh Tuhan. Maka manusia di samping memiliki dimensi insaniyah (kemanusian) ia juga memiliki dimensi ilahiyyah (ketuhanan). Ketika manusia berpulang, bukan jasadnya yang kembali, melainkan ruhnya. Ya karena memang ruh Tuhan, jadi ia yang kembali kehadapannya. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un artinya sesungguhnya ruh kita itu adalah milik dan dari Tuhan, maka ia akan kembali kepada-Nya.
Jangan pernah meremehkan jiwa (manusia), karena ada ruh Tuhan di dalamnya. Mengejeknya adalah mengejek-Nya.
Saking (jawa) pentingnya setiap jiwa manusia, Allah berfirman:
مِنۡ أَجۡلِ ذَ ٰلِكَ كَتَبۡنَا عَلَىٰ بَنِیۤ إِسۡرَ ٰۤءِیلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَیۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادࣲ فِی ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِیعࣰا وَمَنۡ أَحۡیَاهَا فَكَأَنَّمَاۤ أَحۡیَا ٱلنَّاسَ جَمِیعࣰاۚ
“…barang siapa membunuh satu jiwa (tampa ada jiwa yg terkorbankan sebelumnya) atau berbuat kerusakan di bumi ini, maka seakan akan ia telah membunuh seluruh umat manusia. Dan siapa yang menghidupkan satu jiwa saja, maka seakan telah menghidupkan seluruh umat manusia.”
Ini Allah sungguh serius. Sebab di dalam satu ayat ini ada beberapa penegasan (bahasa nahwunya “taukid”). Contoh kata “jami’an” setelah kata an-Nas. An Nas itu lafal “Am”, jadi ia telah mencakup seluruh manusia. Namun Allah “mungkin khawatir” ada penafsir yang akan mengecualikannya, karena memang secara ushuli, lafal Am itu mungkin dikecualikan (di-tahshis). Maka lalu Allah menghadirkan kata “jami’an”, untuk menegaskan bahwa yang ia maksud adalah seluruh manusia. Membunuh seorang sama dengan membunuh semua manusia, dan menghidupkannya sama dengan menghidupkan seluruhnya.
Saat ini kita sedang dihadapkan pada situasi yang menguji keimanan kita: akankah kita ikut membunuh satu jiwa, ataukah akan menghidupkan walaupun hanya satu jiwa? Wallahu a’lam
Situbondo
010420