Dalam sebuah akun media sosial instagram, Wafiq Malik, seorang influencer dakwah perempuan populer terlihat sedang mengibarkan bendera merah putih di sebuah spot menarik di atas bukit-bukit Labuan Bajo. Dengan busana muslimah syar’i, lengkap dengan cadar ungu muda yang menjuntai hingga ke bagian dada, ia tersenyum merekah sekaligus bangga dengan identitasnya sebagai Muslimah Indonesia.
“Agama, suku dan ras kita mungkin berbeda. Tapi kita disatukan oleh Tanah Air, bangsa, bahasa yang sama yaitu Indonesia.”
Begitu tulisnya dalam caption media sosial Instagram yang telah diikuti oleh lebih dari 700 ribu followers. Wafiq Malik merupakan salah satu mikro-selebrity yang mengklaim dirinya sebagai influencer dakwah. Sebagai salah satu prototype milenial perempuan yang ber‘hijrah’, ia kerapkali membagikan pengalamannya ketika memutuskan untuk bercadar dan memulai hidup ‘syar’i.
Potret muslimah seperti Wafiq Malik ini menurut beberapa kalangan cukup kontradiktif. Selain bercadar, ia juga dikenal sebagai ikon gerakan hijrah bagi muslimah muda perkotaan. Kehidupan sehari-harinya yang menonjolkan praktek Islam yang kaffah menunjukkan kesalehan ideal yang dibentuk dari konten-konten islami miliknya di media sosial.
Imaji ketaatan dalam beragama tak lantas membuatnya merasa bahwa kedudukan Islam berada di atas negara. Meskipun tidak terlalu sering membagikan pandangannya tentang kebangsaan, namun foto Wafiq di Labuan Bajo sembari mengibarkan bendera merah putih cukup menjadi penanda bahwa menjadi taat beragama tak lantas meredupkan nasionalisme bangsa yang selalu mengedepankan persatuan di atas segala perbedaan.
Pengalaman perempuan dalam beragama dan berbangsa, seperti yang diekspresikan Wafiq Malik di media sosial, perlu mendapatkan tempat dan perhatian di dalam publik luas. Hal ini tak lepas dari keterlibatan perempuan dalam mengkampanyekan nilai-nilai persatuan bangsa yang cukup besar bahkan tercatat dari awal kemerdekaan hingga saat ini.
Relasi hubungan perempuan dan wacana kebangsaan tak hanya menyangkut tentang bagaimana mereka menyuarakan asas-asas kebangsaan yang terangkum dalam Pancasila, namun juga keterlibatan aktif dalam menegosiasikan dan mendefinisikan bagaimana hak-hak perempuan di dalam agama dan negara yang seharusnya dipandang sebagai satu kesatuan utuh. Namun peran perempuan ini acapkali terpinggirkan dalam wacana keagamaan dan kebangsaan secara umum dikarenakan dominasi paradigma mainstream yang masih bias gender sehingga ruang-ruang perempuan semakin menyempit.
Selain itu, fenomena hari ini juga selalu menggambarkan perempuan bukan hanya sekedar dijadikan simbol kesucian dan penanda identitas bangsa dan agamanya, namun perempuan juga kerapkali digunakan dalam politisasi agama dan dijadikan alat politik kepentingan. Keterlibatan perempuan dalam menyebarkan berita-berita hoax, dan juga menjadi buzzer polarisasi yang mengarah kepada perpecahan bangsa cukup tinggi.
Media Baru dan Festivalisasi Nasionalisme
Membincang tentang nasionalisme khususnya dari perspektif perempuan tak lengkap tanpa turut melihat dari bagaimana diskursus ini berkembang, dibicarakan, dan dinegosiasikan oleh muslimah di media sosial.
Media tak hanya sebagai alat untuk berkomunikasi, lebih jauh lagi hari ini media sosial tak ayalnya ruang publik yang dapat mempengaruhi prilaku, wacana keagamaan dan kebangsaan dan menjadi ruang kontestasi baru berbagai otoritas keagamaan untuk mengukuhkan identitas dan ideologi, khususnya dalam mengukuhkan pesan pesan persatuan di tengah gempuran intoleransi dan aksi aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama.
Keikutsertaan perempuan dalam mewacanakan nilai-nilai nasionalisme dan persatuan dapat dilihat dari berbagai platform media sosial. Mulai dari para mikro-selebrity hingga beberapa ulama perempuan. Mereka aktif menggunakan media sosial untuk menyebarkan peran, aktivitas dan pesan-pesan utama untuk mendukung gerakan sosial keagamaan.
KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) misalnya, sebagai organisasi yang baru didirikan pada 25-27 April di Cirebon ini bertujuan untuk memberikan suara alternatif dari ulama perempuan dalam merespon berbagai isu, sosial kemasyarakat, keagamaan dan kebangsaan. Badriyyah Fayyumi, sebagai Ketua KUPI menjelaskan kongres ini diselenggarakan salah satunya untuk merumuskan fatwa dan pandangan keagamaan perempuan Indonesia termasuk dalam merespon fenomena persatuan dan kebangsaan.
Selain KUPI sebagai perwakilan suara perempuan muslim di media sosial, Wafiq Malik merupakan prototype yang juga perlu diangkat dalam tulisan ini. Wafiq Malik merupakan seleb hijrah yang banyak diikuti oleh Muslimah muda pengguna aktif media sosial. Sebagai influencer dakwah ia kerap mengunggah foto-foto dirinya yang bercadar dan disertai kisah-kisahnya ketika memutuskan untuk berhijrah. Kisah ini kemudian dijadikan buku Kisahku yang banyak disambut oleh muslimah muda milenial dan Gen Z.
Penampilan Wafiq yang juga digadang menjadi panutan muslimah muda bercadar menonjolkan kehidupannya yang islami nan syar’i. Dalam akun instagramnya, Wafiq kerapkali membubuhi konten konten tentang ajaran formal keagamaan yang tak begitu rumit, yaitu tentang perihal moral khususnya terkait dengan aurat perempuan dalam etika Islam dalam kehidupan sehari-hari tentunya dengan tampilan foto yang menawan dan artistik.
Hal ini memang menjadi ciri khas otoritas baru (pendakwah baru) yang menghadirkan model dakwah baru dalam dinamika dakwah Islam di Indonesia. Narasi dakwah yang dibuat dekat dengan kehidupan sehari-hari, dengan membubuhkan dalil dalil keagamaan dalam menunjang aktivitas kesehariannya. Alih-alih berdakwah dengan cara ceramah dan literatif yang dianggap membosankan oleh kalangan muda, otoritas baru keagamaan baru ini hadir lewat penggambaran subjek yang sempurna.
“Muslimah masa kini harus mempunyai komitmen yang kuat terhadap syariat Islam. Sehingga apapun yang dilakukan muslimah tidak menyimpang dari aturan Allah Swt.” Begitu tulisnya dalam salah satu akun Instagram dengan menampilkan foto Wafiq yang sedang berpose menggunakan setelan baju syar’i dilengkapi dengan cadar yang menutupi sebagian wajahnya.
Narasi tentang perempuan bercadar dalam wacana keindonesiaan kerapkali terpinggirkan. Muslimah bercadar dianggap merepresentasikan pandangan ideologi keagamaan konservatif yang mengancam persatuan bangsa karena keinginannya menerapkan kehidupan Islam yang kaffah dengan mendirikan negara khilafah. Selain itu stigma muslimah bercadar yang dikaitkan dengan aksi terorisme dan kekerasan juga masih menjadi pandangan umum masyarakat kita. Busana yang mereka pakai tidak hanya merepresentasikan keimanan namun juga dianggap merepresentasikan ideologi tertentu yang membahayakan demokrasi dan negara modern kesatuan Republik Indonesia.
Namun penelitian yang dilakukan Siti Ruhaini Dzuhayatin menunjukkan hasil yang berbeda tentang bagaimana muslimah bercadar di Indonesia bernegosiasi mengenai keislaman mereka dan hubungannya dengan negara yang mayoritas beragama Islam.
Penerapan sistem pemerintahan berdasarkan khilafah Islam sebagai tujuan dari politik Islam hanya diterima oleh 52% muslimah bercadar yang mana angkanya jauh lebih sedikit dibandingkan ekspektasi masyarakat umum. Sedangkan pandangan nasionalisme yang dinilai dari kebanggan mereka terhadap negara dan bangsa Indonesia menunjukkan bahwa 20% muslimah bercadar mengatakan kekecewaannya dan tidak bangga dengan Indonesia. Artinya 80% dari jumlah keseluruhan muslimah bercadar di Indonesia menyatakan kebanggaannya menjadi warga negara Indonesia.
Wafiq Malik adalah salah satu representasi dari suara Muslimah bercadar Indonesia yang turut membangun interpretasi bahwa keagamaan dan kebangsaan tidak selalu dihadap-hadapkan. Meskipun dalam kesehariannya nilai-nilai keislaman kaffah selalu dimunculkan untuk khalayak, namun konsep tentang persatuan negara bangsa tetap menjadi prioritas yang menjadi bagian penting dalam perjalanannya sebagai muslimah yang taat. Seperti yang ia tuliskan dalam salah satu konten di instagram di hari Kemerdekaan Republik Indonesia beberapa saat lalu, bahwa “Agama, suku dan ras kita mungkin berbeda. Tapi kita disatukan oleh Tanah Air, bangsa dan Bahasa yang sama yaitu Indonesia”.
Suara Alternatif
Peran muslimah Indonesia dalam mengawal persatuan bangsa tercatat bahkan dari sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa tokoh muslimah maupun organisasi-organisasi perempuan berbasis keagamaan yang turut serta membangun konsep kebangsaan yang menjadi dasar gerakan dan aktivismenya baik di bidang pendidikan, keagamaan, isu-isu perempuan seperti Muslimat NU, Fatayat NU, Nasyiatul Aisyiyah, Rahma El-Yunusiyah dll. Bahkan belakangan partisipasi perempuan muslim dalam merespon dan juga memberikan suara alternatif tentang fenomena sosial keagamaan dan kebangsaan semakin mendapat tempat di masyarakat luas.
Upaya ini bisa dilihat dari munculnya gerakan perempuan berbasis keagamaan yang tumbuh subur pasca reformasi, terlebih dengan kehadiran media baru yang semakin memudahkan gerak dan perjuangan mereka dalam menyebarkan pesan dan juga hasil pemikiran mereka.
Perempuan muslim Indonesia dalam merespon isu isu sosial masyarakat selalu mencari rujukan dari teks keagamaan baik dari Al-Qur’an, sunnah dan hukum Islam. Teks-teks ini kemudian dibawa ke ranah nasional melalui interpretasi ulang agar menemukan relevansinya dalam konteks keindonesiaan.
Misalkan saja ayat-ayat yang dirujuk untuk memberikan legitimasi bahwa menyatukan perbedaan dan menjunjung tinggi persatuan merupakan hal yang sudah dijelaskan dalam alquran dan hendaknya menjadi bagian dari nilai-nilai kehidupan yang terus dijaga. Islam selalu menjadi dasar bagi setiap perubahan atau ijtihad, dan juga rujukan bagi hal-hal baru di masyarakat muslim Indonesia termasuk terkait dengan nasionalisme. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada pertentangan di mata umat Islam tentang agama dan negara. Bahwa Pancasila bisa sejalan dengan Islam tanpa perlu lagi dihadap-hadapkan.
Bahwa sebenarnya gagasan persatuan bangsa bagi muslimah Indonesia merupakan sebuah konsensus yang didasari dari pemahaman yang mendalam tentang Islam dan kehidupan. Menjaga persatuan bangsa berarti juga menjaga agama, begitu juga sebaliknya.
Ekspresi keagamaan mereka untuk menjunjung nilai-nilai perdamaian dan persatuan ditunjukkan melalui aktivismenya dalam merumuskan dan menyebarkan wacana persatuan bangsa dari beragam konteks. Dan suara-suara Muslimah yang ditampilkan di media-media baru tentang kebangsaan dan persatuan bangsa menjadi alternatif wacana sekaligus menjadi kekuatan baru untuk melawan narasi-narasi kekerasan yang bertujuan untuk memecah persatuan bangsa.