Kompleks pemakaman Doulab pagi itu tampak sepi. Saya bersama rombongan tour berdiri di samping pusara salah seorang tokoh etnis Armania, Vartan Salakhanian.
Angin musim dingin menusuk pori. Mantel kulit yang saya kenakan, tak lagi mampu menghangatkan badan. Masoed, pemandu tour kami, dengan suara parau membacakan puisi milik Ahmad Shamloo untuk Vartan.
Vartan tak banyak bicara
Ia seperti bintang
Vartan tak banyak bicara
Ia serupa violet
Karangan bunga datang
Musim dingin berganti
Dan ia telah pergi
Para pengunjung terisak mendengarkan potongan puisi di atas. Saya diam dalam hening. Tak banyak tahu sejarah hidupnya. Hari itu saya hanya ingin mengenal tempat-tempat bersejarah komunitas Armenia yang mayoritas beragama Kristen. Salah satunya adalah kompleks pemakaman Kristen tertua di Teheran yang sudah terdaftar dalam situs budaya nasional Iran.
Sampai di rumah, saya mulai mencari tahu sejarah kehidupan Vartan Salakhanian. Ternyata, ia adalah aktivis dari etnis Armenia yang dibunuh kaki tangan istana pada masa dinasti Pahlavi. Menariknya, kepergian Vartan tak hanya ditangisi banyak pengikutnya. Beberapa ulama dari kalangan pesantren juga ikut memberikan perhatian khusus.
Reza Zanjani, sebagai pengelola keuangan Ayatollah Haeri Yazdi, pendiri pusat seminari di kota Qom, setiap bulannya memberikan tunjangan kepada keluarga Vartan selama 29 tahun. Pada hari ketika Reza Zanjani wafat, keluarga Vertan turut hadir dalam pemakamannya. Sebuah potret kerukunan yang menarik. Perbedaan keyakinan tajam tidak menghalangi untuk saling berbagi kebaikan.
Perkenalan saya dengan komunitas Kristen Armenia dan kelompok minoritas lainnya di Iran karena terinspirasi film berjudul Son of Maryam, film yang bercerita tentang persahabatan seorang anak aktivis masjid dengan pendeta. Film yang berdurasi 60 menit ini bermula dari kisah Rahman, bocah kecil yang tinggal di pelosok desa Iran.
Setiap pagi, Rahman yang diperankan oleh Mohsin Falsafin, bekerja mengantar susu ke rumah-rumah penduduk, termasuk ke gereja yang berada di kampungnya. Suatu hari, pendeta sedang tidak di tempat, Rahman kecil mencarinya sampai ke ruangan kebaktian. Ia terkejut dan aneh memandangi simbol-simbol agama yang selama ini terasa asing baginya. Dengan penuh rasa takut, ia berlari dan menjauh meninggalkan gereja.
Untungnya, kecemasan Rahman tak berlangsung lama. Berkat kebaikan pendeta yang selalu mengantar bunga-bunga segar ke pekuburan, termasuk makam ibu Rahman yang bernama Mariam. Rahman perlahan mulai membuka diri. Apalagi, saat mendengar Pendeta bercerita tentang ibunya yang ditutup dengan kalimat, “Semua ibu itu baik seperti bunda Maria.”
Pertemanan Rahman makin menguat, di saat sang pendeta mulai jatuh sakit. Setiap hari Rahman datang ke ruangannya untuk membantu orang tua sebatang kara ini. Tekad menolongnya kian bulat ketika ustaznya memberikan mandat untuk lebih memperhatikan pendeta, pada saat pak ustad menjenguknya.
Pendeta meminta Rahman untuk menghubungi saudaranya yang menjadi pendeta di salah satu gereja kota. Di sinilah petualangan Rahman dimulai, ia menyusuri gereja demi gereja untuk berjumpa dengan saudara Pendeta. Pada setiap gereja, Rahman menemukan beragam upacara mulai dari pembaptisan hingga pernikahan. Ia seperti berusaha memaklumkan dirinya bahwa di luar sana ada keyakinan yang berbeda dengannya.
Saudara Pendeta akhirnya ditemukan lalu ia diboyong si adik untuk berobat ke rumah sakit kota. Sekali lagi, kesetiaan Rahman pada kemanusiaan perlu dipuji. Ia berjanji pada pendeta untuk menjaga kediamannya. Di sela-sela jadwal mengaji, mengumandangkan azan dan mengempel lantai masjid. Ia juga menyempatkan untuk menyeka debu di gereja, menyalakan lilin dan memperbaiki atribut yang rusak.
Film besutan Hamid Jebeli yang diproduksi tahun 1998 ini telah berkali-kali saya tonton. Tokoh Rahman, mengingatkan pengalaman pertama saya memasuki gereja bersejarah di kawasan Jolfa, Isfahan. Waktu itu saya mengantar teman yang sedang traveling. Ada perasaan janggal ketika pertama kali masuk. Tanda salib yang besar, altar, dan lukisan manusia yang memenuhi dinding ruangan, tampak asing bagi saya. Tapi senyum ramah pendeta gereja Vank segera mencairkan suasana.
Di pemakaman Doulab ini, seperti Rahman, saya menemukan kisah dan pengalaman baru. Para pengunjung yang berdoa dan membacakan puisi di makam orang yang berbeda keyakinan dengannya. Cerita tentang Mahan, peserta anak dan ibunya yang telaten menjelaskan segala hal terkait simbol-simbol agama kristen.
Dan juga kakek penjaga makam yang merawat kompleks pemakaman dengan sepenuh hati selama puluhan tahun. Salah seorang pengunjung memberanikan diri bertanya tentang keyakinan bapak tua ini. “Saya muslim, bahkan saya pernah ziarah ke Karbala. Tapi, saya senang bisa berhidmat di sini,” ungkapnya penuh ketulusan. Saya hanya diam menahan haru.
Angin dingin kembali menyelisik, kali ini tak begitu mencemaskan. Kehangatan di antara peserta mulai terjalin. Sehangat sinar matahari yang perlahan mulai bergerak naik. Saya kembali teringat “Film Son of Maryam”. Kalau tidak menonton film ini, mungkin saya tidak akan pernah datang ke kompleks pemakaman Doulab ini.