Sedang Membaca
Moderatisme Beragama Bukanlah Pagi ke Masjid, Siang ke Gereja, dan Malam ke Wihara

Mohamad Za'in Fiqron, alumnus Qudsiyyah Kudus, peminat filsafat dan sosial keagamaan. IG @jean_francois_lyotard.

Moderatisme Beragama Bukanlah Pagi ke Masjid, Siang ke Gereja, dan Malam ke Wihara

Moderatisme beragama adalah topik yang licin, jika tidak ingin dikatakan ambivalen. Dari satu sisi, moderatisme beragama kerap dituduh sebagai agenda politik, produk bidah, dan terutama dianggap pluralisme beragama.

Pada saat yang sama, arti kata “moderat” itu juga membingungkan; sejauh mana ia disebut moderat, yang wasathan itu seperti apa dan siapa yang berhak menjadi wasith atas segenap kehidupan beragama. Rupa-rupanya, kehebohan atas hukum mengucapkan selamat hari raya masih jadi polemik tahunan, perbedaan hari raya menimbulkan kegaduhan, intoleransi seperti kasus terorisme masih merajalela, dan diskriminasi atas kaum minoritas masih menjadi problem konkret. Karenanya, “moderatisme beragama” dari sisi lain perlu diteguhkan dan diberi pemaknaan yang lebih jernih di tengah carut-marut keberagamaan dewasa ini.

Bukan Pluralisme Beragama

Salah satu tuduhan mencolok moderatisme beragama adalah dipadankan dengan pluralisme beragama. Padahal secara konseptual keduanya berbeda dan sama sekali lain. Sebagaimana diketahui, pluralisme beragama adalah paham-anak kandung agnostisisme yang memiliki keyakinan bahwa kebenaran agama bersifat relatif, agama adalah persoalan selera. Pluralisme beragama juga menuntut agama-agama untuk menarik truth klaim (klaim kebenaran) yang ada pada setiap agama. Sikap semacam ini bukan hanya dapat menjadikan pemeluk agama menjadi intoleran terhadap agamanya, tapi agama justru kehilangan kebenarannya.

Baca juga:  Sajian Khusus: Tradisi Natal dan Catatan Toleransi Umat Beragama

Moderatisme beragama bukanlah sikap sedemikian itu. Agama adalah kebenaran, dan kebenarannya  harus diyakini oleh pemeluknya, tentu diperlukan kebernalaran dalam hal ini. Menyitir Franz Magnis Suseno dalam antologi Meluhurkan Kemanusiaan: Kumpulan Esai untuk A. Sudiarja, moderatisme beragama dapat diartikan sebagai sikap hormat terhadap yang berbeda agama, tanpa harus menihilkan keyakinan yang dipeluk. Oleh sebab itu, bagi pemeluk agama tetap mempertahankan keyakinan sembari terbuka terhadap pemeluk agama lain. Tentu, dalam arti luasnya tidak hanya terhadap (A)gama, tetapi termasuk kepada (a)gama. Dengan demikian, moderatisme beragama bukanlah pagi ke Masjid, siang ke Gereja, malam ke Wihara, dan singkatnya bukan pluralisme beragama atau kompromi agama.

Jika direnungi-diinsafi, topik moderatisme beragama sesungguhnya lekat dengan sunnatullah, yakni bahwa alam raya ini terdiri atas keragaman. Ada laki-perempuan, ada manusia dan non-manusia, ada banyak agama,  dan tak ada satu pun di dunia ini yang mewujud dalam rupa “yang sama”. Oleh sebab itu, adanya kesadaran untuk menerima keragaman berarti termasuk menerima ketetapan Allah. Hal ini tentu menjadi autokritik bagaimana mengimani ketetapan Allah itu.

Nabi Muhammad sudah terlampau sering memberi teladan nyata dalam menghormati yang berbeda. Banyak suri teladannya, salah satunya kisah ketika melaksanakan Haji, Nabi berkhotbah di hadapan lima belas ribu muslim di Makkah. Menariknya, dalam khotbah tersebut, seruan Nabi ditujukan kepada seluruh umat manusia (ya ayyuhannas), bukan muslim saja. Artinya, Nabi menandaskan kesatuan manusia tanpa memandang agama, suku, dan atribut lainnya. Semua manusia adalah ciptaan Allah, maka intoleransi adalah penghinaan terhadap pencipta mereka.

Baca juga:  Kajian yang Keren: Belut dalam Pemikiran Hukum Islam

Satu lagi yang tidak boleh terlewatkan, Islam mengajarkan untuk mengucapkan basmalah terutama dalam mengawali sesuatu. Bismillahirrahmanirrahim tentu memiliki ragam tafsir dan makna, misalnya ar-Rahman dalam tafsir Jalalain bermakna kasih sayang Tuhan di Dunia. Tetapi, toh bahwa ar-Rahman dan ar-Arrahim menunjukkan samudera welas asih Tuhan terhadap hambanya. Oleh sebab itu, Tuhan mengajarkan makhluknya untuk bersikap welas asih terhadap sesama.

Kemanusiaan sebagai Pilar

Permasalahannya sekarang, benarkah dengan pemahaman seperti itu secara otomatis kedamaian antar umat beragama dapat tercipta? Di sini perlu berhati-hati untuk tak terlalu narsis dengan moderatisme beragama yang dipahami hanya dari tinjauan teologis. Asumsinya, kendati moderatisme beragama kerap disosialisasikan, rupanya masih saja ada radikalisasi dan sikap saling curiga. Di samping tentu argumen-argumen teologis akan moderatisme disangsikan oleh mereka yang tak setuju. Oleh sebab itu dibutuhkan terlebih suatu pendekatan baru dalam mengupayakan terciptanya harmoni antar umat beragama.

Diperlukan pemahaman bahwa manusia apa pun agamanya tetaplah manusia.  Suatu kenyataan bahwa masing-masing sesama cucu Nabi, Nabi Adam. Bagaimana pun manusia membutuhkan sesama manusia, ia tak bisa hidup sendirian. Kesadaran untuk mengikat kembali persaudaraan antar manusia inilah yang kiranya harus disadari dengan kesungguhan. Jika yang terjadi sebaliknya, manusia akan selalu disibukkan dengan egonya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top