Kalau semua orang yang melanggar protokol kesehatan di era pandemi ditahan, maka cukup pasti sel-sel di kantor polisi akan penuh. Namun hanya Muhammad Rizieq Shihab (MRS) yang mengalami itu. Saya sendiri termasuk orang yang tidak setuju dengan sepak terjangnya selama ini, tetapi apakah pemerintah sudah memikirkan konsekuensi dari penahanannya terhadap dinamika Islam politik secara lebih luas?
Terus terang saya khawatir langkah tersebut malah akan semakin membesarkan HRS. Para pembencinya boleh saja menganggap dia adalah preman, tetapi di mata para pendukungnya dia adalah pahlawan. Bahkan di kalangan tertentu yang sebelumnya tidak menyukainya, HRS sekarang dipandang sebagai oposan. Dengan kata lain, HRS naik kelas dari sekadar tokoh Islam garis keras yang kerap main hakim sendiri di jalanan menjadi martir yang berdiri gagah di hadapan kekuasan!
Kekhawatiran saya beralasan. Dalam sejarah, Islam politik membesar justru karena represi. Inilah yang terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Mesir, Iran, Turki, Pakistan, Tunisia, dan negara-negara Muslim lainnya. Di sana, pemerintah poskolonial yang pada periode awal umumnya bercorak nasionalis sekuler merepresi mereka. Hasilnya, alih-alih hilang, kekuatan Islam politik terus berkembang dan bahkan di beberapa negara berhasil merebut kekuasaan.
Di Indonesia sendiri, Islam politik sejak awal dimarginalkan. Pada tahun 1960 Masyumi dibubarkan. Pada awal Orde Baru, partai-partai Islam diringkus di bawah satu partai saja. Sementara itu, di tataran kultural, berbagai ekspresi keagamaan yang bersifat politis akan segera ditindak dengan tuduhan melakukan rencana pembentukan negara Islam. Apa hasil dari penanganan yang sebagian dikerjakan oleh operasi intelejen ini?
Islam politik bergerak di bawah tanah. Mereka aktif di kampus-kampus umum. Mereka hadir di kelompok-kelompok marginal. Singkat kata, awal 1990-an mereka sudah membentuk suatu lapisan sosial yang mapan. Oleh karena itu, tidak heran kalau Soeharto kemudian justru memanfaatkan mereka, padahal sebelumnya digebuk sedemikian rupa.
Belakangan, pengertian Islam politik memang dikacaukan dan dikaitkan begitu saja dengan istilah-istilah seperti radikalisme, terorisme, dan intoleransi. Seolah-olah semua itu mengacu pada entitas yang sama. Problem semantik ini berdampak luas. Pokoknya semua yang berbau Islam politik dianggap ancaman terhadap pemerintahan yang sah dan, lebih jauh lagi, keutuhan NKRI.
Cara pandang yang menyesatkan tersebut diperparah oleh hiruk pikuk media sosial. Netizen kita yang telah terpolarisasi karena pemilu atau pilkada, selain karena sistem algoritma media sosial itu sendiri, mudah sekali melabeli pihak yang berbeda sebagai intoleran, radikal, dan teroris. Di sisi lain, pihak yang dilabeli juga tidak kalah beringasnya. Mereka menuduh pihak yang berbeda sebagai kafir dan, ini yang kemarin sempat ramai, lonte! Riuh rendah tidak karuan, seakan-akan pihaknya yang paling benar.
Kembali ke soal MRS, beberapa waktu lalu—sebelum dia ditahan—saya bertanya kepada salah seorang staf khusus presiden: apakah iya pemerintah mau menggunakan dalih protokol kesehatan? Kalau iya, sampai kapan dalih itu bisa bertahan? Sebab, kata saya, meski benar, dalih tersebut sangat sumir. Jika tidak diantisipasi konsekuensinya, serangan balik yang tidak diharapkan akan terjadi.
Lebib lanjut, saya mengutarakan kepada staf khusus presiden itu, serangan balik yang akan terjadi tidak mesti terkait dengan legitimasi pemerintahan. Secara politik posisi Jokowi sangat kuat dan akan terus begitu hingga 2024. Namun setelah itu bagaimana? Bahkan tidak perlu menunggu 2024 dan setelahnya, sekarang pun gejala-gejala menuju serangan balik yang tidak diharapkan telah terasa.
Di beberapa kota, bekas jaringan aksi 212 yang sejatinya telah melemah dan melunak kembali mengeras. Mereka melihat ada sesuatu yang tidak adil dalam kasus penahanan MRS ini—juga skandal penembakan 6 orang anggota FPI. Mungkin sekarang kepolisian masih bisa mengendalikan mereka, tetapi bagi para politisi ini adalah potensi yang kelak, jika waktunya tiba, bisa dimanfaatkan untuk apa saja. Di tengah situasi pandemi yang berakibat pada resesi ekonomi, pengkondisian bagi perasaan tersingkir dari keadilan bisa diciptakan lebih mudah.
Andaikan MRS dipahami sebagai fenomena biasa dalam demokrasi, saya kira masalahnya tidak akan rumit. Jika pun dia melakukan pelanggaran hukum, sehingga harus ditahan, kita semua tahu ada hal yang lebih serius daripada soal protokol kesehatan. Bagaimana dengan provokasi atau ujaran kebencian yang kerap dia sampaikan secara terbuka? Mengapa untuk kasus seperti itu aparat malah menghentikan penyidikan? Karena simpang siur, maka wajar jika sebagian publik bertanya: ada apa dengan ini semua?
Dari sudut pandang Islam politik, cara negara menangani MRS cukup problematik. Sekali lagi ini bukan dalam rangka membenarkan sepak terjangnya selama ini, tetapi untuk mengantisipasi kemungkinan serangan balik yang tidak diharapkan. Sejarah telah memberi tahu kita betapa mudahnya seseorang beralih dari satu peran ke peran lainnya, dari antagonis ke protagonis, karena salah penanganan. Dalam hal ini, pepatah Sunda “caina herang, laukna beunang” (airnya jernih, ikannya dapat) barangkali bisa menjadi panduan. Pemerintahan Jokowi pastinya paham ini sejauh tidak menganggap semua pandangan dan sikap yang berbeda dengannya sebagai ancaman terhadap kekuasaan.