Kitab yang memuat Dziba’ Barzanji dan sebagainya, berbahasa Arab seluruhnya. Tanpa memahami bahasa Arab, tentu tidak bisa mengerti maknanya. Apa yang dimaksud oleh berbagai syair dan bacaan yang terdapat di dalamnya. Pemikiran itulah yang membuat saya aras-arasen kalau diajak berjanjen (membaca kitab barzanzi) atau maulidan. Untuk apa membaca sesuatu yang tidak dimengerti? Bila benar ingin meneladani perilaku Nabi, bukankah lebih baik membaca kisah dalam bahasa sehari-hari?
Maka kemudian saya lebih suka menyimak kisah hidup Rasulullah dalam berbagai buku berbahasa Indonesia.
Lalu tibalah hari yang menakjubkan itu. Saat acara selapanan Fatayat dan Muslimat NU sekaligus santunan anak yatim. Para hadirin berdiri sambil menyenandungkan shalawat. Saat itu, di panggung berderet anak yatim berdiri untuk dielus kepalanya dan diberi santunan.
Sementara itu, saya duduk saja, karena sedang memangku bayi yang tengah menyesap ASI. Saya menunduk menatap bayi kala tetiba terasa ada yang berdesir di hati. Saya merasakan kehadiran Rasulullah. Begitu dekat. Tiba-tiba air mata menderas tanpa bisa dicegah. Saya menangis hebat sampai tidak bisa lagi melafalkan shalawat.
Saya antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang saya rasakan. Benarkah Rasulullah hadir? Seperti apa Beliau? Di mana?
Mata saya berkelana melihat siapa tahu ada sosok Rasulullah di antara hadirin yang masih berdiri. Tetapi sosok yang saya cari, yang saya perkirakan sebagai Rasulullah, tak ada. Kejadian semacam itu tidak hanya satu kali saya alami. Masya Allah!
Saya jadi teringat nasehat Ibu saat srakal. Agar berdiri yang serius. Tidak boleh menyender atau bercanda karena Rasulullah hadir. Saat itu saya menyepelekan. Menganggap Ibu mengada-ada saja. Bukankah Rasulullah sudah lama wafat, bagaimana bisa hadir? Ruhnya yang hadir? Ruh itu wujudnya seperti apa? Sungguhkah ruh bisa hadir ke dunia? Sebuah pertanyaan yang sampai sekarang pun saya tidak tahu jawabannya.
Namun rasa bahagia dan rindu yang membuncah pada Rasulullah saat syair-syair penuh cinta itu dilantunkan membuat saya tidak lagi merasa perlu mempertanyakan: memangnya kalau baca Dziba’ yang nggak paham artinya itu ada gunanya?
Ah, bagaimana bisa saya menyangsikan manfaat dari rangkaian syair cinta untuk Baginda Nabi. Sedang begitu banyak orang percaya bahwa musik klasik bisa mencerdaskan. Begitu banyak orang yang percaya bahwa lantunan nada bisa menenangkan jiwa. Dan lagu apa saja senantiasa mengalirkan energi sesuai ‘tiupan ruh’ dari pencipta lagunya. Suka cita, gembira ria, atau sebaliknya.
Maka, terkait dziba’, yang dibutuhkan hanyalah rasa percaya bahwa yang menyusun kitab tersebut teramat dalam cintanya pada Rasulullah. Maka bagi kita yang membaca dan mendengarkan isi kitab tersebut akan teraliri energi cinta yang luar biasa. Karena sebagaimana energi benci, energi cinta juga bisa menular. Insya Allah.
Bila rasa cinta kepada Rasulullah telah melekat di sanubari, tentu mendorong pikiran dan badan untuk meneladani. Membuat diri semangat untuk mencari tahu lebih banyak tentang sosok Rasulullah. Apa yang Beliau suka dan apa yang tidak. Apa saja yang membuat para sahabat mencintai Beliau begitu rupa. Energi cinta akan mendorong kita meneladani Rasulullah tanpa rasa terpaksa. Yang ada hanyalah rasa bahagia dan sukacita, berharap kelak bisa berjumpa di surga.
Meneladani Rasulullah yang berawal dari rasa cinta, mengarahkan pikiran dan hati untuk selalu mengingat episode penuh cinta Rasulullah kepada para sahabat, bahkan pada orang kafir. Pada orang yang sering melempar kotoran, pada pengemis buta yang senantiasa mencaci maki, pada yang melakukan pemboikotan, pada yang menyakiti fisik maupun memfitnah.
Inilah rupanya yang menyebabkan pembacaan Dziba’ Barzanji dan sebagainya digencarkan bahkan kerap dilombakan. Semua itu adalah untuk membangkitkan rasa cinta pada Rasulullah. Dari cinta jadi ingin tahu, selanjutnya ingin selalu meniru. Insya Allah.