Tirakat, pada dasarnya, adalah berpantang. Seseorang yang menjalankan laku tirakat akan berpantang pada banyak keinginan (hawa nafsu)-nya. Orang berpuasa juga melakukan itu, misalnya puasa bicara, tidak makan yang berselera, dll.
Dulu, orang bertirakat di dalam gua atau di tempat yang sepi, berpantang tatap dengan manusia, manahan diri banyak banyak hal, seperti tidak berinteraksi dengan orang sekitar. Tujuannya banyak, misalnya agar tidak menggibah, hidup ugahari, menyendiri dari syahwat badani, tafakur dan wiridan, dll.
Semua laku itu punya tujuan satu, yakni kebahagian. Bertirakat yang sepintas justru tampak lebih dekat dengan hidup sengsara kok bisa dianggap salah satu jalan menuju kebahagiaan? Mampu menghindari kebahagiaan yang notabene bersumber dari kesenangan syahwatiah (seperti makanan, seksual, kekayaan) justru merupakan kebahagiaan itu sendiri, mampu bertahan dari selera orang kebanyakan.
Buah tirakat adalah kamatangan dalam pemikiran dan kematangan jiwa. Dengannya, seseorang tidak akan mudah goyah. Ia berpendirian, berprinsip, dan punya elan dalam hidup. Dengan tirakat, seseorang akan kokoh dalam badai apa pun, termasuk badai rumah tangga, yaitu pusaran badai paling besar di dalam hidup manusia. Tirakat dianggap mampu menyelesaikan banyak persoalan hidup manusia, bahkan nyaris semuanya.
Saat ini, dengan melimpahnya kemudahan dari semua sisi hidup manusia, jarang, bahkan nyaris, tidak ada orang yang berselera untuk laku tirakat. Bagaimana mungkin beritarakat dari serbuan minyak jenuh jika gorengan ada di mana-mana? Bagaimana mungkin bertirakat dari godaan syahwat badani jika sufur ada di mana-mana? Bukan tidak mungkin, tapi jelas berat menjalaninya.
Di dalam Islam, poin-poin di atas terdapat dalam tasawuf. Sikap ugahari, tawadu, dan bersikap sederhana adalah kunci utamanya. Ia dibahas dalam semua kitab tasawuf. Akan tetapi, saat ini, semua itu tampak bagaikan teori saja. Lalu, bagaimana cara kita menerapkannya? Apakah semua konsep itu bisa dipraktikkan?
Sebetulnya, tasawuf tidak melulu soal hubungan kita “ke atas”, tapi juga hablun minan nas, yaitu “hubungan mendatar” atau “hubungan ke samping” yang ujung-ujungnya juga mengarah “ke atas”. Maka, sejauh ini, dalam hemat saya, tirakat dapat dimulai dari jalan raya sebab di sanalah interaksi antar-manusia yang paling banal, paling brutal, dan paling lengkap berlangsung. Di sana kita berpapasan dengan orang-orang yang berbeda, setiap hari, dengan yang saleh dan jahat dalam waktu yang bersamaan. Jalan raya adalah tempat mengaji dan menguji level keberimanan manusia.
Sebagaimana diketahui, saat ini, kesemrawutan jalan raya telah mencapai puncaknya. Seolah-olah, jika dilihat sepintas, nyaris tidak ada seorang pun yang benar-benar taat di jalanan. Pelanggaran terhadap rambu-rambu maupun terhadap pengguna jalan yang jalan nyaris terjadi setiap detik, seakan-akan ia tidak tampak lagi sebagai suatu pelanggaran lagi. Agoransi ada di mana-mana. Akibatnya adalah bagitu banyaknya kecelakaan di jalan sehingga membuat “laka lantas” menjadi perenggut nyawa di deretan atas, bersama serangan jantung, diabetes, dan TBC.
Mari kita buktikan! Lihat keberadaan seorang abid (ahli ibadah) saat pindah ke belakang kemudi. Wataknya bisa langsung berubah. Lihat orang yang sangat sopan kepada orangtuanya dan takzim kepada gurunya, tapi begitu naik ke atas sadel motornya, watak jahatnya langsung muncul. Mengapa kesalehan yang mestinya mendarah daging di dalam tubuh hanya muncul secara parsial, hanya setengah-setengah saja, hanya saat di masjid, hanya saat di hadapan orang tua, atau bahkan hanya di atas mimbar saja?
Jawabanynya adalah; sejauh ini, kita menganggap pengalaman berinteraksi dalam keseharian itu bukanlah bagian penting dari hubungan antara ibadah dan kemanusiaan. Ibadah dipandang hanyalah semata-mata hubungan manusia dengan Tuhan. Bisa jadi, raibnya materi pelakaran akhlak di sekolah dan madrasah adalah penyebabnya. Akhlak hanya dianggap sumpal bagi bolong yang besar, padahal dampaknya berterima pada watak siswa dan produk pendidikan secara menyeluruh.
Mari kita mulai memikirkan ulang, bagaimana praktik kita di jalan raya. Mari kita menguji diri kita sendiri. Saya mengajukan empat butir konsep untuk pengujian dasarnya.
Pertama, “mengemudi bertahan” alias defensif. Sikap ini mengharuskan kita tidak ambisius, tidak mengendepankan “yang penting benar”, melainkan “yang penting selamat dengan cara mengalah”. Bukankah mengalah itu tindakan utama untuk hal-hal di luar ibadah? Kalau direnungkan, konsep defensive driving ini adalah ejawantah daripada kaidah
الإيثار في القرب مكروه وفي غيرها محبوب
“Dalam urusan ibadah, mendahulukan orang lain itu makruh, sedangkan dalam urusan lainnya adalah disukai (baik)”
Kedua, “tidak melanggar aturan sama sekali”. Ini latihan berat karena kita wajib taat dalam keadaan tidak ada seorang pun, sama persis dengan kesadaran keberimanan. Kita wajib berhenti di saat lampu merah, baik ada petugas ataupun tidak, baik ada ETLE atau tidak. Hal ini sesuai dengan konsep الوفا بالعهد (alwafa bil-‘ahdi) yang kita pegang sebagai warga negara yang telah meneken kontrak dengan Negara untuk menjadi warga yang baik.
Ketiga, “tempuh jalanmu sendiri”. Contohnya adalah; saat kita melalui ruas jalan yang rusak di lajur kiri, bertahanlah tetap di kiri meskipun tidak ada kendaraan lain di lajur kanan. Sebab, pada saat itu, hak kita adalah berada ada di lajur kiri dan lajur kanan adalah hak orang lain. Jika kita terbiasa “cari enaknya saja”, kebiasaan tersebut akan menjadi atomic habits, kebiasaan kecil yang nanti akan mendarah daging, yang bekerja di alam bawah sadar, sehingga ketika menghadapi suatu kondisi terdesak, spontan kita akan mengambil hak orang lain tersebut meskipun dalam situasi membahayakan bagi orang lain tapi nyaman bagi diri sendiri.
Keempat, “tidak mengganggu orang lain dalam berbagai kondisi”. Ini adalah butir pamuncak dalam latihan tirakat. Dengan prinsip ini, kita tidak akan pernah parkir sembarangan, bahkan melakukannya dengan penuh pertimbangan, seperti tidak parkir di badan jalan meskipun tidak ada rambu larangan parkir di situ jika di sisi seberang jalannya ada kendaraan lain yang juga sedang parkir; atau tidak parkir di bahu jalan jika ekor kendaraannya off-side alias terlalu dekat dengan badan jalan; tidak meletakkan material atau cone atau benda apa pun di badan jalan, termasuk tidak menghalang-halangi arus lalu lintas dalam apa pun bentuknya karena semua orang yang melintas mempunyai haknya masing-masing, yaitu حق المرور (haq al-murur).
Dengan empat model tirakat ini, insya Allah kita telah masuk ke dalam kawah tirakat, meskipun sejatinya hal itu belumlah cukup disebut tirakat. Ia hanyalah perilaku taat. Akan tetapi, di jagat yang serba-semrawut ini, berbuat taat saja tampak seperti tirakat dan berperilaku maksiat lama-lama dianggap biasa dan fiat.