
Parenting merupakan istilah yang belum begitu lama muncul sebagai terapan ilmu mengasuh anak yang baik dan benar. Maka untuk menyesuaikan tuntutan zaman, KH. Thoha Muntaha yang juga merupakan pengasuh Balai Pendidikan Utama Islam (BPUI) Minhajut Thullab Krikilan, Glenmore, Banyuwangi menyusun sebuah kitab bertemakan parenting dalam perspektif Islam dengan judul “Al Widad, fii Tarbiyah Al Aulad”.
K.H Thoha Muntaha merupakan putra ragil dari 9 bersaudara pasangan KH. Abdul Mannan bin Ilyas dan Ny. Umtiyatun (istri kedua) yang lahir pada tanggal 15 September 1962. Setelah menimba ilmu kepada abahnya yang juga dikenal sebagai pendiri Ponpes Minhajut Thullab, Sumberberas, Muncar, Banyuwangi. Kiai Thoha kemudian meneruskan rihlah ilmiyah-nya ke Pesantren Ploso yang kala itu diasuh oleh KH. Jazuli Utsman, kemudian beliau ikut serta bersama kakaknya KH. Fachruddin Mannan guna menimba ilmu di Mekkah kepada para ulama’ di sana, seperti Abuyya Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al Maliki. Pada akhir kata kitab “Al Widad”, Kiai Thoha juga menyebutkan guru beliau yang lain, seperti KH. Ma’shoem Ahmad Lasem.
Adapun karya-karya Kiai Thoha selain daripada kitab “Al Widad” antara lain : Aqidah As – Salimah (Tauhid), Metode Miftahut Thullab (Cara Cepat Membaca Kitab Kuning), Bittuqo (Metode Baca Tulis Al – Qur’an), Ngaji Sains Qur’ani, Kamus Al – Qur’an Informatif, At Tibyan lii Ahkam Huruf Al – Qur’an, Nadzam Aqa’id As Shahihah, Nadzam Al – Qawa’id Ad – Diniyah, dan karya terbaru beliau Al Kaafi fii Tafsir Surah Al Kahfi.
Pada muqoddimah kitab Al Widad ini, Kiai Thoha memaparkan tentang urgensitas mendidik anak berbasis nilai – nilai Islami berdasarkan dalil yang termaktub dalam Al – Qur’an dan As – Sunnah serta kecanggihan teknologi. Kitab ini tersusun menjadi 24 bab yang terdiri atas beberapa sub bab sebagai berikut: fase dalam mendidik anak / marhalah al athfal (dibagi menjadi 4 sub bab yang terdiri dari fase ibu sebagai madrasah pertama bagi anaknya, fase anak untuk belajar kepada ayahnya, fase menjadikan anak sebagai partner, dan fase anak bersosialisasi dengan sesama). Kemudian bab selanjutnya membahas tentang macam – macam orang tua, lalu dilanjut bab tentang kedudukan seorang ibu untuk berbakti kepadanya, kemudian dilanjut fase anak berbuat baik kepada orang tuanya / birrul walidain, dilanjut bab cara bersyukur atas hadirnya orang tua, lalu bab ridha kepada orang tua, dan bab madrasah cara mendidik dan mengajari anak.
Dalam bab ini, Kiai Thoha membagi pembahasannya menjadi 5 sub bab, dimulai dengan madrasah yang pertama atau madrasah ibu. Pada madrasah pertama ini, ibu mendapat porsi paling awal dikarenakan ibu di dalam Al – Qur’an merupakan sosok yang telah mengandung dan melahirkan seorang anak. Kiai Thoha dalam bab ini mengisahkan kesuksesan Imam Syafi’I dalam menimba ilmu berkat tarbiyah atau didikan dari ibunya, dikarenakan sejak dalam kandungan ayahnya telah berpulang dahulu ke hariban Ilahi. Selain itu karena mendapat porsi yang awal, posisi perempuan ketika menjadi ibu menurut dr. Aishah Dahlan memiliki keunikan tersendiri, seperti ketika tahun pertama pasca persalinan seorang ibu bisa kehilangan waktu tidurnya dalam 7000 jam. Walaupun kehilangan waktu yang demikian seorang ibu ternyata tetap kuat dan sigap demi bayinya.[1]
Menginjak sub bab madrasah kedua yakni madrasah ayah, yang mana ayah memiliki tugas dan peran penting dalam mendidik anak. Ayah memiliki peran besar dalam mendidik seorang anak di bidang penanaman aqidah, mengajarkan anak agar menjadi seseorang yang selalu bersyukur, mengajarkan komunikasi yang baik dengan kedua orang tuanya, mengajarkan beribadah hingga mencapai derajat ihsan, mengajarkan kepada anak untuk beribadah secara istiqomah, dan mengajarkan akhlak yang mulia. Beberapa tugas ayah tersebut tercermin dalam QS. Luqman : 12 – 19 tatkala Luqman Al – Hakim menasehati anaknya.[2] Maka selaras dengan yang dikatakan oleh dr. Aishah Dahlan bahwa peran ayah dalam mendidik anak adalah sebagai pembangun sistem berpikir dengan tantangan dan penegak profesionalisme.[3]
Kemudian memasuki madrasah ketiga yakni madrasah ta’lim atau belajar, dimana seorang anak dididik sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabiyullah Khidir ketika memberikan pengajaran kepada Nabiyullah Musa. Madrasah yang ketiga ini menurut Kiai Thoha merupakan bentuk pengaplikasian pendidikan berbasis sekolah yang artinya suatu ilmu hendaknya dipelajari dengan gurunya. Menginjak madrasah keempat, yakni madrasah pergaulan. Dimana pergaulan memiliki dampak dalam membangun aspek kepribadian seorang anak yang hendaknya patut untuk selalu diperhatikan oleh orang tua. Dalam hal ini, Kiai Thoha memberikan gambaran tentang sosok Gito Rollies, vokalis band rock “The Rollies” yang mendapatkan hidayah dari Allah tatkala ia sedang berlibur di Puncak dan memperhatikan orang – orang di desa tersebut hendak menunaikan shalat Jum’at. Pada akhirnya Allah membukakan pintu hidayah baginya dan ia kemudian beralih menjadi seorang aktivis dakwah. Tak lama, iapun diuji dengan sebuah penyakit dan kemudian ia wafat ketika berdakwah di Padang, Sumatera Barat.
Memasuki madrasah kelima, yakni madrasah teknologi. Dimana kecanggihan teknologi menurut Kiai Thoha dapat memberikan sebuah pengaruh, gaya hidup yang serba cepat, dan dilandasi dengan prisip rasionalisme dan profesionalitas. Bab selanjutnya membahas tentang metode belajar yang mana dalam metode ini dibagi menjadi 3 sub bab antara lain : dengan perantara kitab atau dengan membaca, kemudian dengan metode hikmah atau mengambil keteladanan dari seorang pengajar / muallim, dan dengan metode tazkiyah atau pembersihan diri dengan melanggengkan perkara sunnah seusai melaksanakan perkara wajib agar seorang anak menjadi orang yang benar – benar bertaqwa kepada Allah. Waba’du, kiranya kitab yang telah selesai ditulis pada tanggal 06 Syawwal 1443 H / 07 Mei 2022 dapat menjadi pegangan para orang tua dalam mendidik anaknya. Wallahu a’lam.
[1] Aishah Dahlan, “Maukah Jadi Orang Tua Bahagia”, (Jakarta : Pustaka Elmadina, 2022), halaman 89.
[2] KH. Thoha Muntaha, “Al Widad fii Tarbiyah Al – Aulad”, (Banyuwangi : Pustaka Minhajut Thullab, 2022), halaman 35 – 38.
[3] Aishah Dahlan, “Maukah Jadi Orang Tua Bahagia”, (Jakarta : Pustaka Elmadina, 2022), halaman 72 – 73.