Awal Januari kemarin adalah masa menyedihkan bagi Manchunian, sebutan untuk fans Manchester United. Betapa tidak karena mereka harus menerima kabar mengejutkan, yaitu striker incaran mereka Erling Braut Haaland lebih memilih bergabung dengan raksasa Jerman, Borrusia Dortmund, ketimbang MU. Keinginan kuat mereka disandarkan keadaan yang dihadapi MU sekarang, krisis striker pasca cederanya Marcus Rashford.
Di awal musim yang lalu, kita juga disuguhi transfer-saga Neymar yang memiliki kerumitan yang lebih dahsyat dari persoalan Haaland dan MU di atas. Di mana ada beberapa klub yang harus terlibat saat Neymar mulai tidak betah di Paris Saint-Germain. Inilah satu dari enigma dunia sepakbola yang paling menarik hingga sekarang, yaitu kepemilikan.
Kepemilikan seorang pemain bintang di sebuah klub bola tidak selalu berujung pada kebahagian, sebab tidak jarang berakhir pada konflik. Kondisi ini pernah dirasakan oleh Real Madrid di sekitar awal milenium, yang sedang membangun proyek paling ambisius kala itu yaitu mengumpulkan seluruh bintang di dunia sepak bola, yang dikenal dengan sebutan Los Galaticos.
Pada awalnya proyek ini memang sukses besar, tapi dalam seketika hancur lebur hanya gara-gara menjual satu orang pemain yang “dianggap” paling tidak populer, Claude Makalele. Sang maestro, Zinadine Zidane, merasakan betapa tersiksanya bermain di lapangan hijau tanpa kehadiran Makalele di lini tengah.
Zidane membuat sebuah perumpamaan cum kritik keras terhadap kondisi Real Madrid saat itu, dengan menyepadankan sebuah mobil yang hanya memiliki rangka dan bodi yang bagus namun mesinnya rusak parah. Makalele dianggap Zidane adalah nyawa permainan Real Madrid yang sesungguhnya.
Imaji dan Dominasi Mayoritas
Dalam dunia sepakbola, dominasi dan kemenangan dianggap bisa ditukar dengan pembelian bintang. Lihat saja Manchester City dan Chelsea adalah klub yang menerapkan imaji dominasi ala Real Madrid. Padahal perasaan kecewa Zidane dan fans MU dengan persoalan bintang dari cerita di atas, rawan dirasakan juga fans dua klub tersebut.
Jika kita berani buka-bukaan, tidak sedikit dari kelompok pemeluk agama yang merindukan dominasi terhadap yang liyan. Akibatnya, kita harus mengakui dalam rasa keberagamaan tidak berhenti pada persoalan spiritual belaka. Keinginan untuk menjadi dominan ditemukan dalam narasi keberagamaan, walau sulit untuk diakui, asumsi tersebut juga susah untuk dibantah kebenarannya.
Lihat saja beberapa kasus kekerasan yang terjadi melibatkan isu agama, motif seperti dominasi ruang publik atau menganeksasi fikrah tidak akan sulit ditemukan. Jika Nietszche menyebut keinginan ingin berkuasa adalah naluri paling manusiawi. Jadi, dari mana agama bisa memiliki naluri dominasi tersebut, apakah ini bagian dari pengaruh manusia sebagai pemeluk?
Kehadiran agama dalam rentang sejarah manusia juga diwarnai dimensi negatif. Diantaranya yang kita hadapi atau lihat sendiri, seperti perang ideologi, perebutan ruang publik, politik kehadiran hingga penolakan pada yang liyan. Bahkan ajaran tentang Islam sebagai pembawa kedamaian dan rahmat bagi seluruh alam, seringkali juga diseret sebagai imaji dominasi terhadap yang liyan, karena dibawa pada politik kehadiran diri sebagai “pengayom” bagi orang lain.
Kekerasan yang terkait rumah ibadah hampir pernah dirasakan oleh seluruh agama di Indonesia. Teranyar kita dihadapkan dengan dugaan kekerasan yang terjadi di daerah Agape, Sulut. Di mana musala diduga dirusaka oleh beberapa oknum dengan alasan yang bernada dominasi. Walau ini masih diselidiki, tapi inilah fakta kehidupan beragama di Indonesia yang terlihat gagap menghadapi dinamika perubahan struktur sosial, pasang-surut ekonomi hingga kerumitan politik.
Padahal jika kita mau belajar dari dominasi yang pernah dibangun oleh Real Madrid, maka dominasi pada rival adalah sesuatu yang semu, karena kesempurnaan hanya akan dicapai dengan menghancurkan orang lain. Hal ini jelas bertentangan dengan kultur agama yang sesungguhnya, yaitu menghadirkan kedamaian bagi semua.
Jadi imaji dominasi sangat tidak cocok dengan agama, karena dia menuntut eksklusi pada yang liyan dan aneksasi ruang bagi kelompok sendiri. Sedangkan agama memiliki naluri dan kultur yang sama sekali tidak sejalan dengan tuntutan tersebut. Jika ada otoritas dalam agama manapun yang mengajukan dalil spiritualitas akan meningkat, jika agama yang dia peluk memiliki akses yang dominan. Maka yang harus kita lakukan jika timbang kembali dalih yang diajukan tersebut, dengan pertimbangan kemanusiaan.
Jika tidak kita akan menjebak agama dalam imaji kepemilikan kebenaran dan keinginan untuk menjadi dominan. Hal ini jelas sekali keluar dari cita suci dari agama. Kita harus merenungi dari kalimat menarik yang diucapkan dalam film The Two Popes, “Pemberian Sakramen bukan hanya hadiah bagi kebaikan, tapi bagai makanan bagi yang kelaparan”.
Pemeran kardinal Bergoglio mengambarkan kehadiran agama bukan untuk orang yang berbuat baik, tapi juga hadir bagi mereka yang berdosa. Betapa indahnya agama tidak mendikotomi perbuatan manusia secara kaku, tapi berusaha hadir untuk seluruh manusia demi kebaikannya dalam dunia ini, bukan hanya dunia akhirat.
Teologi pembebasan yang diusung oleh para pendeta di daerah Amerika Latin telah mencontohkan bagaimana agama hadir sebagai pembela, saat berhadapan dengan ketidakadilan, penindasan dan represi dari pihak penguasa. Di mana agama tidak diposisikan sebagai alat represi yang liyan, tapi menjelma sebagai semangat zaman dalam setiap pemeluknya untuk menghadirkan misi agama tersebut, kedamaian dan kehidupan yang setara.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin. (RM)