Etika menjadi sebuah istilah yang lambat laun terus menjadi perhatian dalam membangun konstruk hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama. Hal itu setidaknya dilatar belakangi dua alasan mendasar. Pertama, dari perspektif keilmuan yang menunjukkan bagaimana keberadaannya membuka tabir yang berpeluang melampaui sistem dalam aturan ilmu. Kedua, dari segi agama yang salah satu mendasarnya berbicara tentang moral.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, setidaknya kita bisa melihat akan bagaimana terobosan-terobosan yang dihadirkan sampai pada tantangan maupun ancaman terhadap kemanusiaan itu sendiri. Katakanlah saat penemuan bom atom, yang tak terlepas dari keilmuan energi nuklir disalahgunakan sebagai pemusnah massal. Paling mendasar tentu saja saat momentum Perang Dunia II kurun waktu 1939-1945.
Karlina Supelli (2001) menyebutkan peledakkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945 yang tidak lain hasil dari Proyek Manhattan, serta memberikan pengakuan bahwa situasi tersebut sering kali diulang-ulang dalam banyak paparan materinya. Pengakuannya ingin menunjukkan bahwa itu menjadi bukti pengetahuan fisika murni dapat membuahkan terapan yang mempunyai implikasi etis dan politis sangat dahsyat.
Senada dengan itu, Mikhael Dua melalui bukunya, Kebebasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Sebuah Esai Etika (Kanisisus, 2011) memberikan analogi berupa paradoks ilmu pengetahuan. Penjelasannya; di satu sisi ilmu pengetahuan menjadi simbol keunggulan dan kecerdasan manusia, tetapi di sisi lain ia dapat menjadi sumber masalah yang dapat mengguncangkan pandangan-pandangan tradisional tentang kodrat kita sebagai manusia.
Dari dua paparan di atas, tentunya kita melihat bahwa terobosan demi terobosan yang dihadirkan oleh ilmu pengetahuan butuh semacam landasan etika. Tujuannya agar tak mengancam kehidupan banyak manusia, mengilangkan humanisme, hingga menjadikan seseorang berbuat sesukanya. Dalam arti lain, seseorang kemudian paham bahwa luasnya ilmu pengetahuan yang bisa dikuasai manusia, ia juga memiliki sebuah batasan.
Masih di buku yang sama, Mikhael Dua menjelaskan konsep etika. Tulisnya secara lengkap: “Etika ilmu pengetahuan merupakan sebuah refleksi atas tanggung jawab terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dampak-dampaknya. Dengan perkataan lain, tugas etika bukan untuk menafikkan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi melainkan mengajak setiap orang untuk bertanggung jawab terhadap ekses teknologi baik terhadap manusia maupun terhadap alam.”
Peran Agama
Pertanyaan kemudian, bagaimana peran agama dalam diskursus tersebut? Secara mendasar tentu mula-mula tak terlepas bagaimana pendudukkan antara agama dengan ilmu pengetahuan untuk terus memahami dan saling mengerti antara satu dengan lainnya. Kemudian, posisi etika terhadirkan tak terlepas dari sumber-sumber yang terdapat di dalam agama.
Itu membawa kita pada sebuah buku berjudul Ilmu, Etika & Agama: Menyingkap Tabir Alam dan Manusia yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2006. Buku berisi kumpulan makalah hasil workshop pengajaran ilmu dan agama yang diselenggarakan oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Universitas Gadjah Mada di tahun 2003. Sederet nama dengan latar belakang kajian keilmuan dan agama terhadirkan.
Zainal Abidin Bagir, selain sebagai penyunting juga menyumbang sebuah tulisan, Sains dan Agama-Agama: Perbandingan Beberapa Tipologi Mutakhir. Meski terkesan sebagai pengantar untuk keseluruhan naskah yang termaktub di dalamnya, ia juga memberikan perspektif lain akan dimensi etika di luar yang diangkat oleh beberapa pemakalah, terkait agama dan lingkungan. Ia mengutarakan keberadaan bioetika yang menjadi salah satu isu mutakhir ketika itu.
Pernyataannya berupa: “Terkait erat dengan itu, bioetika juga merupakan bidang lain di mana ilmuwan dan agamawan diharapkan bekerja sama merumuskan tanggapannya, mulai dari masalah kloning, transplantasi organ, aborsi, AIDS, hingga lemahnya akses rakyat miskin terhadap kesehatan. Agama sebagai salah satu sumber terpenting etika sudah selayaknyalah mampu memberikan kontribusinya untuk masalah-masalah baru ini.”
Pada abad XXI, urusan agama dan ilmu pengetahuan masih menjadi perhatian serius di berbagai kalangan. Kendati tak sedikit dengan didahului pertentangan antara keduanya, namun tetap melahirkan percakapan intim dalam melakukan dialog untuk membaca berbagai perubahan yang muncul. Itu penting, apalagi di tengah kompleksitas yang terjadi, tidak sedikit pula bagi sebagian orang mulai tak memperhatikan lagi apa yang dinamakan etika.
Kemajuan ilmu pengetahuan dengan hadirnya teknologi yang kemudian bergerak dalam ranah bisnis, politik, militer, maupun birokrasi bukanlah kenyataan yang linier. Akan tetapi ada kemungkinan lain berupa munculnya situasi kebalikan yang mengarah pada hal-hal yang sejatinya tidak kita inginkan. Di sanalah etika sebagai sebuah konsep mesti dijadikan landasan bagi tiap kalangan dalam upaya bersama menjalankan hidup dan menjaga keseimbangan.
Kita teringat dengan sosok Mudaham Taufik Zen, seorang cendekiawan yang meninggal pada 24 Mei lalu akan analoginya bahwa sains itu bukan panacea (obat pelipur lara). Pernyataan itu untuk menegaskan bahwa keberadaan sains itu sebagai proses, yang baginya dalam perkembangan zaman perlu terus dibangun filsafat sosial untuk mengerti, memahami, dan menyikapi secara mendalam akan perubahan-perubahan yang termunculkan.[]