Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa selama 75 tahun terakhir telah menunjukkan dirinya mampu bertahan dari gerusan faktor eksternal. Dengan kemerdekaan yang direbut langsung dari tangan-tangan penjajah Belanda, Indonesia sesungguhnya sudah memiliki modal besar sebagai nasion yang memiliki posisi terhormat. Simpati terhadap kemerdekaan Indonesia datang dari berbagai pihak, baik negara sekitar mau pun dari berbagai negara di benua-benua lain.
Yang acap tidak dibicarakan – kecuali dalam bulan tertentu – adalah kemampuan nasion Indonesia terhadap gerusan faktor internal. Sejarah menunjukkan bahwa gerusan faktor internal baik itu berupa pemberontakan terbuka dan bersenjata mau pun gerakan mempengaruhi nasion melalui jalur non-agresi militer, berjalan terus.
Terkadang bahkan gerakan non-agresi militer ini jarang diselesaikan secara tuntas dan tidak dihadapi secara langsung oleh pemangku kepentingan di Republik Indonesia. Justru dari konflik internal ini lah yang sesungguhnya mengkhawatirkan karena berpotensi memecah belah Indonesia sebagai suatu entitas kesatuan. Bibitnya sudah ditanam beberapa belas tahun terakhir melalui berbagai aspek, baik melalui pendidikan formal, hingga praktek politik identitas.
Bagaimana Memelihara Indonesia?
Pertanyaannya adalah bagaimana mempersiapkan diri dan memastikan generasi muda Indonesia mampu menghadapi bahaya yang mengancam amanat agung dari moyang mereka untuk memiliki kesatuan bangsa dan negara yang sesuai dengan Mukadimah Undang-undang Republik Indonesia? Apakah generasi emas yang saat ini sedang berada di dalam pengambilan keputusan sudah memikirkan strategi jangka panjang untuk mempersiapkan generasi berikutnya untuk memelihara dan memperkuat Indonesia sebagai nasion dan negara?
Pola Sejarah Nusantara
Sebagai suatu unit negara yang tidak memiliki entitas sebelumnya, Indonesia berdiri di atas suatu konsep kesatuan berbangsa dan bernegara yang baru di dalam sejarahnya.
Mengacu kepada sejarah, kesatuan daerah kepulauan di wilayah antara Asia Daratan dengan Benua Australia dahulu disebut Nusantara. Kesatuan wilayah ini adalah suatu konsep dari kekaisaran Majapahit yang selesai dituliskan oleh Mpu Prapanca di dalam karya tulisannya Negara Kertagama pada tahun 1375. Konsep ini disebutkan di dalam sumpah Mahapatih Gajah Mada saat akan menyatukan kepulauan di Kawasan ini.
Walau tidak disebutkan secara eksplisit, beberapa tindakannya menunjukkan penyatuan melalui agresi militer, sebagaimana terlihat dari sumpahnya bahwa ia tidak akan melepaskan puasanya kecuali apabila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda hingga Tumasik. Penanganan dengan kekuatan militer terhadap Kekaisaran Sunda terlihat dari kasus Perang Bubat dimana Angkatan Perang Majapahit membinasakan rombongan Kekaisaran Sunda yang sesungguhnya merupakan pengiring pengantin. Secara tragis Dyah Pitaloka, yang rencananya akan dinikahi oleh Hayam Wuruk, Raja dari Kekaisaran Majapahit, memilih untuk mati bersama orang tuanya bersama angkatan perang mereka yang setia.
Beberapa sejarawan dan ilmuwan mengatakan bahwa Nusantara adalah konsep yang dikembangkan dari konsep Cakrawala Mandala Dwipantara yang dicetuskan Raja Kertanegara dari Singasari, pendahulu dari Kerajaan Majapahit. Dwipa merupakan sinonim dari Nusa, sehingga dengan demikian baik Dwipantara mau pun Nusantara merupakan konsep pulau (teritori daratan) yang berada di laut.
Namun di dalam prakteknya Kertanegara menggunakan kekuatan kebudayaan sebagaimana yang disebutkan oleh Bambang Budi Utomo, Arkelog Puslit Arkenas. Menurutnya kekuatan kebudayaan yang dilakukan oleh Kertanegara pada 1295 ini menunjukkan kekuatan non militer demi memperkuat wilayah Cakra Mandala Dwipantara ini. Raja Kertanegara mengirimkan Arca Amogaphasa kepada Kerajaan Malayu Dharmasraya, sehingga dikenal sebagai Ekspedisi Pamalayu. Hal ini terlihat pada Prasasti Padang Roco yang berada di kaki Arca Amogaphasa. Pada gilirannya, Maharaju Dharmasraya memberikan dua puterinya, Dara Petak dan Dara Jingga untuk dinikahi oleh Raja Kertanegara.
Secara sederhana, nenek moyang suku-suku bangsa di Indonesia mengimplementasikan dua macam pola pendekatan, baik itu secara kebudayaan mau pun secara militer. Sekarang rata-rata warga Indonesia pasti akan menolak pendekatan secara kekerasan militerisme. Tetapi pada kenyataannya pendekatan secara militeristis jelas sudah tercantum di pola yang dilakukan di Republik Indonesia.
Untuk mencoba membendung pola penggunaan pendekatan militerisme, sebaiknya dipikirkan beberapa hal. Di dalam kondisi sebagai entitas negara berdaulat, Indonesia jelas memiliki kekuatan militer. Akan tetapi penggunaan militer di suatu konflik internal negara adalah suatu hal yang menjadi dipertanyakan karena jelas itu menunjukkan kegagalan pemerintahan yang sedang berkuasa yang bahkan secara mendalam menunjukkan ada yang keliru dan salah di dalam entitas yang berdiri sebagai kesatuan.
Secara fisik, perkawinan di antara suku-suku bangsa di Indonesia sudah berjalan tanpa ada hambatan. Tetapi sebagai suatu entitas, Indonesia jelas membutuhkan identitas yang jelas dan karenanya membutuhkan simbol-simbol budaya relevan dengan kemutakhiran yang secara hidup diemban oleh para warganya.