Tulisan ini merupakan resepsi atas pembacaan artikel karya Leonard Y. Andaya, The Seventeenth-Century Achehnese Model of Malay Society, jurnal Curzon-IIAS Asian Studies Series, 2001.
Bahwa Aceh sebagai Pemodelan terhadap Identitas Kemelayuan pada Abad ke-17. Apa itu identitas kemelayuan, kapan dan dari mana identitas itu muncul? Apakah identitas itu bergerak evolutif dari kebudayaan ”native” yang pada dasarnya telah ada di suatu wilayah, ataukah ketika ia dipengaruhi oleh/ bersinggungan dengan kebudayaan (peradaban) lain?
Barangkali, bagi orang Malaysia kemelayuan dimulai di Malaka pada permulaan abad ke-15, dengan mengabaikan keberadaan Sriwijaya yang pernah jaya antara abad 7-11 di Asia Tenggara.
Sebab, kerajaan yang sekarang berlokasi di Indonesia itu dianggap sebagai bagian dari kesejarahan Indonesia, bukan Malaysia. Padahal menempatkan batas-batas kenegaraan pada konteks kesejarahan kawasan masa itu adalah ahistoris.
Beberapa sumber berbeda mengatakan bahwa kebudayaan Melayu terletak di kawasan Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Palembang dan Jambi pada periode Sriwijaya, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Aru, Samudra, Lamuri, bahkan dimasukkan juga daerah Lampung, Minangkabau, Mandailing, Tumiang, dan Barus.
Atau lebih sempit lagi, Malaka-lah yang selalu diidentifikasi sebagai Melayu. Malaka adalah Melayu, dan Melayu adalah Malaka.
Tulisan Andaya ini menghindari perdebatan itu, dan mencoba memberi perspektif lain dengan melihat keberadaan Aceh sebagai sebuah model yang ikut andil dalam membentuk identitas kemelayuan.
Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Siapakah yang menggantikan posisinya dan muncul “Malaka Baru” yang berperan sebagai pusat lalu-lintas perdagangan? Portugis, Aceh, ataukah Johor?
Andaya melihat bahwa dengan kejatuhan Malaka itu, keberadaan Aceh menguat. Sebagian besar komunitas dagang Asia di kawasan itu bubar, lantas mereka menetap di Aceh. Pada perkembangannya, Aceh tumbuh sebagai kerajaan dan pusat militer yang kelangsungan hidup ekonominya tergantung dari kemampuannya untuk berfungsi sebagai pelabuhan pusat bagi kawasan itu. Ia setidaknya masih bisa mempertahankan hubungannya dengan 3 peradaban besar, yakni Turki, Persia, dan India.
Dengan India ia melakukan hubungan dagang berupa komoditas tekstil, dengan Persia berupa dinamika intelektualnya (lahir karya-karya sastra), dan Turki (masa Ottoman) dengan jaringan keislamannya (Aceh sebagai vasal kekhalifahan Turki Utsmani) sampai Aceh dikenal sebagai pusat belajar Islam yang terkemuka.
Di sini, ke-Islam-an Aceh memberikan pengaruh terhadap identitas kemelayuan yang sebelumnya hanya diwarnai oleh kerajaan Malaka yang bersifat percampuran dari masyarakat setempat, India, dan Islam.
Pemodelan apa saja yang ditawarkan oleh Aceh terhadap Melayu? Pertama, keberadaan istana dan sistem administrasi. Malaka tidak memberikan bentuk ”negara” pada Melayu, namun menawarkan cita rasa bahasa, kesusastraan, tingkah laku, hukum dan Islam. Acehlah yang melakukan itu.
Aceh melakukan pelembagaan atas pemberian gelar kepada orang asing yang dianggap berjasa, misalnya gelar saudagar raja yang diberikan kepada pqqedagang India dalam membantu aktifitas dagang penguasa Aceh, atau gelar raja putih kepada orang Eropa yang menyumbangkan peralatan perang dan melatihkannya.
Sebagaimana di Malaka, Aceh mempunyai 4 menteri utama dengan nama yang berbeda. Menteri pertama adalah Leube Kita Kali, bertugas memutuskan persoalan agama dan hukum sekuler.
Orang Kaya Maharaja Sri maharaja bertugas sebagai Perdana Menteri dalam urusan negara. Orang Kaya Laksamana perdana Menteri bertugas sebagai Panglima Dalam, untuk urusan dalam negeri, dan terakhir Penghulu Dalam bertugas sebagai menteri urusan istana.
Penempatan Leube Kita Kali sebagai menteri pertama mengindikasikan peran agama Islam dalam istana, yang berbeda dengan di Malaka. Demikian juga perbedaan peran Laksamana sebagai panglima armada. Sharing of power antar-menteri terlihat jelas pada periode ini; urusan uang dan pemasukan; militer dan dinas intelijen, pengadilan dan lembaga agama; dan urusan dalam istana.
Selain itu, Aceh juga menciptakan inovasi dalam administrasi negara. Posisi uleebalang sebagai penguasa lokal, dan panglima sebagai penguasa wakil dari kerajaan.
Yang aneh, di kerajaan Aceh terdapat perempuan-perempuan berparas cantik dan kaum sida-sida, yakni laki-laki yang dikebiri. Peran kelompok terakhir masih diperdebatkan, ada yang mengatakan bahwa ia sebagai ”penjaga adat”, kaum terpelajar (pendeta), ataukah pesuruh raja sebagaimana bentara, dan dayang-dayang.
Sida-sida mempunyai kedudukan strategis sebagai penghubung antara istri raja dengan para tamu. Namun ada juga mereka yang berdagang. Terdapat sekitar 100 sida-sida dan 1000 perempuan cantik. Aneh sebab Aceh adalah negara Islam (ataukah justru karena itu)?
Dalam terma perdagangan, aceh menggunakan istilah Persia, yakni syahbandar, untuk menunjuk pada orang yang bertanggung jawab terhadap pelabuhan. Ia dibantu oleh nazir (pengawas) dan dalal (penghubung).
Dalam bidang kesenian, Aceh juga berbeda. Untuk menjamu tamu, dihadirkan para musisi, penari, berbagai pertunjukan dari Jawa, Ayudhya, India dan berbagai tempat. Gajah dan kuda adalah bagian dari keberadaan istana. Pertunjukan gajah diadakan untuk hiburan.
Kedua, ekonomi. Pada periode Malaka pedagang India berperan penting. Aceh memberlakukan restriksi perdagangan asing dan memperkuat posisi kesyahbandarannya.
Selain itu, Aceh memiliki komoditas perdagangan yang khas: lada, timah, dan gajah. Kebutuhan lada didapat dari tanah Minangkabau, sedangkan timah dari penaklukannya terhadap Perak dan Kedah. Gajah murni dari Sumatera dan kawasan Semenanjung.
Ketiga, peranan Islam. Islam di Aceh memberi warna pada formasi kebudayaan, ekonomi, dan agama pada identitas kemelayuan. Keislaman ini memberi identitas pada bentuk negara, yang sebelumnya tidak didapatkan pada periode Malaka. Struktur pemerintahan mengedepankan identitas keislaman, Leube Kita Kali sebagai menteri pertama sekaligus ulama.
Bahkan tokoh-tokoh mistik sufi menjadi penasehat keagamaan sejak masa Iskandar Muda (1607-36). Raja ini juga menjadi pengikut Sufisme dibawah bimbingan Syamsuddin as-Sumatrani.
Demikian juga pembagian wilayah administratif kerajaan didasarkan pada Islam Aceh. Terdapat empat unit utama: gampong (desa), mukim (distrik atau perkotaan), nanggroe (negara), dan sagoe (kewilayahan).
Selain Mukim, kesemuanya berasal dari term lokal. Mukim pada mulanya adalah tempat dimana seseorang menetap untuk mengurusi jamaah sholat Jumat. Masjid sebagai tempat beribadah kemudian berkembang menjadi komunitas (atau sebaliknya). Area itulah yang disebut mukim. (atk)