Sedang Membaca
Jelajah Pesona Keilmuan di Chinguetti
Kholili Kholil
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan, Jawa Timur.

Jelajah Pesona Keilmuan di Chinguetti

Di ujung Afrika Barat, terdapat sebuah negara yang barangkali kita akan mengerlingkan mata ketika mendengar namanya: Mauritania! Di balik keasingannya, tersimpan khazanah Islam yang indah.

 

Abdullah bin Bayyah adalah salah satu tokoh Islam kontemporer yang berasal dari negri Mauritania ini. Layaknya pemuda Mauritania lainnya, ia jago bersyair juga menguasai empat mazhab utamanya Mazhab Maliki, dan menjadi rujukan di bidang maqashidus syari’ah.

 

Beberapa waktu yang lalu, tanah Mauritania sempat berduka lantaran Lamurabit al-Hajj Waladu Fahwu, seorang alim, zuhud, dan penerus generasi salaf di masa modern wafat. Para ulama besar silih berganti mengucapkan bela sungkawa kepada ulama yang rumahnya beralaskan pasir Sahara dan atapnya hanya berupa rumput tanpa rupa.

 

Adapula tafsir fenomenal Adhwa’ al-Bayan yang disusun oleh Amin al-Shinqithi. Begitu juga dalam biografi KH. As’ad Syamsul Arifin termaktub salah satu nama guru beliau Syekh Syarif Syinqith. Mauritania? Seperti apakah dia?

 

Mauritania adalah salah satu negara miskin Afrika. Ia berdekatan dengan Maroko, West Sahara, Mali, dan juga Senegal. Meski berada di Afrika, penduduk aslinya tidak berkulit hitam. Kulit mereka serupa dengan orang-orang Maroko dengan hidung yang khas.

 

Penduduk Mauritania, khusunya daerah Chinguetti (baca: Syinqith/شنقيط) terkenal memiliki hafalan yang kuat. Sebuah cerita sedikit berlebihan pernah disampaikan oleh Ibrahim al-Hasani al-Syinqithi dalam Thariqah Hifzhil Qur’an ‘indasy Syanathiqah.

 

Baca juga:  Buku dalam Benak Ibnu Khaldun

Seorang pemuda hendak membeli al-Qamus, namun sebelum membeli ia mohon izin untuk membacanya terlebih dahulu. Lama ia membaca lalu mengembalikannya dan berkata bahwa ia tidak jadi membeli karena sudah hafal. Cerita ini—entah benar atau tidak—setidaknya memberi gambaran bahwa memang orang Mauritania memiliki hafalan yang kuat.

 

Dalam History of Mauritania, Dr. Hamahullah menyebutkan bahwa Chinguetti dahulu adalah nama untuk seluruh teritori Negara Mauritania saat ini. Chinguetti sendiri adalah nama sebuah daerah di jantung Mauritania yang masuk dalam wilayah Adrar. Wilayah ini dibebaskan oleh kaum Muslim pada sekira abad 12-13.

 

Saat itu, didirikan Masjid Jami’ Chinguetti yang hingga hari ini masih bertahan dan menjadi situs warisan UNESCO. Di kota Chinguetti ini juga masih bertahan perpustakaan-perpustakaan kuno yang dimiliki secara pribadi oleh masing-masing keluarga di sana. Banyak sekali manuskrip kitab yang berusia berabad-abad tersedia di sini.

 

Di masa lalu, terdapat tiga komunitas besar di Chinguetti yaitu Bani Hassan (tentara), saudagar, dan Zawaya (ahli ilmu). Zawaya adalah penyambung lidah tradisi belajar di negara ini. Proses belajar mengajar di Chinguetti dari dulu dan yang masih berlangsung hingga sekarang adalah metode lauh, yakni para murid menulis di papan dan harus hafal. Tak heran jika masih umur di bawah sepuluh tahun banyak yang sudah hafal Alquran dan kitab-kitab matan penting bahkan syair Arab kuno. Metode lauh ini sebenarnya adalah metode yang umum digunakan di Afrika Barat.

Baca juga:  Selawat Habib Syekh Dihadiri NU, Muhammadiyah, hingga Katolik

 

Namun Chinguetti memiliki perbedaan. Ahmad bin al-Amin dalam Al-Wasith fi Mu’jami Udaba’ Syinqith menulis bahwa proses belajar mengajar di Chinguetti dimulai sejak kecil. Sejak itu mereka diajari berhitung dan menulis. Setelah cukup besar, mereka akan pergi ke seorang guru yang letaknya mungkin sedikit jauh dari rumahnya. Terkadang mereka yang sedikit mampu secara materi akan berangkat membawa seekor sapi atau unta yang bisa diperah.

Di pagi hari mereka mencatat pelajaran dari gurunya dan di siang hari, saat mereka mengembala sapinya, mereka akan mengulangi kembali apa yang sudah diajarkan sang guru. Kemudian mereka juga harus mencari kayu bakar di tengah gurun untuk digunakan sebagai penghangat dan penerangan di malam hari. Penerangan ini mereka butuhkan untuk, lagi-lagi, mengulang pelajaran yang sudah diajarkan oleh guru mereka.

 

Keesokan harinya, mereka harus menghapus lauh atau papan yang sudah digunakan menulis pelajaran kemarin untuk digunakan mencatat pelajaran hari ini. Dan di hari itu juga mereka harus menyetorkan hafalan pelajaran kemarin ke guru mereka. Yang lebih ajaib lagi, para guru mereka mengajar juga dengan menggunakan hafalan yang sudah didapat semenjak muda.

 

Hal ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun. Tentu saja proses ini tidak berlaku untuk pelajaran kitab yang berjilid-jilid—meskipun ada saja di antara mereka yang hafal kitab-kitab besar itu. Salah satu kitab yang diajarkan secara hafalan adalah matan-matan fikih Mazhab Maliki beserta syarah-syarah ringkasnya, Alfiyyah serta matan berupa nazham lainnya, dan kumpulan diwan-diwan penyair kuno.

 

Baca juga:  Warna Islam dalam Tradisi Lokal

Ahmad bin al-Amin juga menyebutkan, kadang metode yang ditempuh orang Chinguetti untuk mengajar adalah sembari berjalan menaiki onta dan murid-muridnya mendengarkan sambil berjalan di belakangnya. Hal ini dilakukan di tengah luasnya Padang Sahara. Barangkali hal ini dilakukan untuk menghilangkan penat. Tidak jauh dari tempat para penduduk, mereka membangun perpustakaan yang sudah berdiri sejak 3-4 abad yang lalu. Mereka hanya membangunnya dari tanah liat dan bebatuan gurun. Di dalamnya terdapat manuskrip naskah kuno yang banyak di antaranya belum dicetak.

 

Terlepas dari itu, perpustakaan-perpustakaan kuno yang ada di Chinguetti sejatinya butuh perawatan lebih lanjut. Banyak sekali naskah-naskah (makhthuthat) yang butuh perhatian lebih. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka melestarikan ilmu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top