Berbicara konsep manusia, penulis fokuskan kepada bagaimana proses penciptaannya, karena bagaimanapun hanya ada dua asumsi dasar mengenai manusia; yakni ia diciptakan atau ada dengan sendirinya. Mengingat pembahasan manusia sangatlah luas, sehingga perlu difokuskan tentang uraian inti dari konsep manusia dan proses penciptaannya. Sebagaimana isi dari QS. al-‘Alaq adalah membicarakan tentang proses penciptaan manusia dari segumpal darah (min ‘alaq).
Teori dan konsep penciptaan manusia dalam perspektif al-Qur’an berbeda dengan teori evolusi sains. Karena al-Qur’an mendekati manusia dengan perspektif nya yang utuh, tidak parsial. Sebab itu mengapa hakikat dari kualitas manusia dalam pandangan al-Qur’an memiliki konsep yang sangat khas dan sentral. Di dalam al-Qur’an sekurang-kurangnya terdapat 34 ayat yang menjelaskan tentang penciptaan manusia dengan merujuk pada berbagai elemen-elemen natural yang memberikan derajat kualitatif pada manusia. (Umar Shihab: 2005, hlm. 104.)
Dari sekian banyak cendekiawan dan ulama Islam, jauh sebelum Darwin yang melakukan penyelidikan dan analisis tentang definisi dan konsep manusia, para cendekiawan Muslim telah mempunyai kesimpulan bahwa manusia diciptakan melalui fase atau evolusi tertentu. Menurut Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an ( 2007: hal. 281), nama-nama seperti al-Farabi (783-950 M), Ibnu Maskawaih (Wafat 1030M), Muhammad bin Syakir Al-Kutubi (1287-1363 M), Ibnu Khaldun (1332-1406 M), dapat disebut sebagai tokoh-tokoh paham evolusi sebelum lahirnya teori evolusi Darwin (1804-1872 M). Kesimpulan dari ulama’-ulama’ tersebut tidak sepenuhnya sama dengan rincian teori evolusi yang dirumuskan oleh Darwin.
Sementara menurut al-Qur’an, di dalam QS. al-Mukminun (23): 12-14, dijelaskan bahwa manusia diciptakan Allah dari saripati tanah, lalu berubah menjadi air mani yang disimpan di rahim, lalu air mani berubah menjadi segumpal daging, terus menjadi lulang belulang, lalu lulang belulang dibungkus dengan daging, akhirnya Allah menjadikan dia sebagai makhluk.
Selanjutnya, surah lain yang menjelaskan tentang proses kelahiran manusia, yakni QS. al-Qiyamah (75): 37-39, menegaskan bahwa Allah menjadikan manusia dari setetes air mani yang ditumpahkan ke dalam rahim kemudian dia menyempurnakannya. Perkembangan mani (nutfah) dalam rahim merupakan masa pembentukan manusia. Karena itu, Allah menyebut rahim sebagai tempat yang kokoh.
Di samping itu, QS. Al-Sajdah (32): 7-9 menggambarkan bahwa Allah mulai menciptakan manusia dari tanah dan air mani yang hina, kemudian meniupkan roh ke dalam tubuh manusia, lantas menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati. Sementara QS. al-Hajj (22): 5 menyebutkan bahwa manusia dijadikan dari setetes mani, kemudian dari sesuatu yang melekat, lalu menjadi segumpal daging yang sempurna dan tidak sempurna, sampai waktu yang telah ditentukan maka lahirlah dia ke muka bumi sebagai seorang bayi.
Merujuk kesimpulan ayat-ayat di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa kualitas kehidupan manusia ditentukan melalui delapan fase kehidupan. Hal tersebut untuk menunjukkan perbedaan proses kejadian manusia secara umum dan proses kejadian Adam A.s. Penciptaan manusia secara umum, melalui proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya, yaitu bapak-ibu. Keterlibatan ibu dan bapak atau mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan psikis anak, sedangkan dalam penciptaan Adam, tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk ibu dan bapak.
Dalam konsep manusia, lalu muncul sebuah pertanyaan, apa dan bagaimana hakikat dari manusia itu sendiri? menurut Musa Asy’ari (1992: hlm. 31), pencarian tentang hakikat manusia tidak bisa berpangku pada pemikiran tentang sesuatu yang menjadi unsur pokok yang menentukan dirinya, seperti dalam pandangan serba materi (materialisme) yang menetapkan materi sebagai unsur pokok yang menentukan kehidupan manusia. Sebaliknya dalam pandangan serba ruh (spiritualisme) menetapkan rohani sebagai unsur pokok yang menentukan kehidupan manusia.
Lanjut Musa Asy’ari, bila merujuk dari kitab suci al-Qur’an, hakikat dari manusia adalah terletak dari amal perbuatannya. Karena amal perbuatan lah yang dapat menentukan arti hidup manusia, baik dihadapan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Sehingga hakikat manusia bukan terletak pada unsur pokok yang membentuk dirinya yaitu jasad, hayat, dan ruh. Amal serta karyanya yang nanti akan dinilai dan diperhitungkan eksistensi nya sebagai hamba Allah (‘abd Allah) dan wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah).
Maka wajar jika dalil-dalil teologis keimanan kita yang mempercayai adanya hari akhir dan hari kebangkitan, menjadikan manusia akan berlomba-lomba melakukan sesuatu yang bermanfaat dan memberikan kemaslahatan, karena percaya terhadap apa yang akan ditanam pasti akan dituai di hari kemudian. Wallahhu a’lam.