
Puasa adalah bentuk pengendalian diri yang melibatkan pengekangan konsumsi makanan, minuman, dan aspek kehidupan tertentu, sebuah praktik yang telah lama dijalankan dalam berbagai tradisi di seluruh dunia. Kegiatan ini muncul dari berbagai motif, mulai dari alasan keagamaan, nilai-nilai budaya, pertimbangan kesehatan, hingga tujuan politik dan lainnya.
Bukan hanya sebagai ritual keagamaan semata, puasa merupakan praktik yang menyentuh dimensi terdalam keberadaan manusia, sebagai laboratorium eksistensial yang menyuguhkan ruang bagi refleksi diri, solidaritas, dan transformasi sosial. Dalam konteks Indonesia yang kental dengan keberagaman budaya dan dinamika modernitas, puasa dapat dipandang sebagai titik temu antara tradisi dan pembaruan, antara nilai-nilai leluhur dan tantangan zaman.
Ritus Kultural
Di Jawa, seperti ditulis Clifford Geertz (dalam Burhani, 2021), puasa merupakan ritual yang banyak dilakukan masyarakat dari seluruh tingkatan kelas dengan tujuan ”untuk kekuatan dan intensitas spiritual”. Melalui ritual puasa, seseorang akan bisa meningkatkan kesaktian, kekuatan spiritual, atau kemampuan supranaturalnya.
Puasa diartikan sebagai ritual yang tidak hanya membentuk identitas individu, tetapi juga merefleksikan struktur sosial dan budaya suatu komunitas. Pada masyarakat kuno tertentu, puasa dilakukan sebagai cara untuk membersihkan diri, sebagai persiapan untuk menerima kekuatan gaib, atau cara agar kekuatan atau potensi yang sudah ada pada diri seseorang bisa lebih kuat dan bisa dibangkitkan atau ditampilkan keluar (Tamney 1980). Puasa jenis ini biasanya dilakukan oleh seorang pangeran beberapa waktu sebelum dinobatkan atau dikukuhkan menjadi raja (Burhani, 2021).
Lebih lanjut dikatakan, puasa, dalam konteks di atas, dipandang sebagai simbol kematian dan kelahiran kembali. Pada saat pelaksanaan puasa akan terjadi proses purifikasi terhadap berbagai kotoran dan keburukan yang ada pada diri manusia sehingga seusai puasa orang tersebut seperti terlahir kembali di dunia dalam kondisi bersih. Pada saat puasa pula, kekuatan positif dan berbagai potensi diri akan dibangkitkan sehingga pelakunya akan siap dengan tanggung jawab dan beban baru seusai puasa, seperti menjadi raja atau pimpinan masyarakat.
Kemanusiaan Kita
Dalam konteks keagamaan, puasa sering kali dimaknai sebagai sarana untuk menebus dosa-dosa masa lalu, sebagai bentuk kepatuhan terhadap perintah Tuhan, atau sebagai cara untuk mengekang nafsu dan mengasah disiplin. Di balik penolakan terhadap kenikmatan duniawi terdapat pesan tentang pengendalian diri, dan pencarian makna yang lebih tinggi—sebuah upaya untuk memahami kehidupan secara menyeluruh.
Pada titik ini, kecenderungan ekstrem kehidupan modern untuk mengutamakan perburuan kebutuhan jasmani sebenarnya mencerminkan warisan perilaku pra-manusia. Di tengah kecenderungan tersebut, nilai kemanusiaan seringkali diremehkan sehingga sesama manusia diperlakukan layak sebagai mangsa – “homo homini lupus.” Dalam situasi ini, hanya mereka yang memiliki kekuatan yang akan bertahan dalam rantai makanan sosial yang mengubah hubungan antar manusia menjadi semata-mata hubungan produksi dan komoditas, tanpa adanya ruang bagi cinta dan kasih sayang (Nawawi, 2021).
Puasa, sebagai bentuk pengekangan diri, membuka ruang bagi transformasi internal—sebuah perjalanan batin yang memungkinkan individu menemukan kebebasan yang tak tergantung pada memuaskan keinginan materi. Dengan memusatkan perhatian pada kebutuhan batin dan esensi kemanusiaan, praktik puasa mendorong terciptanya cinta kasih yang mendalam, baik kepada diri sendiri maupun kepada sesama, sebagai landasan untuk kehidupan yang lebih bermakna dan harmonis.
Dalam Islam, misalnya, banyak orang melakukan puasa, termasuk di luar bulan Ramadhan, dengan tujuan untuk kesalehan atau mendekatkan diri kepada Allah. Dalam bahasa Al Quran, tujuan diwajibkan melaksanakan puasa adalah agar para pelakunya mencapai derajat takwa atau menjadi muttaqin (Q 2:183). Ramadhan hendak menggugah sambil mempertanyakan sejauh mana kemanusiaan kita dipandang penting dan penuh makna.
Keberadaaan yang Autentik
Dari sudut pandang filsafat Heidegger, puasa mengundang individu untuk mengalami momen keberadaan yang autentik. Konsep “Dasein” yang menekankan kesadaran akan keberadaan diri sendiri menuntut agar setiap manusia mampu menyelami esensi keberadaannya melalui refleksi mendalam. Melalui medium puasa, kita diberi pilihan antara kembali kepada eksistensi alamiah (pra-manusiawi) atau “mengembangkan diri” hingga mencapai tingkat “menjadi manusia”.
“Menjadi manusia” berarti menjalin hubungan dengan sesama dan dunia. Sebuah hubungan yang dilandasi kesadaran bahwa manusia mengalami dunia sebagai realitas objektif, bukan subjektif yang hanya dimaknai oleh kepentingan masing-masing individu.
Nawawi (2021) menyebut kemanusiaan dalam “ke-kita-an” pada dasarnya menegaskan tentang cara ber-“ada” manusia di dunia. Manusia yang tidak hanya berarti ada-dalam-dunia, tetapi sekaligus ada-bersama-dunia. Dengan kata lain, seperti ditegaskan oleh Martin Heidegger, ada-dalam-dunia bermakna ada secara bersama. Dunia adalah tempat yang dimukimi bersama dengan orang-orang lain. Hubungan terajut atas dasar eksistensi sebagai manusia semata, bukan karena apa yang tersandang atau tersemat padanya.
Dengan menahan diri dari kebiasaan konsumtif dan mengejar kepuasan instan, individu diberi kesempatan untuk mengatasi keterbatasan tubuh dan memikirkan arti hidup yang lebih sejati. Puasa, dalam pandangan ini, menjadi jembatan menuju otentisitas, di mana bayangan manusia pada realitas eksistensialnya dan didorong untuk membebaskan diri dari belenggu duniawi yang menyelimuti.
Pemaknaan eksistensial tersebut menjadi penting untuk dipahami demi menghasilkan efek ritualitas yang berdampak pada kehidupan. Kewajiban menjalankan puasa tidak sekedar untuk memenuhi rukun Islam atau menegaskan identitas sebagai seorang muslim, melainkan juga untuk menunjukkan bahwa penerapan ajaran agama secara individu memiliki resonansi kolektif dalam masyarakat. Bahkan, puasa berperan sebagai solusi atas permasalahan yang mengganggu dinamika kehidupan kemanusiaan secara luas.
Seluruh aktivitas kekayaan yang digalakkan selama bulan Ramadhan berfungsi sebagai mekanisme untuk mengekang dominasi aspek jasmani dengan menonjolkan aktivitas rohaniah, sehingga menjadi salah satu cara mendalami makna keberadaan manusia. Manusia membutuhkan semacam oasis spiritual yang menyediakan ladang bagi pertumbuhan kesadaran diri dan kepedulian terhadap sesama melalui pengabdian, bukan semata-mata demi kepentingan atau keuntungan materi. Dengan demikian, puasa mampu melahirkan manusia-manusia baru yang tidak hanya dibatasi oleh kepentingan-kepentingan duniawi, tetapi juga dibentuk oleh semangat rohaniah, sehingga mereka menjadi “manusia” seutuhnya.