Sedang Membaca
Waktu dan Momentum: Kajian Interdisipliner Fisika, Metafisika, dan Islam
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Waktu dan Momentum: Kajian Interdisipliner Fisika, Metafisika, dan Islam

panorama cahaya awan

Dalam perjalanan mencari hakikat alam semesta, dua konsep yang selalu menarik perhatian adalah waktu dan momentum. Keduanya bukan sekadar variabel dalam rumus fisika, tetapi juga menjadi landasan refleksi mendalam dalam metafisika dan spiritualitas. Perspektif Islam, dengan warisan keilmuan yang luas, menawarkan pemahaman yang menyatukan aspek empiris dan transenden, membuka cakrawala baru bagi manusia dalam memahami pergerakan waktu dan momentum kehidupan.

Dalam fisika, waktu adalah dimensi fundamental yang memungkinkan adanya perubahan. Mekanika klasik memahaminya dengan cara yang lain, waktu dianggap absolut dan mengalir secara linear, sementara dalam teori relativitas Einstein, waktu bersifat relatif, bergantung pada kecepatan dan medan gravitasi.

Momentum, di sisi lain, didefinisikan sebagai hasil kali massa dan kecepatan suatu objek (p = mv). Prinsip kekekalan momentum menyatakan bahwa dalam sistem tertutup, momentum total akan tetap konstan kecuali ada gaya eksternal yang bekerja. Fisika menunjukkan bahwa momentum bukan sekadar gaya dorong material, tetapi juga prinsip keseimbangan yang mengatur keteraturan alam semesta.

Waktu sebagai Struktur Kesadaran

Dari sudut pandang metafisika, waktu lebih dari sekadar durasi; ia adalah struktur fundamental dari realitas itu sendiri. Apakah waktu bersifat linier ataukah siklus? Para filsuf berbeda pendapat.

Dalam banyak tradisi filsafat, waktu dianggap sebagai dimensi eksistensial—suatu medium kesadaran yang memungkinkan manusia mengalami pergerakan dari potensi ke aktualisasi. Dalam pemikiran mistik Timur yang melihat waktu sebagai roda samsara, realitas waktu tidak selalu linear.

Dalam Islam, waktu memiliki dimensi sakral. Al-Qur’an menekankan pentingnya waktu dalam berbagai ayat, seperti dalam Surah Al-‘Asr, di mana Allah bersumpah demi waktu sebagai bukti bahwa manusia berada dalam kerugian jika tidak menggunakannya dengan baik:

وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.” (QS. Al-‘Asr [103]: 1-2)

Dalam Hadits Qudsi, Allah SWT menegaskan bahwa waktu adalah milik-Nya:

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ، يَسُبُّ الدَّهْرَ، وَأَنَا الدَّهْرُ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Anak Adam menyakiti-Ku dengan mencela waktu, padahal Akulah waktu. Aku yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Bukhari-Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa waktu bukan sekadar entitas pasif, tetapi merupakan ejawantah langsung dari ketentuan Ilahi. Dalam Islam, waktu adalah wadah keberadaan, dan manusia bertanggung jawab untuk mengisinya dengan amal yang baik.

Ibn ‘Arabi dan Pola Melingkar Waktu

Muhyiddin Ibn ‘Arabi, seorang sufi besar Islam dari  Andalusia (kini Spanyol), membahas konsep waktu dalam Al-Futuhat al-Makkiyah. Berbeda dengan pandangan linear waktu dalam filsafat Aristotelian, Ibn ‘Arabi memahami waktu sebagai siklus yang berulang, mirip dengan gerakan orbit benda langit.

Baca juga:  Haul Haul Nurcholish Madjid (3): Kepada Cak Nur, Kita Belajar Melindungi Kemerdekaan Beragama

Menurutnya, waktu bukan hanya pergerakan dari masa lalu ke masa kini, tetapi lebih seperti lingkaran yang kembali ke titik awalnya. Ini didasarkan pada prinsip bahwa segala sesuatu dalam alam semesta bergerak dalam pola yang teratur dan berulang, sebagaimana rotasi planet, musim, dan bahkan siklus kehidupan manusia.

Dalam Al-Futuhat, Ibn ‘Arabi menulis; “Waktu itu bagaikan lingkaran yang tak terputus. Apa yang telah terjadi akan terjadi kembali, karena alam ini berjalan dalam pola yang tetap.”

Berdasar sudut pandang ini, waktu bukanlah garis lurus menuju akhir, melainkan spiral yang berulang tetapi tetap mengalami perkembangan. Ini mengingatkan kita pada konsep “Zaman” dalam tasawuf, yang merujuk pada siklus spiritual yang dialami oleh manusia dalam perjalanannya menuju penyempurnaan diri.

Ketika kita menggabungkan ketiga perspektif tersebut, kita menyadari bahwa waktu dan momentum tidak bisa dipahami secara parsial. Fisika memberi kita pemahaman kuantitatif tentang pergerakan, metafisika membantu kita merenungkan makna waktu sebagai bagian dari realitas, dan spiritualitas Islam mengajarkan kita untuk menggunakan waktu dengan bijak.

Seperti hukum kekekalan momentum, yang menyatakan bahwa energi tidak pernah benar-benar hilang tetapi hanya berpindah bentuk, dalam kehidupan spiritual, setiap amal dan niat yang kita lakukan memiliki dampak yang berlanjut, baik di dunia maupun di akhirat.

Kita tidak hanya terjebak dalam waktu; kita adalah bagian dari arus waktu itu sendiri. Dan dalam perjalanan ini, momentum kita—baik dalam ilmu, ibadah, maupun usaha—akan menentukan ke mana kita bergerak dalam siklus keberadaan.

Sebagaimana ujaran Ibn ‘Arabi, “Waktu bukanlah sesuatu yang kita lalui, melainkan sesuatu yang kita alami dalam kedalaman kesadaran.” Dunia ini bergerak dalam siklus, tetapi bagaimana kita mengisinya—itulah yang menentukan arah perjalanan kita.

Eksperimentasi Waktu

Pada 1972, seorang lelaki Prancis bernama Michel Siffre turun ke dalam rahim bumi, menembus 440 kaki ke dalam gua yang gelap gulita, dan mengunci dirinya dari dunia. Ia melepaskan segala penanda duniawi: tak ada cahaya, tak ada waktu, tak ada suara manusia. Hanya ada ia, kegelapan mutlak, dan pertanyaan besar yang menggema dalam pikirannya—pertanyaan yang telah membayanginya selama bertahun-tahun: Apa sebenarnya waktu itu?

Baca juga:  Pemetik Puisi (29): Zeffry Alkatiri dan Puisi itu Khotbah

Siffre bukanlah sekadar ilmuwan. Ia adalah seorang penziarah dalam makna paling dalam. Seorang geolog yang telah melampaui bebatuan dan mulai menyelami fosil kesadaran manusia sendiri. Ia percaya bahwa kunci untuk membuka rahasia terdalam pikiran terletak pada hubungannya dengan waktu—bukan waktu mekanistik yang berdetak di arloji, melainkan waktu batin, waktu sunyi yang hidup dalam tubuh dan jiwa manusia.

Maka, ia pun merancang sebuah eksperimen radikal—bukan di laboratorium berlampu neon, melainkan di kedalaman bumi. Siffre mengajukan dirinya sebagai subjek: hidup sepenuhnya terisolasi. Tanpa jam, tanpa matahari, tanpa satu pun petunjuk waktu. Dunia menyebutnya gila. Tapi bagi Siffre, ini adalah bentuk tertinggi dari keberanian spiritual—menghadapi bayangan diri sendiri dalam keheningan yang tak bertepi.

Ia membawa kantong tidur, peralatan bertahan hidup, dan tekad yang keras seperti batu. Gua di Texas itu menjadi seminari kesadarannya. Di sana, ia bukan lagi ilmuwan, tapi peziarah gelap. Tidak ada matahari yang menuntun pagi dan malamnya. Tidak ada suara yang memberi gema pada pikirannya. Ia hanya berteman dengan kesendirian yang menggulung seperti kabut dalam dada.

Awalnya, ia mencoba mempertahankan rutinitas. Mengikuti rasa lapar untuk makan, dan rasa lelah untuk tidur. Tapi, ketiadaan cahaya membuat waktu meleleh. Detik-detik kehilangan wujud. Hari dan malam menjadi kabur. Ia mulai berhalusinasi. Bayangan menari di dinding batinnya. Suara-suara muncul dari ruang hampa. Ia yakin ada orang lain di dalam gua. Pikirannya—yang dulu terlatih dan tajam—perlahan-lahan mulai retak.

Di atas tanah, timnya mengamati. Mereka mencatat setiap aktivitasnya, membandingkan dengan waktu sesungguhnya. Dan hasilnya mencengangkan: Siffre benar-benar kehilangan arah waktu. Pada bulan kedua, ia merasa hanya satu hari telah berlalu, padahal hampir dua hari telah lewat. Jam internalnya telah membelok, seperti kompas yang kehilangan kutub.

Tubuhnya menciptakan ritme baru: 36 jam terjaga, 12 jam tertidur.

Jam biologis manusia ternyata bisa menyimpang jauh dari norma sirkadian. Tanpa matahari, tubuh menciptakan mataharinya sendiri. Bukti bahwa waktu bukan hanya sesuatu yang kita ikuti—tetapi juga sesuatu yang kita ciptakan. Otak manusia, dalam senyap dan gelap, memiliki arloji purba yang tak tergantung pada apa pun di luar dirinya.

Namun, seiring pekan berganti bulan, dampaknya menggerogoti. Siffre mulai kehilangan kata-kata di tengah kalimat. Ia lupa fakta dasar, dan emosinya meledak-ledak: dari kegembiraan hingga keputusasaan. Ia berbicara dengan serangga, mencari teman di antara makhluk kecil. Ia menemukan kenyamanan dalam suaranya sendiri—sebuah bentuk mantra penyelamat. Namun, keheningan selalu kembali. Seperti malam tanpa akhir yang tak mau pergi.

Baca juga:  Bumi: antara Wabah dan Sajadah

Setelah 180 hari, ia ditarik keluar. Namun baginya, waktu yang dirasakannya hanya 151 hari. Ia tercengang. Ia telah kehilangan hampir satu bulan dari hidupnya, di luar kesadarannya. Saat ia melangkah kembali ke dunia atas, ia bukan lagi orang yang sama.

Apa yang diungkap eksperimen ini lebih dari sekadar fenomena ilmiah. Ini adalah “wahyu” tentang manusia dan waktu. Bahwa waktu bukan sekadar detak jam di dinding, tetapi sesuatu yang diciptakan, dipelintir, dan dirasakan oleh kesadaran kita—bahwa ketika kita mencabut semua isyarat luar, waktu seolah mencair—dan kita terjatuh ke dalam pusaran batin yang tak berjangkar.

Temuan ini menjadi tonggak dalam; riset tentang ritme sirkadian, eksplorasi antariksa dan isolasi astronot, dan pemahaman tentang kesehatan mental dalam kesendirian ekstrem.

Namun, semua itu datang dengan harga. Siffre mengalami kehilangan ingatan permanen. Mentalnya butuh waktu bertahun-tahun untuk pulih. Ia menyebut gua itu sebagai “malam tanpa akhir” yang menghantuinya seumur hidup.

Namun, alih-alih berhenti, ia kembali turun ke gua lain. Berkali-kali. Ia terus mencari, terus menggali—bukan hanya bebatuan, tetapi dimensi terdalam dari waktu dan pikiran. Karya-karyanya menjadi fondasi ilmu tidur modern, dan juga filsafat baru tentang waktu.

Pada akhirnya, ia mewariskan satu pertanyaan besar yang masih menggantung di langit kesadaran manusia: apakah waktu itu nyata?

Apakah ia datang dari luar—seperti matahari yang terbit dan tenggelam? Ataukah ia diciptakan oleh pikiran yang tak pernah tidur?

Pengalaman Siffre menyatakan: waktu adalah keduanya. Pikiran, dalam kesunyian terdalamnya, memegang kunci tertinggi untuk menciptakan dan menafsirkan waktu itu sendiri. “Pikiran adalah alam semesta tersendiri,” demikian yang diyakini Siffre.

Dari percobaan Siffre yang luar biasa itu, kita bisa belajar satu hal: keheningan, isolasi, dan kehampaan bukanlah musuh—melainkan cermin. Jikalau kita cukup berani menatapnya, kita mungkin menemukan dimensi terdalam dari diri sendiri.

Dan waktu akan meliuk. Sebab di dalam dirimu, ada sebuah gua, dan gua itu tak lain adalah kesadaranmu sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top