Akan sangat sulit untuk mencari buku otoritatif yang membahas tentang Pangeran Diponegoro selain buku “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1783 – 1855”. Lebih dari seribu halaman terjilid dalam tiga buah buku. 34 halaman sendiri untuk menuliskan daftar pustakanya. Lintas sumber, bahasa dan aksara.
Tak kurang dari 19 manuskrip berbahasa Jawa, baik beraksara Jawa sendiri maupun Pegon yang dirujuknya. Ada ribuan arsip berbahasa Belanda, Inggris dan juga Perancis yang dicermatinya. Mulai dari koleksi ANRI, KITLV, Universiteits Bibliotheek, EFEO, hingga yang milik perorangan seperti halnya J.C. Baud, van den Bosch, Schneither dan lain-lain. Belum lagi ratusan judul buku dan surat kabar. Dari yang berbahasa Melayu, Indonesia, Belanda, Inggris dan lain sebagainya.
Sumber yang kaya tersebut, benar-benar menjadikan buku “Kuasa Ramalan” tersebut, menjadi sumber kajian paling mumpuni tentang sang pemimpin Perang Jawa (1825-1830) itu. Meski masih belum sempurna betul, tapi tak mengurangi kebesaran dari buku yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada 2012 silam itu.
Ia mengantarkan penulisnya menjadi seorang tokoh terkemuka dalam dunia sejarah Indonesia. Ia adalah Peter Carey.
Carey lahir di Rangoon, Birma pada 30 April 1948. Ia seorang keturunan misionaris Kristen tersohor di India, William Carey (1761-183) yang berhasil menerjemahkan Injil ke dalam 27 bahasa lokal India. Riwayat intelektual leluhurnya tersebut, bisa jadi memberikannya kecerdasan baginya untuk dikemudian hari mampu melahirkan karya akademik yang luar biasa.
Karir akademik Peter Carey sendiri bermula dari bangku kuliah di Universitas Cornell di New York, Amerika Serikat (1969-1970). Ia menjadi seorang sarjana English Speaking Union (ESU) yang menempuh pendidikan doktoral tentang Sejarah Asia Tenggara.
Rencana tesis yang akan diambilnya mengenai seorang gubernur jendral di Hindia Belanda yang memimpin semasa kekuasaan Napoleon Bonaparte di Belanda, Marshal Herman William Daendels (1762-1818).
Akan tetapi, setibanya di Cornell, ia bertemu dengan para pakar tentang sejarah Indonesia. Seperti Goerge McTurnan Kahin, Ben Anderson dan Oliver Wolters. Ketiganya merekomendasikan Carey untuk mempelajari bahasa setempat, yakni bahasa Indonesia dan Jawa, terlebih dahulu sebelum menentukan topik tesisnya.
Upaya untuk mempelajari bahasa Indonesia dan Jawa itu, mengantarkan Carey berkenalan dengan bahasa Belanda. Bahasa yang menjadi sangat penting untuk kajian sejarah di Indonesia pada masa kolonial.
Seperti yang kita ketahui, Belanda yang menjajah Indonesia beratus tahun lamanya, menyimpan banyak bukti penting sejarah Nusantara. Hal itulah yang dicari dan harus dikuasai oleh Carey untuk menentukan fokus kajiannya di kemudian hari.
Dalam usahanya tersebut, ia membaca sebuah buku sejarah Indonesia yang ditulis oleh H.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesie (1949). Dari buku itulah, Carey menjumpai pengalaman “mistik” pertama. Pengalaman yang tak terpermanai oleh logika. Di buku tersebut, ia menemukan sebuah ketertarikan luar biasa pada sebuah lukisan yang termuat di dalamnya. Lukisan yang kemudian menggerakkannya untuk mencari Sang Pangeran.
“Memoires sur la guerre de l’ile de Java de 1825 a 1830” judul lukisan tersebut. Karya Mayor F.V.H.A. Ridder de Stuers itu, menggambarkan adegan saat Diponegoro dan pasukannya memasuki perkemahan yang disiapkan bagi mereka oleh Jenderel H.M. de Kock di Metesih, Magelang pada 8 Maret 1830. Sang pangeran dilukiskan dalam sosok yang suram dan sedikit membungkuk di atas punggung kuda dengan jubah putih bersurban.
“Saya tidak yakin benar apa yang membuat saya tertarik pada sketsa tersebut, tetapi itu mungkin karena sifat misterius potret Diponegoro dari sketsa karya De Stuers dan faktanya tidak ada orang yang mampu melihat wajahnya,” akunya dalam memor singkatnya: Menyusuri Jalan yangJarang Dilalui, Sebuah Autobiografi Singkat (Urip iku Urub: Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey, Kompas: 2018, hal. 24).
Dari pertemuan mistis dengan sang pangeran untuk pertama kalinya itu, menyeret Carey jauh ke belahan timur bumi. Dengan mengendarai KM Sam Ratulangi milik Djakarta Lloyd, pada akhir Mei 1970, ia sampai ke Indonesia. Sebuah perjalanan yang cukup menyenangkan sebelum akhirnya membuatnya menderita usus buntu. Sebuah penyakit yang hampir saja merenggut nyawanya.
Kejadian tersebut, bagi Carey di kemudian hari, menyadarkan akan suatu hal. Tak sesuatu yang kebetulan dalam hidup ini. Kerasnya upaya untuk bisa berlabuh di tanah leluhur sang pangeran seolah pertanda, seberapa bersungguh-sungguh baginya untuk mencari sang pangeran.
Carey menyamakan dirinya dengan John Crawfurd, seorang Residen Yogyakarta (1811-1816), yang berkebangsaan Inggris (Skotlandia). Crawfurd adalah residen yang paling disenangi oleh Diponegoro dibanding dengan para penggantinya yang berkebangsaan Belanda. Ia yang berkebangsaan Inggris pun, merasa disenangi oleh Diponegoro untuk menuliskan biografinya, ketimbang peneliti lain yang berkebangsaan Belanda.
Sepintas ungkapan tersebut, terasa seperti kelakar. Tapi, bagi Carey, “Bukan hanya lelucon, saya sungguh merenungkan pengalaman saya yang begitu banyak, dan tampaknya bagi saya Indonesia merupakan tempat yang istimewa karena saya hampir mati agar bisa sampai di sana,” tulisnya.
Setelah gagal mencapai tujuannya pada muhibah pertamanya ke Indonesia, Carey kemudian menyusun rencana kembali. Awalnya ia matangkan riset-risetnya tentang Diponegoro di Belanda. Ia menjumpai Profesor C.C. Berg (1900-1990) dan mendapatkan salinan terjemahan Babad Diponegoro versi Manado karya Muhammad Yamin. Ia juga berkenalan dengan Profesor Meilink-Roelofsz yang memberinya akses terhadap arsip-arsip kolonial pasca 1800, Tweede Afdeling, koleksi dari Algemeen Rijksarchief.
Antara akhir Oktober dan Desember 1971, ia memulai risetnya di Jakarta. Tepatnya di gedung ANRI lama yang beralamat di Jalan Gadjah Mada nomor 111. Sebuah gedung tua bekas rumah Gubernur Jenderal Reynier de Klerck.
Baca juga:
- Joyo Lengkoro Wulang dan Teladan Literasi Diponegoro
- Raden Saleh, Melawan dengan Lukisan
- Berpakaian Islami di Masa Kolonial
Di ibu kota itu, Carey hanya menjumpai tumpukan dokumen. Tak ada persentuhan “mistis” yang dirasakannya. Baru kemudian saat berpindah ke Yogyakarta, sederet “kebetulan” mengantarkannya pada perjumpaan ruhaniah dengan sang pangeran pengamal Tarekat Syatariyah itu.
Baru sampai di kota gudeg itu, Carey seakan disambut oleh sang pangeran. Melalui perjumpaan tak sengaja dengan seorang ekspatriat di Malioboro, ia diajak menonton pertunjukan Wayang Wong di Tegalrejo. Bayangan Carey pun terlempar berabad silam, 20 Juli 1825. Saat itu, kediaman Diponegoro di sana dibumihanguskan Belanda. Dari sanalah, Perang Jawa mulai bergejolak. Tak sampai di situ, ternyata Wayang Wong tersebut dihelat dalam rangka peresmian pendopo yang baru saja diperbaiki untuk menghormati Pusat Angkatan Darat Devisi Diponegoro. Tentu, bukan sekadar kebetulan, kan?
Setelah itu, Carey berkenalan dengan Ibu Kusumobroto, istri dari anak Pangeran Tejokusumo. Ia lantas diberi izin tinggal di salah satu paviliun di dalam komplek Tejokusuman. Di sana ia tinggal di ruangan yang berhias ukiran kayu Jepara bergambar Diponegoro menaiki kuda sembari mengangkat keris. Mirip lukisan dari Basuki Abdoellah yang berjudul “Diponegoro Memimpin Pertempuran”.
Di paviliun Tejokusuman tersebut, Carey kembali mengalami peristiwa mistis. Ia banyak mengalami gangguan. Mulai dari sakit, kehilangan barang hingga diganggu pembantunya yang tak kompeten. Ia pun mendatangi seorang paranormal untuk mencari solusi.
Sang paranormal yang masih muda itu, menyebut kabar yang cukup unik. Tempat Carey bertempat itu ternyata dihantui oleh arwah mantan juru tulis Diponegoro, Raden Tumenggung Reksoprojo. Sang arwah memusuhi semua hal yang berbau “Londo” yang amat dibencinya. Carey yang merupakan seorang “bule” pun tak terkecuali.
Carey oleh si paranormal disarankan meminum seduhan daun delima dan menggelar slametan bersama warga Tejokusuman. Sementara sang paranormal pun menjelaskan pada si arwah, bahwa Carey bukanlah “londo” yang jahat. Ia adalah penulis biografi Diponegoro yang tulus. Setelah itu, semua rintangan yang membelitnya sirna. Percaya tak percaya!
Saat riset lapang di tempat pembuangan Diponegoro, Makasar, kejadian mistis kembali berulang. Mendiang istrinya, Raden Ayu Koesmarlinah bermimpi memberikan sebuah manuskrip yang berhubungan dengan Diponegoro kepada Carey. Mimpi tersebut seolah menjadi isyarat jika ia bakal mendapat data penting tentang sang pangeran.
Ternyata mimpi itu nyata adanya. Selang beberapa waktu, saat berkunjung ke keturunan sang pangeran yang masih hidup, Raden Mas Jusuf dan Raden Saleh, yang tinggal di bekas rumah yang dibangun oleh Belanda untuk jandanya Diponegoro, Raden Ayu Retnoningsih. Di sana Carey mendapatkan manuskrip peninggalan Diponegoro. Sejarah Ratu Tanah Jawa dan Hikayat Tanah Jawa.
Dari pengalaman mistis tersebut memperkaya petualangan intelektual Carey mencari Diponegoro. Ia tidak hanya membawa data, dokumen, arsip, hasil studi lapang, segepok hasil wawancara, namun juga setangkup pengalaman-pengalaman batiniah. Pengalaman yang melintas waktu.
Juni 1973 Carey kembali ke Eropa setelah 3 tahun lebih riset di Indonesia: Jakarta, Yogyakarta dan Makassar. Ia melanjutkan riset lagi di Belanda selama enam bulan.
Pada November 1975, tesisnya pun ia selesaikan. Tesis berjudul “Pangeran Dipanagara and the Making of the Java War, 1825-30” itu pun sukses disidangkan di Balliol College.
Meski mendapat izin untuk menerbitkan tesis tersebut, tapi butuh waktu 30 tahun lebih untuk benar-benar diterbitkan. Ada beberapa prasyarat dari Profesor Meilink-Roelofsz yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Salah satunya adalah mengedit bab per babnya agar temanya terhubung dengan kuat. Karena satu lain hal, syarat tersebut baru terpenuhi di penghujung 2007. Ia menghabiskan setengah tahun terakhir 2006 untuk mengedit tesisnya tersebut di rumahnya, sekitar pegunungan Sliebh Bearnagh, Irlandia.
Tesis itu pun terbit di Lieden, Belanda oleh KITLV Press dengan judul “The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855”. Pada Mei 2008, edisi revisinya pun kembali diterbitkan oleh KITLV Press.
Buku tersebut, pada 2009 diterjemahkan oleh wartawan senior Kompas cum sejarawan Parikitri T. Simbolon. Butuh waktu tiga tahun lebih. Selain itu, edisi terjemah tersebut, juga direvisi oleh Wardiman Djojonegoro dan dieditori oleh Candra Gautama dan Christina M. Udiani. Melalui Kepustakaan Populer Gramedia, akhirnya buku tersebut lahir. “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1783-1855.”
Tulisan pter carey ini bg sy bnyak yg lepas dr obyektivitas dan bnyak sudutnyabyg mncoba mnngambarkan kekurangan diponegoro sebagai seorang sosok, bnyak yg nda masuk akal, tp dipaksakan dengan sumber sitiran yg musti beradu silang untuk mmastikan fakta