Pada tahun 1980-an awal Zamakhsyari Dhofier mempertahankan disertasinya yang mengulas tentang tradisi pondok Pesantren. Disertasi Dhofier di Australian National University yang kemudian diterbitkan menjadi buku ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai” ini di kemudian hari menjadi karya klasik yang dirujuk oleh para pengkaji pondok pesantren.
Meskipun sudah lebih dari setengah abad lamanya, disertasi itu terus menjadi rujukan bagi riset-riset akademik tentang pesantren. Bahkan “arkanul pesantren” yang menjadi tesis utama dalam buku itu digunakan untuk mendefinisikan pondok pesantren dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sebagaimana diketahui bersama, ada lima rukun pondok pesantren yang diajukan oleh Dhofier dalam disertasinya. Ia menyebut bahwa rukun pondok pesantren terdiri dari: Kiai, santri, musala, asrama dan kitab kuning. Dengan definisi ini, sebuah institusi keagamaan Islam yang tidak memenuhi salah satu rukun tersebut tidak masuk dalam kategori pondok pesantren. Pertanyaannya, apakah definisi ini masih “jami’-mani’” dalam konteks sekarang? Mari kita renungkan bersama.
Pada dasarnya keberadaan pondok pesantren memang bertujuan untuk “tafaqquh fiddin” alias mencetak para santri yang memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu keislaman. Namun, dalam perkembangannya pondok pesantren terus melakukan inovasi-inovasi dalam berbagai bidang. Termasuk di dalamnya adalah mengajarkan ilmu-ilmu lain yang selama ini dianggap sebagai ilmu umum.
Salah satu buktinya adalah bahwa kini tidak sedikit pondok pesantren yang memiliki unit pendidikan umum. Mereka membuka sekolah-sekolah formal seperti SD, SMP, SMA, Pendidikan vokasi seperti SMK, hingga perguruan tinggi umum dan sekolah tinggi kesehatan. Kenyataan ini di satu sisi perlu kita apresiasi mengingat bahwa sejatinya dalam Islam tidak membedakan ilmu agama dan ilmu “non-agama”. Semuanya layak dan wajib dipelajari sesuai dengan kadar kebutuhannya masing masing. Di sisi lain, pondok pesantren yang memiliki cita-cita mencetak kader ulama yang mutafaqqih fiddien akan mengalami sedikit pergeseran bilamana pendidikan umumnya jauh lebih dominan ketimbang ilmu-ilmu dasar keislamannya.
Kitab kuning yang menjadi salah satu rukun bagi pondok pesantren juga mungkin perlu ditafsirkan kembali. Salah satunya adalah meluaskan dan melebarkan definisi kitab kuning yang diajarkan kepada para santri yang tidak hanya berkutat pada disiplin ilmu tertentu seperti fikih, tafsir, hadis, dan lain sebagainya. Melainkan juga pada rumpun ilmu seperti kedokteran, fisika, matematika, dan ilmu-ilmu eksakta lainnya.
Hal lain dari definisi Pak Dhofier yang perlu direnungkan kembali adalah keberadaan Kyai sebagai salah satu rukun pondok pesantren. Pandangan ini cukup ideal jika melihat pondok pesantren setengah abad yang lalu dimana disertasi itu ditulis. Sebab, belakangan kita juga melihat tidak sedikit pondok pesantren yang tidak memiliki kiai tunggal sebagaimana dahulu. Melainkan bersifat kolektif kolegial. Sejumlah pondok pesantren justru mampu terus bertahan dan bahkan mampu mencetak para lulusannya sebagai ahli ilmu karena sistem pendidikan yang diterapkannya sudah mapan.
Mapannya sebuah sistem pengajaran dan pendidikan di pondok pesantren mampu menggeser sosok kiai. Jika zaman dahulu para orang tua memasukkan anaknya karena melihat kealiman, kezuhudan, dan kewiraian kiai, maka hari ini sudah sangat jarang sekali menjadi pertimbangan utama. Mereka para orang tua akan lebih melihat pada bagaimana sistem pendidikan yang diajarkan pondok pesantren. Hal ini bukan berarti bahwa keberadaan kiai menjadi tidak lagi penting. Kiai tetap menjadi figur yang tak tergantikan. Apalah arti sebuah pondok pesantren jika tidak memiliki kiai.