Sedang Membaca
Nalar Bermatematika, Humor, dan Tantangan ke Depan
Amrullah Hakim
Penulis Kolom

Pekerja Migas/listrik dan penikmat kisah-kisah sufistik, tinggal di Jakarta

Nalar Bermatematika, Humor, dan Tantangan ke Depan

Di ruang tunggu bandara di Balikpapan, saya ditanya nomor ponsel oleh salah seorang teman, Afif Saifuddin, “Saya mau kirimi kamu pesan”. Begitu saya buka pesan di WhatsApp, ternyata dia mengirimi saya artikel di harian Kompas hari itu dengan judul “Nalar Bermatematika Gawat”.

Dia lantas bercerita bahwa anaknya ikut “Kumon” bertahun-tahun dengan tujuan utama bukan belajar matematikanya, namun belajar disiplin.

Menurutnya, anak yang nalar matematikanya bagus, lebih bisa diajari untuk berdisiplin. Kebetulan sekali, malam sebelumnya, saya mengajarkan dengan susah payah mengenai perkalian dan pembagian ke Kayla, yang sekarang duduk di kelas tiga SD.

Hasil penelitian yang digambarkan oleh artikel di Kompas ini mengatakan bahwa lebih dari 85% lulusan SD, 75% lulusan SMP, dan 55% lulusan SMA hanya mampu menjawab soal dengan level siswa kelas 2 ke bawah. Hanya sedikit yang bisa memecahkan soal matematika dengan level kelas 4 dan 5. Hal ini membuktikan bahwa tingkat pembelajaran siswa di Indonesia yang rendah dan terus menurun dari tahun 2000 ke 2014, meskipun jumlah siswanya meningkat, 100% untuk SD, SMP naik dari 70% ke 90%, dan SMA menjadi 70% dari 40%.

Padahal jika kita lihat sejarah, kemajuan teknologi Eropa itu melejit ketika Eropa belajar angka Arab atau Islam. Dulunya dengan angka Romawi mereka kesulitan untuk melakukan perhitungan yang rumit. Jika kita bandingkan lagi, di Arab untuk menunjukkan jumlah sesuatu yang banyak, mereka menyebut angka 7. Padahal di Jawa, disebut banyak jika sudah mencapai angka 1000. Jadi orang Indonesia mestinya lebih jago berhitung daripada orang Arab.

Baca juga:  Asal-Usul Islam Puritan (5): Perjumpaan dengan Islam Nusantara (2)

Bonus demografi Indonesia sedang kita nikmati saat ini, menurut majalah Economist pada 27 Oktober lalu, usia median Indonesia adalah 28 tahun. Indonesia dikategorikan sebagai negara muda. Agak menarik sebenarnya jika kita kaitkan antara kemampuan bernalar matematika dengan pengangguran. Angka pengangguran di Indonesia sekarang adalah 5%, namun sebenarnya angkanya jauh lebih tinggi, 16% untuk pengangguran di bawah usia 25 tahun. Walaupun bisa jadi juga rendahnya angka pengangguran ini adalah kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja. Namun saya percaya jika kualitas pendidikan kita baik maka angka pengangguran bisa lebih rendah.

Sidharta Susila, di Opini Kompas dengan judul “Ilalang Pendidikan”, di hari yang sama, 12 November 2018, menulis bahwa generasi yang lebih tua mestinya dapat memberikan contoh pendidikan yang baik yang diibaratkan dengan menaburi benih padi. Namun jika yang ditaburi benih adalah ilalang, maka kualitas pendidikan generasi muda kita akan rendah.

Menurutnya, contoh penaburan benih ilalang pendidikan adalah ketika para calon wakil rakyat dan pejabat mengumbar janji ngawur saat kampanye. Beberapa tahun lalu, saat kampanye pilkada, seorang calon menjanjikan akan menambah jumlah pelajaran dan kegiatan keagamaan dalam dunia pendidikan. Bukan mustahil jika selanjutnya barter kepentingan primordial akhirnya mewarnai dunia politik dan pemerintahan kita. Inilah salah satu potensi pola penetrasi radikalisme dalam dunia pendidikan kita secara sistematis. Pendidikan kita telah dikorupsi saat masih dalam rancangan kebijakan.

Baca juga:  Islam Agama Semesta Raya

Padi pendidikan ini sangatlah penting untuk ditabur saat ini, karena tantangan dunia saat ini lebih besar. Seperti yang dikemukakan oleh Dedy Permadi, di kolom Opini di hari yang sama juga, berjudul “Kesenjangan Talenta Digital Kita”, terdapat laporan yang mengungkapkan bahwa petinggi perusahaan teknologi menyatakan ketidakpuasannya pada kualitas tenaga terampil lokal Indonesia.

Di era disrupsi dan otomasi dunia membutuhkan talenta digital yang memadukan antara kecapakan teknis, tentunya termasuk nalar matematika yang mumpuni dan kepribadian yang matang, karena dalam skala besar, adanya mesin-mesin otomasi akan membuat pekerjaan jadi lebih baik sehingga standar hidup akan lebih tinggi.

Otomasi ini akan sangat mengubah pola hidup kita dari hal yang sangat sederhana. Misalnya, majalah Fortune edisi 1 November 2018, mengatakan bahwa di tahun 2022, manusia sudah kalah rapi dalam menyetrika dan melipat pakaian oleh mesin. Artinya mungkin lima tahun lagi, kita sudah tidak perlu repot-repot lagi untuk menyetrika seperti hari ini, kita tidak perlu repot mencuci baju.

Tentunya nalar matematika, kemampuan teknis dan kemajuan teknologi mesti dibarengi dengan kemampuan humor yang baik. Seperti yang tersebar di media sosial akhir-akhir ini, ketika tiga anak kecil berdiskusi untuk beli makanan, dua anak kecil sepakat untuk beli bakso dan menyuruh kawannya yang lebih kecil untuk berhitung, aku pesan satu, Fadly satu, kamu satu, jadinya berapa?

Baca juga:  Humor Pesantren, dari Kiai Wahab hingga Gus Dur

Kawan yang lebih kecil ini menjawab dua, padahal sudah dibantu dengan berhitung memakai jari tangan. Terus menerus begitu. Ternyata setelah ditanya terus, kenapa kok dua, karena kawan yang lebih kecil ini tidak mau pesan bakso, tapi mie ayam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top