Setelah Kanjeng Nabi memilih tinggal di rumah Abu Ayyub, rumah itu menjadi markas perhatian seluruh penduduk Madinah, baik Muhajirin maupun Anshar. Mereka berdatangan untuk menimba ilmu, menyimak Alquran, mendengarkan perintah-perintah beliau, dan meraup apa saja yang bermanfaat dari beliau.
Orang pertama yang mengetuk pintu rumah Abu Ayyub al-Anshari untuk bertamu kepada Rasulullah adalah seorang pemuda pendiam, indah perangai, dan lembut penampilan. Pemuda yang kelak menorehkan pengaruh besar dalam sejarah Islam. Ia membawa mangkuk berisi roti berkuah susu dan minyak samin. Ia lalu menyajikannya tepat di hadapan Nabi.
“Ini kiriman ibu, Kanjeng Nabi.” Berbinar wajah Nabi, tersenyum pada anak muda itu, lalu mendoakannya, “Semoga Gusti Allah memberkahimu, Kang!”
Allah benar-benar memberkahi pemuda yang kelak dikenal dengan Zaid bin Tsabit itu. la terbilang sahabat agung dan ulung. Hidupnya terutama diabdikan untuk Alquran, pengabdian yang dianugerahkan Allah tanpa cacat. (Baca tulisan menarik: Para Perempuan Penulis Nabi)
Tak kurang dari tiga atau empat mangkuk makanan setiap hari diantarkan oleh sahabat Anshar kepada Nabi dengan tulus dan penuh cinta. Nabi pun menerimanya; dimakan sedikit lalu beliau mengundang orang orang di sekitarnya.
Bahkan, Abu Ayyub sendiri selaku tuan rumah yang punya lebih banyak peluang melayani Nabi-harus bersaing ketat dengan yang lain untuk menjamu beliau. Semua berebut berkah. Sampai-sampai, begitu Nabi mengangkat tangan untuk makan, piring di bawahnya langsung ditarik oleh Abu Ayyub, ia jumput makanan itu tepat pada bekas jari-jari beliau, lalu ia makan.
Suatu hari, mangkok Abu Ayyub dikembalikan tanpa ada bekas sentuhan Nabi barang sesuap pun. la kaget, hatinya disambar sebersit tanda tanya: Apakah hati Nabi sudah berubah hingga menolak makanannya?
Lalu Cepat-cepat Abu Ayyub mendatangi Nabi dan berkata, “Wahai Rasulallah, demi ayahku, Engkau, dan ibuku, kenapa kaukembalikan makan malam tanpa kulihat ada bekas tanganmu?”
Dengan lembut Nabi memberi pengertian bahwa beliau sama sekali tidak membenci makanan itu. Tidak pula ada masalah dengan sang tuan rumah. Beliau bersabda,
“Aku mencium bau bawang pada makanan itu, Kang. Karena statusku penerima wahyu, aku khawatir (bau itu) akan mengganggu penjaga wahyu. Kalau kalian, makanlah!”
Nabi tinggal di rumah Abu Ayyub sekitar tujuh bulan. Dalam jenjang itu beliau mengutus orang ke Makkah untuk menjemput keluarganya yang tertinggal; istri beliau, Saudah binti Zam’ah dan Aisyah binti Abu Bakar; dua putri beliau, Ummu Kultsum dan Fathimah.
Sedangkan dua putri beliau yang lain bersama suami mereka masing-masing; Zainab bersama Abul ‘Ash yang masih syirik, dan Ruqayyah bersama Ustman ibnu ‘Affan. Ikut juga bersama mereka Ummu Aiman, Barakah, Zaid ibn Haritsah, dan sejumlah orang yang tak tahan memendam rindu berjumpa dengan Rasulullah.
Dari rumah Abu Ayyub Nabi menyusun rencana untuk membangun masjid yang kelak menjadi salah satu dari tiga masjid yang dianjurkan beliau untuk dikunjungi meski dengan cara susah payah. Bersisian dengan masjid dibangun pula bilik-bilik istri Nabi. Begitu semua rampung, beliau segera pindah ke kediaman baru.