Sedang Membaca
Humanisme Gus Dur, Alfiyah, Wayang Kulit hingga Simponi 9 Beethoven 
Avatar
Penulis Kolom

Abdul Rohman, Santri Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan kalijaga. Alamat: Pon-pes Kaliopak, Klenggotan, Srimulya, Piyungan, Bantul. IG: Doelrohman45

Humanisme Gus Dur, Alfiyah, Wayang Kulit hingga Simponi 9 Beethoven 

1 A Gusdur

Membicarakan sosok Gus Dur memang tidak ada habisnya, tokoh yang satu ini mewariskan banyak gagasan yang pada dasarnya menjadi pijakan kita beragama dan berbangsa pada hari ini. Salah satunya berkaitan dengan judul besar yang disebutkan di atas. Kiai Jadul dengan gamblang menjelaskan gagasan Gus Dur sebenarnya begitu luas dan watak utamanya adalah kosmopolitanisme. Hal tersebut mengemuka dalam diskusi Dewa Ruci Selasa nalam (17/12) di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak.

Berkaitan dengan Humanisme Gus Dur lebih jauh Kiai Jadul Menjelaskan bahwa visi besar dalam memperjuangkan kemanusiaan, Gus Dur mengambil dua prinsip dasar dari poin undang-undang HAM. Pertama terkait perlindungan kebebasan beragama dan berkepercayaan dan yang kedua mengenai perlindungan terkait etnis minoritas. Dua poin itu sendiri diambil Gus dur dari proses pergelutanya pada tradisi pengetahuan klasik agama Islam yang sebenarnya juga mengarah pada dua poin tersebut. Kiai Jadul menjelaskan dalam tradisi klasik para ulama dahulu mengajari bagaiamana cara beragama dengan ketat dengan salah satu mazhab fiqih yang dianutnya. Namun para ulama juga tidak lupa mengimbanginya dengan mengajarkan maqashidi syariah, agar agama tidak hanya menampakan wajah normatifnya, dan pada akhirnya agama bisa menjadi sangat universal, mampu membumi dan menyesuaikan zaman.

Disinilah Gus dur mengambil inti terdalam ajaran agama dari tradisi klasik dengan menggunakan maqashi syariah yang berisikan 5 (lima) bentuk maqashid syariah atau yang disebut dengan kulliyat al-khamsah (lima prisip umum). Yaitu, Hifdzu din (melindungi agama), Hifdzu nafs (melindungi jiwa), Hifdzu aql (melindungi pikiran), Hifdzu mal, (melindungi harta), Hifdzu nasab, (melindungi keturunan). Kemudian dalam kebutuhan manusia terhadap harta ada yang bersifat dharuri (primer), haji (sekunder), dan tahsini (pelengkap).

Baca juga:  Dua Kloter Pulang Dini Hari Nanti, Pemulangan Gelombang Pertama Segera Berakhir

Dari poin-poin yang di atas, Gus Dur kemudian mencoba mendialogkan nilai-nilai subtansial dari ajaran agama islam tersebut dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial. Suatu bentuk ijtihad  pemikiran yang mencoba mendialogkan tradisi pengetahuan Islam klasik dengan pengetahuan sosial modern Lebih jauh apa yang dilakukan Gus Dur kemudian tidak hanya menjadi retorika dan diskursus ilmu pengetahuan, tetapi menjadi laku, gerakan yang selalu diupayakan sepanjang hayatnya. Maka yang dapat kita pahami dari humanisme Gus dur adalah  suatu upaya untuk melindungi hak dasar manusia yang sudah di ajarkan dalam nilai-nilai dasar ajaran agama Islam.

Alfiyah, Wayang Kulit hingga Simponi 9 Besthoven

Kita sudah banyak mengetahui cerita-cerita mengenai bagaimana Gus Dur hafal 1000 bait kitab Al Fiyah, sejak masih belia dan mondok di Jombang. Kemudian Gus Dur juga sangat menyukai pertunjukan wayang kulit sejak mondok di Tegalrejo Magelang bahkan yang terakhir Gus Dur juga sangat menggemari Simponi no. 9 Beethoven. Sudah sering juga kita mendengar cerita-cerita terkait kegemaran unik Gus Dur tersebut.

Namun, yang perlu kita pahami dalam konteks seperti apa kita membaca tiga hal yang disebutkan di atas dalam melihat sosok Gus Dur ini lebih utuh terkait visi dan pemikiranya yang dapat kita ambil pelajaran pada hari ini. Kiai Jadul dalam hal ini menjelaskan bahwa kegemaran Gus dur tersebut menunjukan bahwa nalar kosmopolitanisme yang perlu dimiliki sebagai seorang muslim yang ada di nusantara.

Baca juga:  Sampai Sehari Jelang Berakhirnya Kerja Daker Makkah, Total 83 Jemaah Haji Wafat

Ketika Gus Dur  hafal nadhom Alfiyah ibnu Malik salah satu kitab utama dalam ilmu bahasa Arab tersebut, hal itu menunjukan bahwa penguasaan Gus Dur terhadap khasanah pengetahuan ilmu Islam klasik sudah menyeluruh. Penguasaan pada khasanah klasik tersebut secara tidak langsung menunjukan priode perkembangan ilmu pengetahuan di tengah masyarakat kita pada abad ke 18-19, dimana ketika itu setelah dibukanya Turusan Suez menjadikan gelombang pelajar kita ke Timur Tengah semakin banyak. Hal tersebut Kemudian membawa arus baru dalam ilmu pengetahuan untuk menyokong nasionalisme dan berdirinya negara Indonesia.

Kecintaan Gus Dur pada wayang kulit juga bisa dibaca sebagai upaya Gus Dur untuk menarik kembali lebih jauh seperti apa pengetahuan masyarakat yang menjadi diskursus utama sebelum kolonialisme datang atau vase baru di abat ke 18-19 yang disebutkan di atas. Dan wayang kulit bisa menjadi representasi utama sumber pengetahuan masyarakat kita terkait tata nilai dan segenap pandangan hidup masyaakat kita. Gus Dur dalam hal ini ingin memberi contoh bahwa di dalam seni tradisi inilah sebenarnya kita bisa belajar bagaimana leluhur kita mentransfer nilai-nilai luhur kepada masyarakat.

Sementara kecintaan Gus Dur pada simpony beethoven no 9 juga menjadi suatu hal yang menarik kita lihat sebagai upaya Gus Dur merepresentasikan suatu peradaban modern yang datang dari Barat yang perlu juga kita ruat. Terlepas simpony Beethoven no 9 ini memang sepesial, seperti diungkapkan oleh Dadang Saputra, bahwa symponi ini diciptakan oleh Beethoven ketika pendengarannya tergagu dan hampir tidak bisa mendengarkan, symponi ini menceritakan kebangkitan dan keberanian yang harus dilakukan oleh manusia. Jadi unsur musikal dalam symponi ini di buat dengan segenap jiwa, oleh Beethoven sebagai seorang musisi.

Baca juga:  Katib Aam PBNU: Halaqah Fiqh Peradaban, Strategi Menguatkan Jamaah dan Jam'iyyah

Dari hal itulah kiranya Gus Dur sangat menggemari simponi ini, lebih jauh beliau juga ingin menunjukan pada manusia Indonesia untuk mencari esensi-esensi terdalam dari suatu peradaban yang kemudian nantinya kita dialogkan sebagai pembentukan watak manusia nusantara yang terbuka dan kosmopolitanisme. Dengan Keterbukaan cara berpikir, dan memahami akar terdalam dari jiwa bangsa kita, kiranya akan menjadi senjata yang ampuh dala mengarungi persoalan dan perubahan zaman yang sedang terjadi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Scroll To Top