Corona, tolong, jangan mendekat! Karena kami tak mengenal waktu libur dan social distancing.
Awal Maret 2020, tanah air kita diguncang oleh satu fenomena wabah penyakit dengan wajah yang sangat menyeramkan. Ya, virus yang bertamu ke Indonesia ini awal mula muncul di Wuhan-China 2019 yang lalu. Berbagai media silih berganti menayangkan jumlah korban yang jatuh silih berganti karena terpapar dengan virus corona ini.
Beberapa Negara mulai melakukan pemutusan hubungan dengan Negara lain, karena penyebaran virus ini yang begitu cepat. Pemerintah ketakutan. Beberapa tulisan peringatan dan anjuran pemerintah tersebar luas di media sosial agar masyarakat menjaga jarak (social distancing) dan menggunakan alat pelindung (masker) kemudian selalu membersihkan tangan dengan anti septik.
Alhasil, pemerintah pun tak hanya memberi himbauan untuk selalu menjaga diri dan sanak keluarga, namun berbagai kegiatan seperti instansi, perkantoran, kampus, sekolah, untuk sementara waktu dihentikan, mengingat virus ini cepat menyebar karena kerumunan.
Berdiam diri di rumah menjadi hal yang heboh diperbincangkan di semua jaringan media sosial, karena ihwal itu yang menjadikan gerakan social distancing lebih efektif untuk mengantisipasi virus corona. Bahkan, di beberapa daerah mulai melakukan lock down atau karantina wilayah dengan tak memberi izin kepada perantau untuk memasuki daerahnya, pun bisa, harus mengkarantina diri dan wajib lapor kepada pejabat desa.
Namun rupanya ada beberapa kalangan yang sama sekali merasa bahwa tanah air seperti suasana biasa saja, seperti petani, yang menjalani aktivitas kesehariannya. Bangun subuh, kemudian menikmati segelas kopi dan sebatang rokok di tangannya, lalu pergi ke sawah. Penulis melihat, rupanya petani ini tetap segar bugar menjalani aktivitasnya, walau mungkin ketakutan itu tetap ada. Namun karena kebutuhan keluarga untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah, ia sama sekali tak mengenal kata social distancing. Ke sawah, ia tak memakai masker, apalagi menggunakan hand sanitizer. Sementara di berbagai kalangan sudah mulai meributkan harga masker yang naik drastis, APD yang langka, dan hand sanitiser buatan sendiri.
Kasihan petani, baginya tak ada waktu libur. Disaat semua orang mulai kaget dengan kondisi tanah air yang mulai sepi dan work from home yang entah sampai kapan hal itu diberlakukan, sementara petani dengan motor bututnya, golok di samping pinggulnya, dengan baju lusuh, ia tetap berangkat setiap pagi ke ladangnya masing-masing.
Mungkin petani sudah terbiasa, bahkan tidak kagetan. Di kebun, ia sudah terbiasa dengan menyemprot tanamannya menggunakan pestisida. Setelah itu, terkadang ketika makan pun tangannya tidak di cuci dengan sabun, namun tetap lahap saja menyantap makanannya.
Bukannya petani tidak waspada, namun adakah pemerintah yang memiliki perhatian kepadanya, dengan memberi jaminan memenuhi kebutuhannya sehari-hari jika menerapkan work from home atau social distancing? Adakah yang siap menanggung roda perekonomian para petani?
Bukannya masyarakat petani tidak mendengar himbauan pemerintah, namun adakah di antara kita yang berada di posisinya di saat istri dan anak mulai kelaparan? jangankan dalam menghitung bulan untuk tidak beraktivitas atau berdiam diri, sehari saja, mereka agaknya resah, karena memikirkan penghasilan keluarganya.
Tak bisa membayangkan jikalau petani yang terpapar virus corona, selain mendapat beban psikis dengan lontaran hujatan dari berbagai kalangan karena tidak menaati himbauan pemerintah, wong padahal kenyataannya, petani juga ingin istirahat, bercanda bersama istri dan anak. Diam di rumah aja. Namun apalah daya, petani tetaplah petani, bekerja demi keluarga demi menyambung kelangsungan hidupnya. Ia tetap ke sawah, memanggul cangkul, dengan penuh harap agar corona tidak mendekatinya.