Ahmad Muzammil
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan strata 1 jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir. Bergelut di organisasi literasi, Lembaga Pers Mahasiswa Pelopor Institut Keislaman Abdullah Faqih dan Pengajar ekstra kulikuler Jurnalistik di Pon.Pes. Ibrahimi Gresik. Facebook: Ahmad Muzammil. Sekaraang Berdomisili di Gresik.

Ilmu Pengetahuan dalam Pandangan Rumi

Karya monumentalnya, Masnawi, memberikan informasi bahwa konsep ilmu bagi Jalaluddin Rumi sangat berbeda dengan konsep yang ada pada ilmu pengetahuan, pengetahuan, filsafat, teologi atau mistisisme dalam kamus.

Alasan terkuatnya, Rumi benar-benar matang dalam hal ilmu pengetahuan, sebagai hasil dari penglihatan langsung terhadap hakikat segala makna dan realitas, yakni Tuhan.

Secara umum struktur ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua struktur, dunia (skolastik) dan agama (spiritual). Tentu jelas perbedaannya, baik identitas atau ciri khasnya maupun daya perolehannya. Bagi yang pertama (skolastik) daya perolehan pengetahuannya berasal dari pancaindera lima fisik atau terlihat. Adapun yang kedua (spiritual) daya perolehannya berasal dari pancaindera lima nonfisik atau tak terlihat, sifatnya abadi.

Selama pelacakan penulis, tidak ada nama khusus yang dilekatkan untuk lima pancaindera tak terlihat tersebut. Beda dengan lima pancaindera yang terlihat, maklum disebut dengan indera penglihat, perasa, peraba, pencium, dan pendengar. Justru tak adanya nama yang melekat itulah kebenaran dan kerasionalan pancaindera non fisik menemukan momentumnya. Sesuatu yang terlihat sering kali memiliki nama, terjadi pelekatan nama pada yang terlihat.

Memasuki ciri khas dari dua struktur ilmu di atas. Lebih khusus pada daya serapnya. Daya serap pengetahuan skolastik–Rumi juga kadang memakai istilah ‘ilmu abdan atau jasad, ilmu badan-badan atau bentuk–lebih tertuju pada penangkapan luar, hanya melihat pada bentuk. Berbanding terbalik dengan pengetahuan spiritual–disebut pula dengan ‘ilmu ‘adyan artinya ilmu agama-agama–yang daya serapnya melampaui bentuk, melihat pada makna.

Baca juga:  Inilah Bekal Imam Ghazali saat Uzlah dan Menulis Kitab

Meski tidak ada penyebutan lima pancaindera nonfisik, jalan perolehan atau agar lima panca inderanonfisik tersebut bekerja, sebagai ciri khas pengetahuan spiritual (‘ilmu ‘adyan) tersebut, ternyata terdapat metode perolehannya. Metode perolehannya bias ditempuh dengan cara melakukan dua hal, sifatnya bertahap. Pertama, mengurangi kenikmatan fisik atau materi. Bukan dengan cara menghilangkan, melainkan mengurangi.

Sungguh bijak perjalanan awal ini. Tentu, menikmati kenikmatan fisik atau materi dilakukan oleh kebanyakan orang, sejak kecil, bahkan ada yang sampai dewasa. Maka, pertama kali adalah menguranginya. Hal ini mengandaikan bahwa tidak bisa langsung melakukan peniadaan atas kenikmatan duniawi. Artinya mengurangi ketergantungan pada sesuatu yang sifatnya masuk dalam kategori materi atau duniawi.

Kedua, menghapus hasrat materi atau duniawi. Tahap kedua ini lebih dalam. Hasratnya yang harus dihapus.

Hasrat merupakan sisi dalam manusia. Lebih halus dan perlu kejelian untuk mendeteksinya. Orang bisa menikmati kenikmatan dunia sebab ada hasrat, keinginan. Kegiatan menikmati kenikmatan dunia tidak akan terjadi ketika hasrat, keinginan untuk menikmatinya tidak ada.

Pada tahap pertama boleh jadi masih bisa menikmati kenikmatan dunia, namun bersifat sedikit, pada nikmat-nikmat yang tidak melanggar syariat, makan, minum, misalnya. Berbeda pada tahap kedua, hasrat untuk menikmati kenikmatan dunia berupa makan dan minum sudah harus tiada.

Baca juga:  Petuah Al-Ghazali, Penawar Krisis Akhlak

Lantas, apakah kemudian kita meninggalkan makan dan minum? Bukan demikian, melainkan hasrat atau keinginan untuk hanya sekadar menikmati atau merasakan nikmatnya makan dan minum yang mesti dihapuskan.

Masih diperbolehkan makan dan minum, namun makan dan minumnya bukan semata-mata untuk merasakan nikmatnya, agar kuat beribadah, misalnya. Hal demikian sudah bukan lagi kenikmatan duniawi. Makan secukupnya, asal kuat untuk beribadah. Hasrat atau keinginan sudah tiada di dalamnya.

Tanpa tergetar oleh makna, ilmu hanyalah bentuk. Setiap ilmu pada dasarnya memiliki potensi untuk–setelah melalui proses perjalanan rohani yang panjang–menjadi pengetahuan hakiki, pengetahuan agama (spiritual, ‘adyan).

Penekanannya ada pada makna, bukan bentuk atau penyebutan sebuah ilmu. Makna dalam beberapa syair Rumi memang berkonotasi pada arti sebenarnya atau hakiki. Seringkali dilawankan dengan bentuk, aksidental lawan kata substansi.

Dunia modern abad 20 dan 21 ini memang bangga akan kemajuannya dalam ilmu pengetahuan, industri, teknologi dan juga kemajuan dalam modernisasi pendidikan dan dalam relasi sosial. Sisi spiritual eksistensi dalam arti sisi dalam dari yang tampak, meskipun demikian, tampaknya kurang mendapat perhatian bahkan berpotensi diabaikan.

Pendidikan spiritual Rumi membuka sebuah jendela pada sebuah sekolah gaib dalam hati manusia dan pada misteri-misteri yang hanya dapat disingkap melalui penglihatan batin. Sebagai cara lain untuk belajar dan memahami yang dengannya kita mungkin mencapai kedamaian dan kepuasan spiritual. (atk)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top