Sedang Membaca
Praktik Fikih Selama Pandemi (3): Masker dan Muskir
Saifir Rohman
Penulis Kolom

Lahir di Situbondo. Alumnus Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep. Kini aktif sebagai Mahasantri Ma’had Aly Salafiyah Situbondo.

Praktik Fikih Selama Pandemi (3): Masker dan Muskir

Whatsapp Image 2022 11 01 At 21.35.13

Anda yang punya riwayat bersingungan dengan Ushul Fikih tentu tak asing dengan proposisi “kullu muskirin haramun”, (mengonsumsi) segala yang memabukkan itu haram. Premis ini muncul berulang-ulang dalam kitab-kitab ushul fiqh, baik yang klasik maupun yang modern, dari yang level dasar hingga atas. Lebih tepatnya pada bab qiyas. Popularitas proposisi ini sebanding dengan premis mayor “manusia adalah hewan yang berbicara” pada pembahasan silogisme dalam Ilmu Mantiq.

Saking populernya, seringkali propoposi ini terselundupkan ke dalam percakapan kami sehari-hari. Satu misal, ketika ada seorang kawan tampak mabuk kepayang dibuai asmara, spontan kawan yang lain mengingatkan. “Kullu muskirin haramun, Coooy!”. Maksudnya, cinta yang sampai pada taraf memabukkan itu haram. Dengan sedikit sentuhan kreativitas ala santri, proposisi ini pun menjelma dalam bentuk guyonan khas di tengah-tengah kami.

Dasar santri! Di masa pandemi, di mana memakai masker adalah bagian dari protokol kesehatan yang mesti dipatuhi, proposisi tersebut muncul dalam bentuk yang lebih aktual, lebih kekinian. Lafal muskir dalam proposisi itu diplesetkan menjadi masker. Proposisi yang semula berbunyi, kullu muskirin haramun, kini pun berubah bunyi menjadi kullu maskerin haramun. Artinya, (menggunakan) seluruh masker itu haram.

Sepintas pernyataan ini memang tampak ngawur alias serampangan. Demikian pula yang saya rasakan ketika pertama kali mendengarnya sebagai sebuah celetukan. Kok bisa pakai masker haram, bukannya malah wajib? Di samping itu, guyonan ini terkesan seperti pledoi atau justifikasi bagi sesiapa yang enggan maupun sudah bosan menggunakan makser. Saya kemudian mencoba merenung, sekena-kenanya, hingga akhirnya tiba pada semacam kesimpulan bahwa kalimat ‘kontroversial’ itu penting untuk dilontarkan.

Baca juga:  Amar Ma’ruf, Nahi Munkar, dan Mualaf

Anda jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa saya mendukung gerakan anti masker yang merebak di beberapa belahan bumi. Sebelum Pandemi ini menyerang, saya memang asing dengan benda yang dibalutkan pada bagian hidung dan mulut ini. Namun setelah keberadaan virus itu tak terbantahkan, saya percaya Covid-19 itu nyata adanya, bukan konspirasi. Saya pun percaya bahwa memakai masker adalah salah satu ikhtiar yang cukup efektif untuk mencegah penularan, sebagaimana dikatakan oleh banyak otoritas kesehatan.

Kendatipun dalam beberapa kasus orang yang disiplin menggunakan masker dan mererapkan protokol kesehatan lainnya nyatanya tetap terinfeksi, keyakinan itu tetap kokoh dan tidak sedikitpun memudar. Ditambah lagi lingkungan yang sangat mendukung. Saya bersama kawan-kawan hidup di pesantren, di mana kiai-kiai dan guru-guru kami menganjurkan dan meneladankan penggunaan masker.

Pada suatu kesempatan misalnya, guru kami, Dr. (Hc). K.H. Afifuddin Muhajir menyampaikan, “Di negara Pancasila, bukan hanya masker dan bukan hanya istighfar. Tapi kedua-duanya, masker dan istighfar.” Dalam aktivitas kesehariannya, kami saksikan Kiai yang murni dibesarkan dalam lingkungan dan tradisi pesantren ini memang nyaris tidak pernah lepas dari masker. Pengalaman serta wawasan semacam ini tentu lebih membekas dari sekadar obrolan gampangan di media sosial yang serta-merta menyatakan bahwa Covid-19 adalah konspirasi. Sembari menganggap memakai masker adalah bentuk konkret sebuah ilusi massal.

Baca juga:  Teori Raos dalam Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram

Lalu di mana pentingnya pernyataan kontroversial “Kullu maskerin haramun”? Justru karena keyakinan pada masker semakin menguat, kita butuh semacam pengingat agar tidak menuhankan sebab, agar tidak memberhalakan temuan-temuan sains. Agar tidak terjerembab ke jurang fanatisme terhadap ilmu alam atau dalam istilah Gus Ulil Abshar Abdalla disebut sebagai ‘kepongahan saintis’. Kecenderungan macam ini yang sesungguhnya hendak dibidik oleh pernyataan itu.

Mengutip Dr. (Hc). K.H. Afifuddin Muhajir, “Ikhtiar akan efektif bila disertai kesadaran bahwa sesungguhnya kita tidak berdaya tanpa pertolongan Yang Maha Kuasa.” Bahwa ikhtiar kita menggunakan masker mesti dibarengi sikap tawadlu. Karena betapapun canggih nan teruji kualitas masker yang kita pakai, perihal efektivitasnya sepenuhnya bergantung pada Kehendak Mutlak Tuhan semata. Bukan mustahil Tuhan berkehendak untuk mencabut efek yang semula telah disematkan ke dalam masker sehingga masker itu kehilangan fungsinya.

Dasar logika penjelasan ini sama persis dengan yang dinyatakan al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah tatkala membantah kalangan saintis atau filosof alam. Para saintis kala itu berpendapat bahwa api dapat membakar dengan sendirinya. Sementara, bagi al-Ghazali, api tidak dapat membakar secara mutlak dan mandiri, kecuali didasari oleh Kehendak Tuhan Sang Prima Kausa.

Al-Ghazali berhujah antara lain karena api adalah abiotik sehingga ia sama sekali tak memiliki daya. Sehingga berdasarkan pandangan ini, bukan mustahil dan tidak mengherankan jika api menyentuh kapas namun tidak menimbulkan efek membakar. Atau sebaliknya, kapas itu bisa terbakar tanpa harus tersentuh api. Lagi-lagi, semuanya itu berpulang pada Kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.

Baca juga:  Arab Dibawa, Jawa Dibawa

Demikian pula masker. Efektivitas masker dalam mencegah virus tak lain adalah potensi atau daya yang disematkan Allah, yang sangat mungkin dicabut seketika manakala Allah berkehendak. Pandangan ini mesti dihayati benar-benar agar kita tidak serta merta melimpahkan semuanya kepada sains. Juga agar kita bisa berlapang dada menerima jika ternyata segala upaya tidak sesuai dengan ekspektasi manusiawi kita.

Walhasil, jangan sampai masker menjadi muskir, sesuatu yang memabukkan sehingga membuat kita alpa dengan kehadiran kehendak-Nya. Inilah makna “Kullu maskerin haramun”, yakni mengenakan segala macam jenis masker–yang memabukkan–haram hukumnya. Namun ini bukan berarti kita harus menanggalkan masker. Sebab seperti Kiai Afif bilang, “al-Jawarih ta’mal wa al-qulub tatawakkal.” Raga kita terus bekerja dan hati tak henti tawakal.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top