Doa disebut sebagai salah satu faktor yang dapat mengubah takdir. Dalam hadis dari jalur Salman al-Farisi yang termaktub dalam Sunan al-Turmudzi, Rasulullah bersabda, “Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa. Juga tidak ada yang bisa memperpanjang usia kecuali kebaikan.”. Di sinilah seringkali timbul pertanyaan. Kalau sesuatu yang kita mohon telah ditakdirkan, tidak bisa tidak pasti akan terjadi. Baik dimohon atau tidak. Begitupun jika tidak ditakdirkan, tentu tidak akan terjadi, dipinta ataupun tidak. Lalu untuk apa berdoa?
Sepintas pertanyaan ini tampak kokoh dan mentereng, namun sejatinya begitu rapuh dan lemah, untuk tidak mengatakan dungu. Pertanyaan ini dibangun berdasarkan asumsi yang bilamana asumsi ini diterima mengharuskan kita juga menerima implikasinya, yakni berpangku tangan menyambut nasib.
Begini jelasnya. Dengan corak berpikir yang sama, izinkan saya menginterupsi Anda. Anda tidak perlu makan jika lapar, sebab dengan ataupun tanpa makan, jika perut Anda ditakdirkan kenyang, maka kenyanglah Anda. Pun sebaliknya, jika Anda ditakdirkan lapar, makan ataupun tidak makan Anda akan tetap kepalaran. Jadi percuma Anda makan.
Anda yang ingin bahagia memiliki keturunan, tak usahlah menikah. Percuma, sebab, jika Anda ditakdirkan punya keturunan, dengan atau tanpa menikahpun Anda akan tetap punya keturunan. Pun jika Anda ditakdirkan tidak punya keturunan, mau menikah atau tidak, Anda tetap tak bakal punya keturunan. Jadi, sekali lagi, percuma Anda menikah. Anda juga tak perlu repot-repot koar-koar, apalagi sampai capek-capek mendemo pemerintah yang Anda nilai selama pandemi ini telah membatasi gerak anda dalam beribadah. Toh, semuanya tergantung takdir Allah. Begitu seterusnya.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah tak punya kata-kata bagus untuk orang-orang yang berpandangan demikian. “Adakah seorang berakal atau manusia yang berpendapat demikian? Bahkan hewan gembala sekalipun didesain untuk menempuh upaya-upaya yang menentukan stamina dan kehidupannya. Kalau begitu, hewan-hewan itu lebih berakal dan lebih mengerti daripada mereka yang seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat.” gugahnya dalam bukunya, al-Jawab al-Kafi li Man Saala ‘an al-Dawa’ al-Syafi atau lebih dikenal dengan judul ringkasnya yakni al-Da’ wa al-Dawa’.
Di sini, Ibn al-Qayyim mendedah beberapa pandangan mengenai hubungan doa dan takdir. Ada kalangan yang berpendapat, menyibukkan diri dengan berdoa merupakan bagian dari ibadah murni. Allah akan memberi pahala bagi orang yang berdoa. Bagi pandangan ini, doa tidak memliki pengaruh sedikitpun terhadap hajat atau keinginan yang terkandung dalam doa itu sendiri. Tiada beda doa dan diam dalam kaitannya dengan sesuatu yang dikehandaki.
Pandangan lain menyatakan bahwa doa merupakan ciri khusus bahwa suatu hajat akan terkabul. Maka ketika seseorang diperkenankan berdoa oleh Tuhan, hal itu adalah pertanda bahwa hajatnya pasti dikabulkan. Demikian pula hubungan antara ketaatan dan pahala, dosa dan siksa. Ketaatan dan dosa tak lain adalah tanda bagi nasib seseorang kelak di akhirat. Dan bukan lagi soal hukum kausalitas yang berlaku.
Dalam pandangan ini, yang berlangsung bukanlah hukum ” pengaruh sebab-akibat” (al taktsir al-sababiy), melainkan hukum “kebersamaan-kebiasaan” (al-iqtiran al-‘adiy). Semua terjadi ya karena biasanya begitu. Jadi jika Anda bertanya kepada kelompok ini kenapa orang yang belajar menjadi pintar? Jawabnya bukan karena proses belajar mempengaruhi kepintaran. Melainkan karena biasanya orang yang belajar itu pintar.
Kedua pandangan terdahulu dinilai kurang tepat lantaran bertabrakan dengan pengalaman, akal sehat, ketentuan syara’, maupun fitrah kehidupan sendiri. Adapun pandangan yang dinilai lebih tepat menurut Ibn al-Qayyim adalah bahwa sesuatu (al maqdur) ditakdirkan dengan sebab-sebab. Dan doa adalah di antara sebab-sebab itu. Ibn al-Qayyim dengan tegas menyatakan, “Ketika seorang hamba melakukan sebab, terjadilah sesuatu yang ditakdirkan itu. Sementara jika tidak ada sebab, sesuatu itupun tiada terwujud.”
Al-Ghazali sendiri juga punya pandangan serupa. Dalam Ihya ‘Ulum al-Din dijelaskan, “Termasuk bagian dari ketetapan Allah adalah menolak bala dengan doa. Doa adalah sebab untuk menolak bala, juga sebab yang mengundang datangnya rahmat. Sebagimana perisai menjadi sarana untuk menangkal anak panah, dan air menjadi sebab menumbuhkan tetumbuhan dari tanah. Maka sebagaimana perisai menghalau panah dan saling serang, demikian pula doa dan bala bergelut. Sedangkan mengakui kehendak Tuhan tidak mensyaratkan harus menanggalkan senjata.”
Demikian kiranya jawaban mengapa kita harus tetap berdoa, kendati semua telah ditentukan. Posisi doa dalam menolak takdir seiras dengan belajar sebagai ikhtiar untuk menampik kebodohan, bekerja untuk menolak kemiskinan, melawan agar selamat dari penindasan, dan seterusnya. Bahkan secara hierarkis, posisi doa mengungguli sebab
sebab yang lain. Lalu mengapa orang berdoa ingin sembuh Anda bilang melawan takdir? Sedang kepada orang yang makan karena ingin kenyang, orang yang menikah karena ingin menghasilkan keturunan, dan lain seterusnya, justru Anda bilang, “Itu kan memang seharusnya!”
Angel tenan tuturanmu!