Banyak Hadis Nabi yang menjelaskan bahwa diam dan mendengar itu lebih baik daripada bicara buruk. Misalnya Hadis yang populer ini, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Lantas mengapa Allah menciptakan dua telinga dan satu mulut (jika kita berpotensi untuk banyak bicara)? Itu artinya kita diminta untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara. Mendengar membutuhkan kerendahan hati, meluangkan waktu untuk memahami, karena insting dasar manusia itu egoistis dan mempunyai keinginan untuk selalu didengarkan.
Mendengar memang kadang-kadang bahkan sering sangat melelahkan, sebab melibatkan hati dan emosi. Mendengar berarti memfokuskan perhatian kepada orang lain yang berbicara dan menafikan diri kita, ego kita. Mendengar berarti siap mendapatkan masukan dan mampu meningkatkan empati. Itulah mengapa berbicara lebih mudah daripada mendengar, karena berbicara lebih menunjukkan ego kita.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah saat ini diam merupakan pilihan yang tepat di tengah-tengah dunia yang berisik? Banyak orang yang tidak mempunyai keilmuan cukup yang tampil di wilayah-wilayah publik dan menyesatkan masyarakat awam. Mereka menyampaikan perkara hukum tanpa didasari ilmu (hukum) agama yang baik dan bahkan memanfaatkan agama untuk kepentingan pribadi dan golongannya.
Mungkin zaman dulu diam itu emas tapi saat ini diam bukanlah sebuah pilihan. Gus Mus pernah berkata, “Sekarang sudah tidak zamannya lagi diam itu emas, yang waras (sehat) itu jangan ngalah (mengalah)”. Dawuh gus Mus ini tidak muncul begitu saja tanpa adanya asal-muasalnya, namun dipicu oleh banyaknya orang-orang yang tidak berilmu dan sangat berisik serta membuat sesak ruang-ruang publik.
Gus Kafabih Mahrus Lirboyo juga berkata, “Kalau kita yang dari pesantren itu diam, berarti memberi kesempatan orang lain bergerak”. Kalau sudah demikin, berarti alumni pesantren harus turun gunung ikut mewarnai dunia maya dengan narasi-narasi Islam yang damai dan santun.
Data terbaru menunjukkan, mayoritas media dalam jaringan masih dikuasai oleh media “garis keras”, dan hanya nuonline.or.id yang mampu bersaing di top ten, disusul oleh islami.co di urutan ke sekian. Sungguh hal ini adalah kenyataan yang miris di tengah-tengah menjamurnya alumni pondok pesantren yang tersebar di seluruh penjuru nusantara.
Lantas ke mana alumni pondok pesantren yang ribuan bahkan jutaan itu? Jangan salahkan wajah-wajah muslim Indonesia akhir-akhir ini yang diramaikan dengan wajah “marah”, jauh dari adat-istiadat Nusantara yang santun dan menyejukkan, karena mayoritas generasi sekarang belajar agama melalui media-media daring “garis keras”.
Memaknai Ulang Konsep Tawadhu
Ketika salat berjamaah atau melakukan ibadah lainnya, kita biasanya mempersilahkan orang lain untuk mengimami, karena hal ini merupakan tradisi santri yaitu tawadhu. Tawadhu berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti rendah hati dan merupakan salah satu akhlakul karimah bagi seorang muslim.
Namun, diakui atau tidak, tawadhu mempunyai beberapa kelemahan. Sikap yang sejatinya mulia itu tampak seperti sikap minder, tidak percaya diri, merasa orang lain lebih hebat, kurang berani berpendapat, dan hal-hal senada lain. Padahal rendah hati sangat berbeda dengan rendah diri, bukan?
Ada satu cerita. Pernah suatu hari kang (seorang) santri berada di stasiun dan mau bepergian ke luar kota. Kang santri mempersilakan orang lain untuk menjadi imam salat magrib. Ternyata imamnya tidak bisa membaca alfatihah dengan fasih dan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid. Barulah setelah kejadian itu, kang santri memberanikan diri menjadi imam salat ketika berada di tempat-tempat umum seperti bandara, stasiun, dan terminal. Rupanya para santri ini harus disundul dulu baru mau tampil.
Santri dididik bertahun-tahun untuk mempelajari ilmu agama dari guru mulia yang mempunyai sanad keilmuan bersambung (muttasil) dan otoritatif. Maka jika para ulama dulu berjuang mengorbankan nyawa mengangkat senjata untuk merebut kemerdekaan Negara Republik Indonesia, maka sudah saatnya santri mengisi kemerdekaan dengan berjuang menulis dan meramaikan dunia maya, dunia daring dengan narasi-narasi damai, santun, serta menjadi rujukan utama untuk belajar agama.