More than anyone else, he [Merle Ricklefs] was the reason that I have spent the past three decades of my life studying Indonesian Islam. (Lebih dari siapa pun, dialah yang membuatku menghabiskan tiga dekade terakhir ini mempelajari Islam Indonesia). (Greg Fealy)
“Dear Mas Hadi, …kondisi kesehatan saya cukup memprihatinkan tapi saya masih berjuang terus!” demikian penggalan kalimat Pak Merle, panggilan akrab Prof Merle Calvin Ricklefs, dalam emailnya persis sebulan lalu, 30 November 2019.
Seminggu sebelumnya, saya menulis email pendek untuk Pak Merle, menanyakan kondisi kesehatannya. Email seperti itu agak sering saya tulis, lebih-lebih setelah beliau memasuki masa pensiun sebagai profesor. Kami agak sering ngobrol ringan melalui surat elektronik.
Akhir tahun lalu, saya mengabarkan kepadanya bahwa saya dan keluarga akan tinggal selama beberapa tahun di Perth, Australia Barat. Seperti hampir terjadi pada setiap korespondensi saya dengan beliau selama hampir lima belas tahun, kecuali email terakhir beliau di atas, Pak Merle adalah tipe pribadi yang quick response dalam membalas email.
Sehari setelahnya, dengan tata bahasa dan diksi yang masih sangat runtut, Pak Merle menulis, “Memang Perth dan Melbourne cukup jauh satu sama lain –kira-kira 2700 km kalau tidak salah. Kalau nanti ada kesempatan untuk berkunjung ke Melbourne, harapan saya kita bisa berjumpa lagi.”
Tulisnya lagi di akhir emailnya, “Kesehatan saya lumayanlah. Rupanya kanker saya tidak lagi (bisa) dikendalikan. Hari ini kami akan berkonsultasi dengan seorang (dokter) spesialis –mungkin saya harus menerima chemotherapy lagi.”
Dua hari menjelang Natal yang lalu, saya mengirim email ucapan Natal dan Tahun Baru untuk beliau. Belum ada balasan. Saya menduga kondisi kesehatan beliau semakin menurun. Sampai akhirnya siang tadi kita mendengar kabar sedih bahwa Pak Merle telah mangkat di usia 76 tahun. Selamat, jalan Pak Merle!
Lika-Liku Riset Islamisation and Its Opponents
Sirkulasi berita meninggalnya Pak Merle cepat tersebar, menghiasi banyak dinding media sosial hari ini. Kolega, sahabat, dan mahasiswa yang pernah dibimbingnya banyak menulis catatan yang mereka bagikan.
Saya sendiri bukan di antara mahasiswa Pak Merle, tidak pernah mengambil kelas beliau dalam perkuliahan formal. Perkenalan saya dengannya terjadi pada medio tahun 2005. Saat itu saya melamar sebuah program pertukaran pemuda muslim Australia-Indonesia (Australia-Indonesia Muslim Exchange Program). Kebetulan, Pak Merle menjadi salah pewawancaranya.
Setelah urusan wawancara program selesai, saya menjemput Pak Merle di penginapannya untuk kami ajak diskusi lesehan. Sepanjang perjalanan kami mulai ngobrol banyak, salah satunya tentang catatan sejarah Jawa modern dari Kediri, daerah saya lahir dan dibesarkan.
Obrolan tidak berhenti di situ. Pada satu projek penelitian sejarah, Pak Merle mengundang saya untuk menjadi bagian dari tim peneliti. Temanya bikin saya mengernyutkan dahi: sejarah sosial Jawa modern, dengan fokus polarisasi masyarakat Jawa, khususnya untuk studi kasus di Kediri, Jawa Timur.
Awalnya, saya canggung untuk menerima tawaran itu. Saya merasa tidak pernah dididik di bangku kuliah jurusan sejarah, sementara beliau punya banyak mahasiswa lain atau kolega yang menjadi dosen sejarah di Indonesia yang mungkin lebih bisa membantunya.
Pak Merle meyakinkan bahwa penelitian ini tentang sejarah sosial kontemporer, semacam sosiologi agama yang dekat dengan disiplin kajian saya. Beliau menyebut sisi-melik aspek kesejarahan menjadi tanggung jawabnya. Singkat cerita saya kemudian menerima tawaran itu, tentu sambil harus banyak belajar darinya maupun dengan membaca buku.
Saya masih ingat persis Pak Merle memberikan ‘kuliah’ tentang dasar-dasar ilmu sejarah kapada saya di mobil saat perjalanan dari Yogyakarta menuju Kediri, misalnya mengenai perbedaan antara ‘peristiwa sejarah’ dan ‘fakta sejarah’.
Dalam proses penelitian, akhirnya sesekali saya memberanikan diri membuka arsip-arsip tahun 1950-1970an di kantor Arsip Nasional di Jakarta, Perpustakaan Nasional di Jakarta, dan perpustakaan keluarga Tan Khoen Swie di Kediri. Di Kediri, saya juga dibantu teman baik saya, Imam Subawi, seorang jurnalis lokal.
Selain Kediri, satu tim lain dibentuk untuk studi kasus di Solo, dikoordinatori oleh sejarawan dari UNS, almarhum Pak Soedarmono. Meskipun tidak semendalam kajian tentang Kediri dan Solo, program penelitian ini kemudian juga mengkaji Yogyakarta, Surabaya, dan Kudus.
Dukungan kelembagaan terhadap penelitian tersebut tidak selalu berjalan mulus. Baru berjalan sekitar dua tahun, University of Melbourne menutup The Melbourne Institute for Asian Language and Societies (MIALS) yang menaungi penelitian tersebut. Saya masih ingat persis bagaimana Pak Merle sangat kecewa terhadap keputusan kampusnya saat itu.
Tak menyerah, akhirnya Pak Merle menemukan jalan keluar. Penelitian tentang sejarah sosial Jawa kontemporer berhasil diboyong ke The Research School of Pacific and Asian Studies (RSPAS), Australian National University, Canberra.
Sekitar dua tahun berikutnya, karena programnya di RSPAS selesai, sementara pencapaian penelitiannya belum memuaskan, Pak Merle meminta dukungan Asia Research Institute (ARI) dan National University of Singapore (NUS) untuk membantu penyelesaian penelitian itu.
Sampai di sini, kita bisa banyak belajar betapa untuk menulis sebuah buku saja dibutuhkan riset selama tidak kurang dari lima tahun. Di Singapore, akhirnya Pak Merle merampungkan buku ketiga dari trilogi sejarah Jawa modern, jika boleh saya sebut demikian, dengan judul Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c. 1930 to Present yang diterbitkan oleh NUS Press tahun 2012 yang materinya dari riset di atas.
Dua buku sebelumnya, di luar program penelitian di atas, adalah Mystic synthesis in Java: A history of Islamisation from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries, terbit di Eastbridge tahun 2006 dan Polarising Javanese Society Islamic and Other Visions (c. 1830-1930) yang diterbitkan Brill tahun 2007.
Tentu selain tiga buku itu, masih banyak buku dan artikel Pak Merle yang menjadi sumbangn penting kajian sejarah Indonesia, sejarah Jawa dan sejarah Islam Indonesia.
Tak lama setelah Islamisation and Its Opponents terbit, Pak Merle datang ke Yogya. Sambil ada urusan lain, beliau mengajak saya bertemu dan menghadiahi saya buku itu lengkap dengan tanda tangannya sambil menunjukkan wawancara saya, kajian dokumen, foto-foto lapangan dan bahkan diskusi via email yang beliau ambil sebagai sumber tulisan buku itu.
Saat itu, saya turut senang Pak Merle bisa menyelesaikan buku ketiga itu. Sebab di tengah proses penulisan buku itu Pak Merle mengalami masalah keluarga yang tidak mudah. Beliau dan Margaret, isterinya, sangat terpukul oleh meninggalnya putri yang sangat dicintai. Pak Merle adalah sosok sarjana yang sangat disiplin dalam bekerja.
Gagalnya Politik Islam?
Saya mengenal Pak Merle tidak hanya sebagai sarjana yang tekun dan hangat, namun juga pribadi yang rendah hati. Beliau tak bertepuk dada, meskipun masyarakat akademik menilainya sangat tinggi, karena argumen akademiknya terbangun sangat kokoh.
Setelah cukup banyak blusukan di Kediri (dan daerah-daerah lain) selama beberapa tahun, dari bertemu kiai di pesantren sampai seniman tradisi di lereng Gunung Klotok dan Kelud, dari mewawancarai bupati, pimpinan Gudang Garam sampai ngobrol dengan peziarah di petilasan Jayabaya, Pak Merle berkelakar, “Saya menyerah Mas, riset sosial ternyata jauh lebih kompleks dari riset manuskrip.”
“Sudah, ilmu saya tidak mampu lagi. Ini saat yang baik bagi saya untuk pensiun,” katanya menegaskan.
Saat itu saya tertawa saja menimpalinya, tapi kemudian merenungkan betapa seorang gurunya-guru besar (syaikul masyayikh) dengan rendah hati mau mengakui keterbatasannya.
Sekitar satu bulan lalu, saya mengunggah halaman pertama dari bab 14 “The Islamisation of The Javanese in Three Contexts” dari buku Islamisation and Its Opponents di dinding Facebook. Mengapa? Karena tertarik memperhatikan perkembangan Islam dua dekade pasca Reformasi. Saya merasa penting menjadikan bab buku itu menjadi salah satu pijakan.
Meskipun mengaku kewalahan dengan perkembangan sosial yang diteliti, saya merasa Pak Merle sangat jeli melakukan kritik diri atas bias Barat dalam melihat sejarah Islam Indonesia.
Di bab itu, Pak Merle menyuguhkan analisis terhadap tiga konteks sejarah Islam Jawa: era kolonial, era kontrol totalitarian negara terhadap agama, dan era demokrasi. Era demokrasi ditandai oleh menyebarkan kuasa (power) yang tak tersentral lagi.
Mengakui Islam Indonesia yang tak dapat dilepaskan dari peristiwa global, pada satu sisi Pak Merle mengakui berkembangnya aspek-aspek tertentu dari tesisnya Olivier Roy (1992) dan Gilles Kepel (2000) dalam Islam Indonesia yang memberikan banyak perhatian pada politik, kekerasan dan terorisme. Terorisme menurutnya adalah isu penting, tapi pinggiran dalam konteks masyarakat muslim Indonesia.
Namun pada saat bersamaan Pak Merle menyanggah bahwa Politik Islam di Indonesia telah gagal. Dari dua aspek, politik Islam memang terlihat gagal di Indonesia, yaitu aspek berkuasanya partai-partai Islam dan naiknya kelompok Darul Islam dan Jamaah Islamiyah ke tengah kekuasaan.
Dari studinya tentang Islam Indonesia, Pak Merle menemukan Islam Indonesia memberi pelajaran penting yang berbeda kepada dunia, “Our study of the history of Islamisation among the Javanese has some obvious parallels with these studies… but there are important departures that have implications for our understanding of the global influence of Islam in today’s world” (hlm. 469).
Sebelum bab itu ditutup, Pak Merle menulis satu sub-bab pungkasan yang menurut saya sangat penting: “In the search for the better life: Freedom vs justice”. Diskusi tentang ini terlihat sangat rumit, namun padat dan menakjubkan. Misalnya, ketika bicara tentang konsep keadilan di Jawa, dia merujuk jauh ke belakangan tentang mitologi Ratu Adil yang disandang berbagai tokoh Jawa abad 18 sampai abad 20.
Beliau mengkritik kecenderungan digunakannya teori keadilannya Jahn Rawl yang berlandaskan sistem parlementer yang kokoh di Barat –freedom as the antidote to tyranny– untuk melihat politik Indonesia.
Merujuk pada terma lokal untuk freedom di Indonesia, bebas, atau di Jawa dikenal mardika (dalam Jawa Kuno/ Sanskrit: maharddhika), Pak Merle mengartikan freedom dalam konteks Indonesia sebagai freedom from control –yang sangat berbeda dengan pengertian kebebasan individual di Barat.
Politik Islam Indonesia tidak akan mengarah ke kecenderungan kebebasan individu model Barat. Tapi politik Islam akan berhasil memengaruhi dan merebut kuasa negara, semi-negara dan organisasi-organisasi masyaratkat sipil.
Konsekuensinya ada dua: Pertama, para elit politik akan membiarkan masuknya elit agamawan, organisasi dan agendanya mendominasi ruang publik. Mengenai hal ini kita telah menyaksikan ‘prediksi’ Pak Merle belakangan ini. Kedua, di antara dua filosofi (antara keadilan atau kebebasan) manakah yang akan lebih mempengaruhi masyarakat dan negara yang semakain terislamisasi seperti Indonesia pada masa depan?
Pak Merle meninggalkan bukan saja banyak kenangan bagi orang-orang yang mengenalnya, tapi juga meninggalkan pertanyaan besar di akhir triloginya.