“Tidak ada satu pun agama dan ideologi di dunia ini yang membenarkan tindakan dan cara-cara kekerasan dalam kehidupan umat manusia. Kami semua ikut merasakan kepedihan yang sangat luar biasa atas peristiwa yang menimpa masyarakat muslim Rohingya yang berada di Myanmar.”
Demikian salah satu poin pernyataan sikap Lintas Iman Magelang Raya atas tragedi kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingya di Myanmar belakangan ini.
Pernyataan sikap ini hasil dari acara bertajuk Cinta untuk Rohingya yang diadakan Jemaah KOPDariyyah Netizen Magelang, di Joglo Mendut, Magelang, tadi Kamis malam (8/9). Acara dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dari Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, penganut Kepercayaan. Turut hadir pula Direktur PT Taman Borobudur.
Ahmad Majidun, salah satu panitia dari unsur Nahdlatul Ulama Kab. Magelang, mengatakan bahwa pertemuan ini didasari atas keprihatinan bersama masyarakat lintas iman di Magelang.
“Kami ingin segera terwujud kedamaian dan kerukunan sesama manusia di sana,” kata Majidun kepada alif.id tadi malam.
“Ajaran Budha tidak membenarkan sedikit pun kekerasan,” ujar Bante Abijato yang turut hadir dalam acara tersebut.
Pertemuan yang dihadiri Gus Yusuf dari Pesantren Tegalrejo, Kiai Said Asrori dari Nahdlatul Ulama, Bante Abijato dari Budha, Nyoman dari Hindu, Tomo dari Katolik, aktivis Gusdurians, mengajak seluruh umat manusia, terutama warga Negara Indonesia untuk bersama-sama menggelorakan kehidupan yang damai, saling menjaga, saling melindungi dan menghargai sesama manusia, meskipun berbeda agama dan keyakinan.
Secra khusus mereka menghimbau kepada masyarakat luas agar tidak memperkeruh suasana dngan menyebarkan berita bohon, foto-foto yang tidak jelas sumbernya dan tidak mempolitisir keadaan.
“Berita hoax dan informasi-informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan harus segera dihentikan. Semua pihak harus bersikap dan bertindak secara proporsional dalam menyikapi tragedi kemanusiaan di Rohingya Myanmar. Jangan memicu konflik SARA di Magelang dan Indonesia secara umum. Mari tebarkan kebaikan, taburkan cinta kasih dan berbagi karunia kepada sesama manusia.”
Kami meminta, kata Majidun, Pemerintah Indonesia melaksanakan amanat Pembukaan UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamain abadi dan keadilan sosial, melalui proses diplomasi dan upaya-upaya yang bermartabat untuk mendesak pemerintah Myanmar mengakui status kewarganegaraan Muslim Rohingnya dan terwujudnya penghormatan atas hak asasi manusia di Myanmar.
Tentang Borobudur
Dalam kesempatan tersebut pimpinan Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang Yusuf Chudlory meminta masyarakat jernih dan proporsional menilai tragedi kemanusiaan di Myanmar. Borobudur jangan diseret-seret konflik di sana.
“Solidaritas wajib namun tetap jernih dalam berpikir. Jangan kita larut pada kemarahan yang tidak jelas. Terkait Borobudur ya salah jika menilai Borobudur terpaut dengan orang-orang Myanmar. Borobudur tak hanya simbol agama Budha tapi sudah menjadi warisan sejarah dunia yang harus kita jaga bersama. Di Borobudur kampung halaman kita, yang juga ada ekonomi, budaya, sejarah, warisan leluhur, simbol keindoneisaan juga,” kata kiai yang akrab Gus Yusuf.
Gus Yusuf sangat mengapreasiasi pertemuan tadi malam dengan mengunggah foto-foto pertemuan di akun Instagramnya.
Dalam foto-foto yang diunggah, dia memperlihatkan kehangatan dengan tokoh dari agama Budha. Gus Yusuf duduk berdampingan sedang berbincang-bincang. Tokoh-tokoh lain berjejer di samping keduanya. Tidak hanya foto-foto, video story yang menampilkan peserta sedang berdiri menyanyikan lagu Indonesia raya pun ikut diunggah.
Sementara itu dalam sebuah tulisan di caknun.com, budayawan Emha Ainun Najib menyampaikan keberatannya atas segelintir orang yang mengait-ngatikan Borobudur dengan tragedi kemanusiaan Rohingya.
“Mau apa ini Umat Islam? Anak-anak siapa saja yang memimpin Laskar-laskar itu? Pernah sekolah apa nggak? Tahu Borobudur apa tidak? Pernah membaca fakta-fakta tentang Borobudur atau belum? Apa Guru-guru mereka di Sekolah juga tidak mengerti betapa dahsyat karya Borobudur? Tahu nggak mereka bahwa Borobudur dibangun sejak sebelum Nabi Muhammad lahir dan belum selesai hingga wafatnya beliau?” demikian Cak Nun menulis.
Tuliskan Cak Nun dengan retorikanya yang khas mengajukan rentetan-rentetan pertanyaan yang menohok dan susah dijawab.
“Coba kumpulkan wakil-wakil dari 185 Laskar itu, tanyakan kepada mereka berapa juta jumlah blok batu yang diperlukan untuk membangun Borobudur? Batu-batu itu diambil dari mana? Bagaimana cara mengangkat jutaan batu itu sampai setinggi itu tumpukannya? Bagaimana membuat desain arsitektur untuk sekian ribu panel reliefnya? Sekian ratus pancuran airnya? Lebih banyak ratus lagi patung-patung stupanya? Bagaimana perencanaan dan praktik memastikan ikatan antara jutaan blok batu-batu besar hanya dengan sistem sambungan ekor burung?”
Silakan datang Laskar-laskar itu ke Borobudur, tulis Cak Nun, asalkan untuk belajar.
“Borobudur tetap berdiri megah setelah 14 abad: sebutkan satu atau dua gedung di Jakarta atau kota manapun di Indonesia yang akan masih utuh 14 abad kelak? Tanyakan kepada sekian ratus ribu Arsitek tanah air, bersedia dan mampukah mereka kita biayai untuk membangun seri berikutnya dari Borobudur? Yang tak usah lebih megah dan kuat? Cukup menyamainya saja? Bisakah ditemukan satu saja perupa dari Indonesia atau seluruh dunia, yang mampu membikin satu relief saja yang sehidup, semutu dan serealistis yang terpampang di dinding-dinding Borobudur?”
Tulisan berjudul Rahmatan Lil’alamin Dari Borobudur yang ditambah judul kecil “Nobel” Prize untuk Ummat Islam Magelang menyebar di facebook, grup-grup WA, di twitter, dan lain-lain.
Siapapun yang membaca tulisan Cak Nun, akan menilai lelaki kelahiran Jombang 64 tahun lalu itu sedang menyampaikan kegemasannya. Dan bukan saja pada segelintir masyarakat kegemasan itu dilontarkan, tapi juga kepada pemerintah dan orang-orang yang tidak mengusik Borobudur. Simak alenia ini:
“Borobudur adalah satu dari tujuh keajaiban dunia. Selama kita menyelenggarakan NKRI tak satu hasil karya pun yang bisa kita banggakan kepada dunia, sekualitas dan seberwibawa Borobudur. NKRI sangat ditolong oleh nenek moyangnya, tanpa pernah menunjukkan apresiasinya terhadap tingginya peradaban nenek moyangnya. Kita hanya mengambil keuntungan dan gengsi dari Borobudur, tetapi tidak menghargai nilai-nilai peradaban manusia yang melahirkan Borobudur. Dan sekarang ada 185 Laskar dari seantero Negeri mau mengepung dan mengancam Borobudur? Siapa mereka ini? Besar amat kepala mereka?”