Sedang Membaca
Ali Kalora, MIT, dan Kekerasan Atas Nama Agama
Ali Mursyid Azisi
Penulis Kolom

Penulis artikel ringan dan jurnal ilmiah. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Ali Kalora, MIT, dan Kekerasan Atas Nama Agama

Radikalisme Agama

Mendengar kabar tewasnya Ali Kalora sebagai pimpinan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) beberapa hari lalu menggemparkan dunia maya. Bagaimana tidak? Pimpinan kelompok teroris yang acap kali menggencarkan kegaduhan bak sekawanan serigala di kaki Gunung Biru ini kerap kali menyebabkan ketakutan berlebih masyarakat sekitar.

Pasalnya, mereka dengan pemahamannya yang kaku dan keras dalam memaknai Islam kerap kali menerapkan kekerasan atas nama hukum Tuhan, seperti membakar rumah penduduk, bahkan membantai penghuninya dengan cara dipenggal.

MIT sendiri merupakan kelompok Islam yang menghendaki kekerasan dan acap kali disebut teroris yang bergerak di daerah pegunungan Kab. Poso, Sigi dan Parigi Moutong, Prov. Sulawesi Tenggara. Pasca masa kepemimpinan Santoro yang gugur pada 2016 silam, periode berikutnya kelompok tersebut dinahkodai oleh Ali Kalora.

Seperti halnya yang kita ketahui, kelompok tersebut merupakan ampas dari konflik Poso pada akhir tahun 90-an. Bahkan pasca konflik tersebut, sempat diadakannya kesepakatan damai antar pemuka agama yang pada akhirnya memunculkan tokoh seperti halnya Haji Adnan Arsal (dari kalangan muslim) dan Pendeta Damanik (dari pihak Kristiani).

Akan tetapi, seruan damai itu tidak berlaku terhadap kelompok di bawah pimpinan Ali Kalora, Mujahidin Indinesia Timur yang digadang-gadang sempalan dari jaringan ISIS. Dengan jargonnya memanifestasikan ayat-ayat jihad dalam al-Qur’an, rasa percaya diri begitu tampak dalam diri mereka dalam melegalkan dan menghalalkan pertumbahan darah atas penafsirannya yang sempit. Tentu hal demikian menyisakan bekas sayat terhadap keluarga korban terdampak kekerasan mereka.

Sebelum melangkah lebih jauh, makna dari kekerasan sendiri merupakan tindak laku kelompok maupun individu yang berdampak pada kerusakan barang ataupun fisik seseorang, baik cedera atau bahkan kehilangan nyawa. Jika ditinjau dari aspek sosiologis, kekerasan dalam kehidupan sosial masyarakat terdapat kemungkinan disebabkan karena adanya pengabaian nilai sosial serta norma yang disepakati bersama.

Baca juga:  Diplomasi Santri, Narasi NU Abad ke-2 dan Indonesia 2045

Jika dikaji lebih mendalam tentang teori kekerasan, ada beberapa faktor pemicu yang mendorong seseorang terjerumus dalam pemikiran dan tindakan demikian. Dalam hal ini dipetakan dalam tiga teori faktor pemicu. Pertama, Faktor Individu: teori ini timbul dari tindak laku agresif individu serta faktor sosial yang kurang mendukung. Seperti halnya stress, kelainan jiwa, psikopat dan lainnya. Pemicu lainnya yaitu faktor budaya, media massa, bahkan konflik internal keluarga.

Kedua, Faktor Kelompok: teori ini menyatakan bahwa seseorang akan membentuk jaringan yang satu frekuensi dengan lebih memprioritaskan persamaan agama, etnis, bahkan ras. Ketika berinteraksi dengan orang lain dan membawa identitas kelompok menjadi sumbu awal terjadinya benturan hingga berujung pada tindak kekerasan. Ketiga, Dinamika Kelompok: teori ini berbicara tentang penyebab kekerasan ditimbulkan dari menurunnya tali sosial dan rasa saling memiliki dalam suatu kelompok.

Merespon kekerasan yang digencarkan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di bawah pimpinan Ali Kalora, ketiga teori tersebut merupakan latar belakang dari tindakan tersebut. Secara individu yang juga berkaitan dengan faktor kelompok, bahwa tindakan Ali Kalora yang kerap melayangkan senjata dari senapannya bahkan dengan bringasnya membantai warga sekitar Gunung Biru dipicu dari adanya ampas-ampas konflik Poso yang waktu itu melibatkan muslim dan kristiani.

Sudah barang tentu demikian secara tidak langsung dalam diri individu terdapat dorongan balas dendam terhadap masa silam. Jika ditilik dari faktor agama (Islam), kekerasan acap kali dimanifestasikan atas dalih memenuhi perintah Allah SWT dengan menyodorkan ayat-ayat peperangan yang menyatakan legal membunuh dan menghardik mereka yang dianggap kafir.

Baca juga:  Jalan Raya dan Logika Kuasa Tentangnya

Pemahaman secara tekstualis demikian oleh Khaled Abou El-Fadl dalam karyanya yang bertajuk The Place Toleran in Islam disebut sebagai kelompok puritanis. Dengan ciri-cirinya yang ektrem dan supremasi (merasa paling unggul & benar), selain berkedok bahwa kekekalan dan kesempurnaan Tuhan dapat dimanifestasikan di bumi dengan segala cara (termasuk menghalalkan darahnya), namun mereka juga memiliki kecondongan bergerak dengan embel-embel politik yang acap kali meluapkan nafsunya untuk mendirikan negara khilafah.

Mengenal ciri-ciri pergerakan Ali Kalora dan pengikutnya yang demikian, tidak jauh dari kelompok khawarij yang dahulu pun menggencarkan hal senada. Berkembang seiring kemajuan zaman pada kelompok Islam ekstrem Al-Qaeda di bawah pimpinan Osamah bin Laden, hingga pada akhirnya sempalan-sempalannya diaspora ke penjuru negeri bahkan di bumi Nusantara.

Dengan demikian, tidak heran jika Majelis Mujahidin Indonesia kurang cocok ditumbuhkembangkan di Indonesia yang notabennya masyarakat multikultural, multiestnis, dan beragam pemeluk agama. Pasalnya, model ber-islam ala mereka hanya mengandalkan bukti literatur, ahistoris, dan menafsirkan dalam pemikirannya sendiri. Bahkan mereka pun menegaskan bahwa pemeluk Islam merupakan pewars kebenaran Ilahi yang dapat diwujudkan secara objektif.

Sementara mereka pemeluk Kristen dan Yahudi, bahkan sesama Islam yang tidak sependapat dengannya dibatasi ruang geraknya, dipandang sebagai musuh, dan ujung-ujungnya dipaksa tunduk untuk mengakui keunggulan mereka. Tindakan demikian bagi mereka merupakan hal yang wajib dilakukan dan ketika keinginannya tercapai, maka akan merasakan kepuasan tersendiri karena beranggapan telah melaksanakan perintah Tuhan dengan tindakannya yang dirasa benar.

Padahal turunnya ayat al-Qur’an dalam catatan historis yang berangsur-angsur itu menempatkan pada konteks/keadaan zaman dan tempat. Namun, oleh mereka pemahaman demikian ditolak mentah-mentah, bahwa segala sesuatu harus termanifestasikan di muka bumi, bahkan melangkahi tatanan norma sosial dan syariat agama yang secara luas mengusung tindakan menjaga hubungan baik antar sesama.

Baca juga:  NU dan Konsep Kekuasaan

Faktanya, kandungan mayoritas al-Qur’an merujuk terhadap kewajiban moral umum seperti halnya kebaikan, keadilan, rahmat bahkan cinta kasih. Memang dalam mendefinisikan hal ini al-Qur’an tidak secara jelas secara teks, namun menggunakan makna tersirat yang juga memiliki keterkaitan redaksi dengan kewajian moral sebagaimana di atas. Seperti halnya perintah agar membumikan hal-hal baik, dalam al-Qur’an penggunaan istilah “yang baik” menggunakan redaksi “ma’ruf” dengan arti segala apa pun yang dikenal mengandung unsur kebaikan.

Kemudian juga penggunaan redaksi ihsan dalam memaknai kebaikan yang secara bahasa berarti meningkatkan dan mempercantik. Namun peningkatan serta kecantikan dalam hal ini hanya dapat memiliki makna dalam konteks praktik sosiologis dan pemahaman tertentu. Bahkan isu keniscayaan keragaman, toleransi dan etika keberagamaan begitu mudah kita temui di dalamnya seperti halnya penggalan ayat berikut:

Wahai manusia, Tuhan telah menciptakan Anda dari pria dan wanita dan membuat Anda menjadi beragam bangsa dan suku sehingga Anda bisa saling mengenal satu sama lain.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Dengan begitu, kekerasan atas nama agama sebetulnya merupakan hal yang tidak dilegalkan oleh Tuhan sendiri, justru merupakan hal yang begitu dicekal. Bentuk implementasi firman Tuhan dalam al-Qur’an pada hakikatnya menghimbau manusia sebagai pemimpin di muka bumi untuk menerapkan cinta kasih, perdamaian, keadilan, dan menjamin hak-hak tiap individu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top